Berita

Ilyas Karim

On The Spot

Lagi Dirawat di RSPAD, Rumah Digusur Buldozer

Melihat Nasib Pejuang Kemerdekaan Ilyas Karim
MINGGU, 21 AGUSTUS 2011 | 04:13 WIB

RMOL.Tubuhnya kini lunglai dimakan usia. Langkah kaki yang dulu menghentak kini terasa berat dipijakkan. Kakinya bergetar saat menaiki anak tangga. Padahal, 66 tahun lalu, dua kaki itu menghasilkan suara berderap ketika melangkah.

Selain kaki, organ penglihatan juga telah menurun. Plester putih menempel di atas kedua kelopak ma­tanya. Plester itu untuk me­maksa kelopak matanya tetap ter­buka. Ini akibat stroke yang me­nyerangnya beberapa tahun lalu.

Kerut wajahnya pun mengi­n­di­kasikan kakek  ini sudah me­nge­cap asam garam kehidupan. Begitu juga rambut putih yang me­menuhi kepala, alis dan ku­misnya. Dialah Ilyas Karim (84), seorang pejuang  yang kini ja­san­ya seolah dilupakan pemerintah.

Nama Ilyas Karim memang ti­dak terlalu populer di kalangan ge­nerasi penerus. Namun, sejarah mencatat ada seorang pemuda berusia 18 tahun mengenakan ce­lana pendek dengan mantap me­ngibarkan Sang Saka Merah Pu­tih pada tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya.

Dialah saksi hidup pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno yang didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pe­gang­saan Timur, Jakarta Pusat. Ilyas ma­sih ingat ketika di­per­caya seba­gai pengibar bendera Me­rah Putih, hatinya pun ber­gejolak gembira.

“Bagaimana tidak senang? Saat itu detik-detik kemerdekaan negara kita. Dan saya di situ me­ngi­barkan bendera Indonesia per­tama kali di hadapan Bung Kar­no, Bung Hatta, Bu Fatmawati,” tutur Ilyas saat ditemui Rakyat Merdeka Jumat (19/8).

”Mungkin saya satu-satunya orang yang masih hidup pada pe­ristiwa itu,” kata Ilyas, dengan intonasi kalimat yang sangat jelas. Ketika menjadi pengibar bendera saat Proklamasi Ke­mer­dekaan 17 Agustus 1945, umur Ilyas masih belia. Kini usianya menginjak 84 tahun.

Meski pernah terserang stroke, Ilyas masih lancar menceritakan peristiwa yang tak pernah bisa dilupakan seumur hidupnya. Tugas menjadi pengibar bendera, berawal pada 16 Agustus 1945 malam. Saat itu Ilyas dan be­be­rapa rekannya yang berhimpun di Angkatan Pemuda Islam (API) mendapat undangan dari pe­mim­pin API Chairul Saleh Rasyid untuk datang menyaksikan prok­lamasi kemerdekaan.

Esok harinya, pada 17 Agustus 1945 setelah shalat Subuh, Ilyas dan 50 rekannya dengan ber­se­mangat berjalan kaki dari markas API di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, menuju kediaman Soe­kar­no di Jalan Pegangsaan Timur 56. “Sampai saat itu pun saya belum tahu kalau akan menjadi pengibar bendera,” ujar Ilyas.

Sesampainya di rumah Soe­kar­no, tiba-tiba lengan kiri Ilyas di­ta­rik Sudanco (komandan pe­leton) Latief Hendraningrat. Ilyas diminta berdiri tak jauh dari tiang bendera. ”Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera. Hati-hati nanti memegangnya, jangan sampai sobek, (bendera) ini cuma dijahit dengan tangan oleh Bu Fat­ma­wa­ti,” kata Ilyas, menirukan pesan Latief waktu itu.

Tidak ada latihan, tidak ada pula gladi resik. Sebab, tidak lama setelah dirinya ditunjuk, prosesi proklamasi kemerdekaan dimulai. “Sampai sekarang pun saya tidak tahu mengapa pi­li­han­nya ke saya. Mungkin karena saya termasuk yang paling muda  saat itu,” katanya mengira-ngira.

Seperti yang terlihat di foto di buku-buku sejarah, ada dua pe­ngi­bar bendera saat proklamasi. Selain Ilyas, pengibar bendera lain­nya Su­danco Singgih. Kedua­nya dike­li­lingi Soekarno, M. Hat­ta, dan Fat­mawati. Pemuda pe­ngibar bendera yang bercelana pen­dek dan mem­belakangi kamera itulah Ilyas Ka­rim. Dari enam orang di foto itu, ting­gal Ilyas yang masih hidup.

“Bahkan, dari semua yang hadir di rumah Bung Karno wak­tu itu pun mungkin tinggal saya yang masih diberi umur pan­jang,” ucap Ilyas.

Enam puluh enam tahun telah berlalu sejak peristiwa. Republik ini telah berkembang pesat. Na­mun, hidup Ilyas jauh dari sejah­tera. Dia dan istri sekarang ting­gal di atas lahan pinjaman yang sewaktu-waktu bisa diusir.

Dia tinggal di rumah yang terletak di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. Te­patnya, di Jalan Rawajati Barat, sekitar 100 meter dari Stasiun Kalibata. Di rumah bercat biru yang sudah kusam itulah Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istri.

Bangunannya sederhana ber­uku­ran sekitar 10 x 7 meter. Kulit temboknya sudah banyak me­nge­lupas itu. Masuk ke dalam rumah, di ruang tamu yang menyatu ruang tengah tertempel banyak foto di dinding.

Sebagian besar tanpa figura. Foto-foto itu hanya dilapisi pla­s­tik bening dan ditempel seadanya dengan selotip. Sebagian besar me­rupakan foto kenangan ber­sama rekan-rekannya sesama ve­teran maupun sejumlah tokoh negeri ini. Termasuk foto ber­sa­ma Susilo Bambang Yudhoyono. “Ini waktu dia SBY belum jadi presiden, waktu minta dukungan ja­ringan veteran untuk maju capres 2004 lalu,” tutur Ilyas.

Kepindahan keluarga Ilyas ke rumah ini berawal dari peng­gu­su­ran paksa dirinya dari Asrama Siliwangi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi pada 1982. Kini, di lokasi asrama itu berdiri Kantor Kementerian Ke­uangan. “Kami diusir saat itu, bukan digusur. Sebab, memang tidak ada uang pengganti sama se­kali yang kami terima,” tegasnya.

Bahkan, tidak banyak barang yang bisa diselamatkan saat hari pengusiran. Saat itu konsentrasi keluarga terpecah. Ilyas dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Ja­karta, karena sakit jantung. Meski diiringi isak tangis, buldozer terus meratakan bangunan tanpa bisa dikompromikan lagi.

“Tidak ada yang berani me­lawan karena kondisi politik dan keamanan saat itu tidak seperti sekarang,” imbuh bapak 14 anak tersebut. Bersama keluarga, Ilyas lantas menumpang di rumah re­kannya di Jalan Pramuka selama beberapa bulan.

Dari situlah dirinya kemudian tinggal di Kalibata sampai se­ka­rang. Saat berjalan-jalan di ka­wa­san dekat Taman Makam Pah­la­wan Kalibata, dia melihat lahan kosong yang dipenuhi ilalang di sepanjang rel. Dia lalu menemui kepala PT KA setempat dan min­ta izin mendirikan bangunan di lokasi tersebut. “Tapi, bukan hak mi­lik, kami hanya pinjam. Ka­re­na itu, sampai sekarang saya terus dibayang-bayangi ancaman peng­gusuran,” kata Ilyas.

Lantas, ke mana anak-anak Ilyas? Dia mengatakan, anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri dan tersebar di berbagai dae­rah. Bukan hanya di Jakarta, tapi ada yang di Medan, Padang, Pe­kanbaru, dan Semarang.

Bah­kan, ada pula yang meni­kah de­ngan orang Jerman dan tinggal di sana. “Hampir semua menga­jak ting­gal bersama, tapi saya yang ti­dak mau,” ujar kakek 28 cucu tersebut.

Ilyas beralasan, kalau ikut ber­sama anak-anak dirinya akan sa­ngat terbatas dalam berakti­vi­tas. “Saya ini pejuang dan ingin tetap berjuang sampai saya mati nanti,” tandas purnawirawan berpangkat terakhir letnan kolonel ini.

 Sejak 1996 Ilyas menjabat ketua Pengurus Pusat Yayasan Pe­juang Siliwangi Indonesia (Yapsi). Yayasan itu memiliki ca­bang di 14 provinsi, seperti di Me­dan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.

Selain dijadikan wadah bagi para eks pejuang Siliwangi dan ke­luarga, yayasan tersebut ber­gerak di bidang sosial. Di an­taranya memberikan santunan dan pengobatan gratis bagi warga tak mampu. Itulah aktivitas yang masih dilakoni Ilyas sampai sekarang. “Tidak tiap hari sih ke kantor, paling dalam seminggu 2 hingga 3 hari. Itung-itung olah­raga naik turun angkot,” katanya lantas terkekeh.

Siliwangi memang memiliki arti khusus bagi Ilyas Karim. Se­telah memutuskan bergabung men­jadi anggota Badan Ke­amanan Rakyat (BKR), dia turut berperan dalam pembentukan Divisi Sili­wangi yang saat ini jadi nama ko­mando daerah militer (Kodam).

Pada 20 Mei 1946 AH Nasu­tion mengundang sejumlah per­wa­kilan BKR dari beberapa wila­yah, seperti Jakarta, Banten, Bo­gor, dan Cirebon. Tujuannya pem­bentukan divisi baru. “Ke­betulan saya yang mengusulkan nama Siliwangi ke Pak Nasution dan beliau setuju,” kata Ilyas.

Sebagian besar karier militer­nya juga dihabiskan di Divisi Siliwangi. Beberapa tugas seperti penumpa­san Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan Operasi Seroja di Timor Timur sempat dilakoninya.

Ia juga beberapa ikut menjadi pasukan perdamaian PBB. Yaitu, misi perdamaian di Kongo, Viet­nam, dan Lebanon. Pada tahun 1980 Ilyas pensiun dari militer.

Setelah pensiun, Ilyas menyan­dang gelar veteran pejuang ke­mer­dekaan golongan A. Meski demikian, jangan mem­ba­yang­kan ia berlimpah tunjangan mau­pun uang penghormatan dari negara.

Sebagai veteran, dia mendapat uang kehormatan Rp 500 ribu per bulan. Lalu, sebagai pensiunan TNI AD, dia menerima Rp 1,5 juta per bulan. Namun, karena peraturan pemerintah terbaru, Ilyas tidak bisa menerima ke­dua­nya sekaligus. Dia harus memilih mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNIAD. “Ya, saya memilih mengambil uang pen­siunan,” ujar Ilyas.

Dapat Apartemen, Sakit Hati Reda

Gurat bahagia terlihat jelas di wajah Ilyas Karim. Betapa ti­dak, saksi sejarah pembacaan teks proklamasi dan pengibaran ben­dera merah-putih di kedia­man Soe­karno pada 1945 itu men­da­pat tempat tinggal cuma-cuma.

Bertepatan dengan Hari Ke­me­rdekaan RI ke-66, Ilyas Ka­rim mendapat hadiah sebuah apartemen dengan fasilitas leng­kap di Kalibata City, Jakarta Se­latan. “Alhamdulillah, ini se­per­ti mimpi. Masih ada yang peduli dengan pejuang sepertisaya, yang hampir dilupakan orang,” ujar Ilyas penuh haru.

Namun, kakek 28 cucu dari 14 anak ini baru bisa menikmati ting­gal di apartemen pada per­te­ngahan 2012. Pasalnya, Tower R yang rencananya akan di­tem­pati Ilyas masih tahap pem­ba­ngu­nan. “Insya Allah, bulan Mei sudah rampung dan sudah bisa dite­m­pati,” tutur Ilyas penuh harap.

Pemberian apartemen itu ber­mula dari kedatangan Ilyas ke Balaikota DKI Jakarta dua ta­hun lalu. Ia menemui Wakil Gu­ber­nur Prijanto. Dalam per­tem­uan tersebut, Ilyas bercerita ru­mah yang ditempatinya puluhan ta­hun akan digusur karena ter­letak di bantaran rel kereta. Saat itu Prijanto berjanji mencarikan apartemen di Kalibata City yang sedang dibangun.

Sebelumnya, pria kelahiran Pa­dang, Sumatera Barat, 31 De­sember 1927 menjalani masa tua di rumah semi per­manen di ban­taran rel kereta api dekat stasiun Duren Kalibata, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Ra­wajati Barat Nomor 07, RT 09 RW 04, Rawajati, Pan­coran, Jakarta Selatan.

Rumah dua lantai bercat biru yang sudah terlihat pudar dan reyot itu ditempati sejak rumah­nya di AsramaTentara Sili­wa­ngi, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, digusur pada 1984.

“Saat digusur, saya lalu minta izin ke PJKA menggunakan ta­nah kosong untuk bangun ru­mah. Sedangkan biaya mem­ba­ngun rumah didapat dari sum­bangan masyarakat seperti se­men, kayu, pasir, cat. Saya ha­nya bayar ong­kos tukangnya sa­ja sekitar Rp 15 ribu per hari se­lama dua bulan,” beber Ketua Umum Yayasan Pejuang Sili­wangi itu.

Ilyas mengatakan pemberian apartemen ini bisa menjadi pe­nawar rasa sakit hatinya karena digusur. “Saat digusur, tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Saya dan keluarga tidak sempat berkemas-kemas. Bahkan pia­gam penghargaan dan foto-foto kenangan dengan Bung Karno pun habis, rata dengan tanah. Tidak tersisa!” kenangnya. [rm]


Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya