Berita

Let­nan Jenderal Ahmad Yani

On The Spot

Senjata Tjakrabirawa Ditaruh di Kamar Tidur

Berkunjung ke Kediaman Jenderal Ahmad Yani
SABTU, 01 OKTOBER 2011 | 06:36 WIB

RMOL. Angin bertiup kencang di kawasan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat kemarin siang. Satu pelepah palem jatuh di pekarangan rumah bernomor 65 di jalan itu. Melihat itu, Sartono memungut dan membuangnya ke tempat sampah.

Tentara berpangkat sersan ma­yor itu ditempatkan di sini un­tuk menjaga sekaligus merawat rumah berikut isinya. Rumah ini merupakan saksi bisu sejarah kelam republik ini empat puluh enam tahun silam.

Dulu, rumah ini ditempati Let­nan Jenderal Ahmad Yani. Men­teri Panglima TNI Angkatan Da­rat itu jadi target Gerakan 30 Sep­tember. Di rumah ini pula Yani tewas diberondong peluru yang dimuntahkan senjata anggota Pasukan Tjakrabirawa.

Yani bersama lima jenderal dan seorang perwira pertama yang jadi korban gerakan itu diberi ge­lar pahlawan revolusi. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai hari Kesaktian Pancasila.

Untuk mengenang peristiwa itu, TNI AD menjadi rumah ini sebagai museum dan diberi nama Sasmitaloka. Menurut Sartono, rumah ini diserahkan keluarga kepada TNI AD pada Oktober 1966. “Setelah itu dijadikan mu­seum,” kata pria bertubuh tegap ini.

Sartono memastikan isi rumah masih sama seperti tahun 1965. Kata dia, Dinas Sejarah TNI AD menjaga agar isi rumah tak ada yang berubah sama seperti ketika masih ditinggali Yani.

Rumah Yani terletak di sudut Jalan Latuharhary maupun Jalan Lembang. Berdiri di atas tanah berukuran 20x20 meter, rumah utama yang berlantai satu di kelilingi pagar besi hitam setinggi satu meter.

Gerbang masuk berada di samping kiri menghadap Jalan Latuharhary. Sedangkan gerbang yang persis di muka rumah meng­hadap Jalan Lembang. Gerbang inilah yang dibuka.

Memasuki pekarangan rumah ter­lihat taman yang terawat. Pe­ka­rangan ini ditumbuhi beberapa pohon besar. Di tengah-tengah ha­laman terdapat saung dari besi untuk tempat santai.

Di dekat kolam di depan rumah dipasang patung Yani tengah dalam posisi berdiri dan sikap istirahat. Terbuat dari perunggu, patung menghadap ke jalan.

Di depan patung terdapat tiang besi­ setinggi enam meter. Ben­dera merah putih berkibar sete­ngah tiang.  Di depan tiang di­ba­ngun tembok hitam yang ber­tuliskan “Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani”.

Beranjak masuk ke dalam rumah harus melalui teras dengan atap dari beton. Pintu masuk ru­mah berwarna krem dilapisi kaca dengan teralis besi di be­la­kang­nya. Pintu dalam keadaan ter­tutup rapat. Korden warna putih yang berada di belakang pintu masuk turut menutupi pandangan ke dalam.

Di belakang pintu masuk te­r­da­pat empat kursi model lawas de­ngan meja kayu warna coklat oak berbentuk persegi panjang. Meja dan kursi ini dikelilingi de­ngan rantai sehingga pengunjung tidak bisa duduk di tempat ini. Kursi ini digunakan untuk tempat tunggu tamu Yani.

Di sebelah kanan kursi tamu terdapat ruangan berukuran 3x4 meter. Ruangan tersebut berisi kursi panjang warna hitam di­lengkapi dengan meja yang juga terbuat dari kayu.

Di ruangan ini juga terdapat ha­rimau yang telah diawetkan. He­wan buas itu dimasukkan ke da­lam meja yang dibungkus kaca. Ruangan ini juga diperuntukkan bagi tamu-tamu Yani.

Dinding ruangan ini dipenuhi foto-foto kegiatan Yani sebelum meninggal. Masuk lebih dalam terdapat ruangan tengah yang cukup lapang. Di ruangan ini terdapat kursi panjang warna biru yang mampu menampung dela­pan orang. Di ruangan inilah Yani menerima tamu-tamunya.

Di dinding ruangan ini dipa­sang lukisan besar yang meng­gam­barkan Yani memukul salah satu anggota Pasukan Tjakra­bi­ra­wa yang datang ke rumahnya pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Di sebelah kanan ruangan tamu terdapat ruangan istirahat. Rua­ngan ini diisi kursi panjang warna biru dengan meja kayu dan be­be­­rapa patung di atasnya. Din­ding di belakang kursi ditempeli batu alam. Di dinding ini pula terdapat akuarium.

Di ruang istirahat ini juga ter­dapat lemari yang menyimpan peralatan bermain golf. Foto Yani tengah bermain golf juga di­pa­sang di dinding ruangan.

Di samping kiri ruang tamu terdapat ruangan yang cukup luas yang digunakan untuk makan. Ruangan ini diisi meja panjang de­ngan empat kursi. Di samping kiri meja ini terdapat lantai yang di­kelilingi rantai. Lantai ini ditu­tupi plat kuningan.

“Disinilah gugurnya Pahlawan Revolusi Djenderal Ahmad Yani pada tanggal 1 Oktober 1965 Djam 04.35 WIB.” Demikian tulisan di plat itu.

Di samping kiri lantai tersebut tersedia mini bar yang dibangun dengan meja setinggi satu meter. Meja tersebut dilengkapi dengan lima kursi dengan kaki-kaki tinggi.

Di sebelah kanan minibar ter­dapat kamar tidur Yani. Di kamar berukuran 5x5 meter ini terdapat ka­sur yang cukup untuk dua orang. Di samping kiri kasur di­tempatkan lemari kaca yang berisikan senjata yang digunakan untuk membunuh Yani.

Selain senjata, terdapat baju yang digunakan untuk mengusap darah Yani yang berceceran di lan­tai setelah ditembak.  Di din­ding kamar bagian kiri terdapat lemari kaca setinggi dua meter yang berisikan pakaian mi­liter Yani. Di sebelan kanan din­ding ditempel kaca untuk bercermin.

Di salah satu pojok atas kamar tidur itu terdapat lukisan menye­ru­pai gambar halilintar menyam­bar. Di pojok kamar sebelah kiri terdapat kamar mandi pribadi yang dilengkapi dengan bath tub didalamnya. Di samping kiri kamar tidur Yani terdapat dua kamar untuk anak-anaknya.

Menurut Sartono, ada tujuh orang yang diberi tugas menjaga dan merawat koleksi di museum. Biaya perawatan museum di­tang­gung Dinas Sejarah (Disjarah) TNI AD.

“Saya tidak tahu be­sa­ran­nya berapa. Soalnya biaya listrik, te­le­pon dan gas sudah dibayar lang­sung dari sana,” katanya.

Semua peralatan untuk mera­wat museum dan barang-barang koleksi di dalamnya disediakan Disjarah. “Kita sering dikirim cat dan kapur barus,” kata dia.

Namun, bila ada lampu yang mati barulah Disjarah mem­be­ri­kan uang untuk membelinya. “Uangnya ditransfer. Jumlahnya pas untuk beli lampu,” kata Sartono.

Pria yang telah menjaga mu­seum ini sejak 2005 ini me­nga­takan, tempat ini terbuka untuk umum dan gratis. Pengunjung tidak dikenakan biaya. “Biasanya pengunjung sering memberikan uang kepada petugas sebagai ben­tuk ucapan terima kasih. Pem­berian itu kami terima dengan ikhlas,” katanya.

Bila ada pengunjung yang datang, kata Sartono, penjaga akan mendampingi keliling mu­seum dan menjelang barang-ba­rang koleksi yang ada di sini.

“Kalau mendampingi pe­ngun­jung biasanya kami berpakaian sipil. Bila berpakaian militer biasanya mereka pada takut bertanya,” katanya.

Sartono menjelaskan, museum bu­ka mulai Selasa sampai Ming­gu dari pukul 08.00 – 14.00 WIB. “Pengunjung biasanya ramai hari Sabtu dan Minggu,” katanya.

Bila tak ada pengunjung, lam­pu penerangan museum dima­ti­kan. Ini untuk menghindari kors­leting. Maklum, sebagian besar instalasinya masih asli.

“Kalau lampu dinyalakan khawatir ada konslet yang bisa mengakibatkan kebakaran. Bila ini terjadi kan bisa berbahaya buat koleksi museum,” katanya.

Sartono mengatakan, setiap hari dirinya selalu menaikkan bendera merah putih di depan museum dari pukul 06.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB sore. “Kalau malam kita turunkan,” katanya.

Namun setiap 30 September, kata Sartono bendera dikibarkan setengah tiang untuk meng­ho­r­ma­ti Yani dan jenderal lainnya yang gugur dalam peristiwa itu.

Sartono juga mengibarkan bendera setengah tiang bila ada pejabat TNI yang wafat. Ini dilakukan untuk menghormati jasanya.

Kamar Tidur Disambar Petir Jelang Dilantik

Lukisan halilintar menyam­bar di pojok atas kamar tidur Ahmad Yani sebenarnya adalah garis-garis retakan di dinding itu. Dinding kamar itu retak akibat petir yang menyambar rumahnya.

Peristiwanya terjadi seming­gu sebelum Yani dilantik men­jadi Menteri Panglima TNI AD. Yani ditunjuk Soekarno men­du­duki posisi itu pada 1962. Ia meng­gantikan Jenderal Abdul Harris Nasution yang dapat po­sisi baru sebagai Menko Han­kam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Menurut Sartono, ada ke­ane­­han dalam peristiwa itu. Ha­nya dinding kamar Yani yang retak. Sejumlah orang me­lihat ini se­ba­gai pertanda akan ada pe­ris­tiwa besar yang akan menimpa Yani.

Dinding yang retak itu di­biar­kan begitu saja sampai Yani gu­gur di tangan anggota Pasukan Tjakrabirawa yang datang ke rumahnya 1 Oktober 1965 di­nihari.

Terlihat Kusam, Dikritik Panglima TNI

Museum Sasmitaloka yang menyimpan barang-barang peninggalan Jenderal Ahmad Yani rupanya mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi pejabat tinggi TNI. Salah satunya bekas Panglima TNI Djoko Santoso.

“Pak Djoko sewaktu jadi Pang­lima TNI pernah berkun­jung ke sini untuk melihat ko­leksi barang-barang yang ada di museum,” kata Sartono.

Dalam kunjungannya terse­but, kata Sartono, Djoko San­toso sempat mengkritik warna cat museum yang sudah me­mu­lai memudar dan terlihat ku­sam. Ia meminta agar museum dicat ulang.

“Alhamdulillah sehari setelah permintaannya itu, Dinas Se­jarah Angkatan Darat langsung mengirim tukang untuk me­ngecat museum ini dan terlihat mengkilap seperti sekarang ini,” katanya.

Selama proses pengecatan, kata Sartono benda-benda yang ada didalam museum dipin­dah­kan terlebih dahulu ke tempat yang aman agar tidak rusak se­lama proses renovasi ber­langsung.

Selain Djoko Santoso, kata Sartono, Panglima TNI Agus Su­hartono juga pernah berkun­jung ke museum ini. “Saat itu Pak Agus lari pagi sekalian mampir ke museum ini untuk melihat-lihat barang-barang mu­seum. Kebetulan rumahnya juga di Menteng,” katanya.

Anak-anak Yani rutin datang ke sini setiap tahun. Selain untuk mengenang rumah yang dulu pernah mereka tinggali juga untuk bersilaturahmi de­ngan para penjaga museum. “Biasanya mereka membawa kopi dan gula untuk acara ngopi bareng,” katanya.   [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya