RMOL.Tubuhnya kini lunglai dimakan usia. Langkah kaki yang dulu menghentak kini terasa berat dipijakkan. Kakinya bergetar saat menaiki anak tangga. Padahal, 66 tahun lalu, dua kaki itu menghasilkan suara berderap ketika melangkah.
Selain kaki, organ penglihatan juga telah menurun. Plester putih menempel di atas kedua kelopak maÂtanya. Plester itu untuk meÂmaksa kelopak matanya tetap terÂbuka. Ini akibat stroke yang meÂnyerangnya beberapa tahun lalu.
Kerut wajahnya pun mengiÂnÂdiÂkasikan kakek ini sudah meÂngeÂcap asam garam kehidupan. Begitu juga rambut putih yang meÂmenuhi kepala, alis dan kuÂmisnya. Dialah Ilyas Karim (84), seorang pejuang yang kini jaÂsanÂya seolah dilupakan pemerintah.
Nama Ilyas Karim memang tiÂdak terlalu populer di kalangan geÂnerasi penerus. Namun, sejarah mencatat ada seorang pemuda berusia 18 tahun mengenakan ceÂlana pendek dengan mantap meÂngibarkan Sang Saka Merah PuÂtih pada tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya.
Dialah saksi hidup pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno yang didampingi Mohammad Hatta di Jalan PeÂgangÂsaan Timur, Jakarta Pusat. Ilyas maÂsih ingat ketika diÂperÂcaya sebaÂgai pengibar bendera MeÂrah Putih, hatinya pun berÂgejolak gembira.
“Bagaimana tidak senang? Saat itu detik-detik kemerdekaan negara kita. Dan saya di situ meÂngiÂbarkan bendera Indonesia perÂtama kali di hadapan Bung KarÂno, Bung Hatta, Bu Fatmawati,†tutur Ilyas saat ditemui Rakyat Merdeka Jumat (19/8).
â€Mungkin saya satu-satunya orang yang masih hidup pada peÂristiwa itu,†kata Ilyas, dengan intonasi kalimat yang sangat jelas. Ketika menjadi pengibar bendera saat Proklamasi KeÂmerÂdekaan 17 Agustus 1945, umur Ilyas masih belia. Kini usianya menginjak 84 tahun.
Meski pernah terserang stroke, Ilyas masih lancar menceritakan peristiwa yang tak pernah bisa dilupakan seumur hidupnya. Tugas menjadi pengibar bendera, berawal pada 16 Agustus 1945 malam. Saat itu Ilyas dan beÂbeÂrapa rekannya yang berhimpun di Angkatan Pemuda Islam (API) mendapat undangan dari peÂmimÂpin API Chairul Saleh Rasyid untuk datang menyaksikan prokÂlamasi kemerdekaan.
Esok harinya, pada 17 Agustus 1945 setelah shalat Subuh, Ilyas dan 50 rekannya dengan berÂseÂmangat berjalan kaki dari markas API di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, menuju kediaman SoeÂkarÂno di Jalan Pegangsaan Timur 56. “Sampai saat itu pun saya belum tahu kalau akan menjadi pengibar bendera,†ujar Ilyas.
Sesampainya di rumah SoeÂkarÂno, tiba-tiba lengan kiri Ilyas diÂtaÂrik Sudanco (komandan peÂleton) Latief Hendraningrat. Ilyas diminta berdiri tak jauh dari tiang bendera. â€Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera. Hati-hati nanti memegangnya, jangan sampai sobek, (bendera) ini cuma dijahit dengan tangan oleh Bu FatÂmaÂwaÂti,†kata Ilyas, menirukan pesan Latief waktu itu.
Tidak ada latihan, tidak ada pula gladi resik. Sebab, tidak lama setelah dirinya ditunjuk, prosesi proklamasi kemerdekaan dimulai. “Sampai sekarang pun saya tidak tahu mengapa piÂliÂhanÂnya ke saya. Mungkin karena saya termasuk yang paling muda saat itu,†katanya mengira-ngira.
Seperti yang terlihat di foto di buku-buku sejarah, ada dua peÂngiÂbar bendera saat proklamasi. Selain Ilyas, pengibar bendera lainÂnya SuÂdanco Singgih. KeduaÂnya dikeÂliÂlingi Soekarno, M. HatÂta, dan FatÂmawati. Pemuda peÂngibar bendera yang bercelana penÂdek dan memÂbelakangi kamera itulah Ilyas KaÂrim. Dari enam orang di foto itu, tingÂgal Ilyas yang masih hidup.
“Bahkan, dari semua yang hadir di rumah Bung Karno wakÂtu itu pun mungkin tinggal saya yang masih diberi umur panÂjang,†ucap Ilyas.
Enam puluh enam tahun telah berlalu sejak peristiwa. Republik ini telah berkembang pesat. NaÂmun, hidup Ilyas jauh dari sejahÂtera. Dia dan istri sekarang tingÂgal di atas lahan pinjaman yang sewaktu-waktu bisa diusir.
Dia tinggal di rumah yang terletak di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. TeÂpatnya, di Jalan Rawajati Barat, sekitar 100 meter dari Stasiun Kalibata. Di rumah bercat biru yang sudah kusam itulah Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istri.
Bangunannya sederhana berÂukuÂran sekitar 10 x 7 meter. Kulit temboknya sudah banyak meÂngeÂlupas itu. Masuk ke dalam rumah, di ruang tamu yang menyatu ruang tengah tertempel banyak foto di dinding.
Sebagian besar tanpa figura. Foto-foto itu hanya dilapisi plaÂsÂtik bening dan ditempel seadanya dengan selotip. Sebagian besar meÂrupakan foto kenangan berÂsama rekan-rekannya sesama veÂteran maupun sejumlah tokoh negeri ini. Termasuk foto berÂsaÂma Susilo Bambang Yudhoyono. “Ini waktu dia SBY belum jadi presiden, waktu minta dukungan jaÂringan veteran untuk maju capres 2004 lalu,†tutur Ilyas.
Kepindahan keluarga Ilyas ke rumah ini berawal dari pengÂguÂsuÂran paksa dirinya dari Asrama Siliwangi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi pada 1982. Kini, di lokasi asrama itu berdiri Kantor Kementerian KeÂuangan. “Kami diusir saat itu, bukan digusur. Sebab, memang tidak ada uang pengganti sama seÂkali yang kami terima,†tegasnya.
Bahkan, tidak banyak barang yang bisa diselamatkan saat hari pengusiran. Saat itu konsentrasi keluarga terpecah. Ilyas dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, JaÂkarta, karena sakit jantung. Meski diiringi isak tangis, buldozer terus meratakan bangunan tanpa bisa dikompromikan lagi.
“Tidak ada yang berani meÂlawan karena kondisi politik dan keamanan saat itu tidak seperti sekarang,†imbuh bapak 14 anak tersebut. Bersama keluarga, Ilyas lantas menumpang di rumah reÂkannya di Jalan Pramuka selama beberapa bulan.
Dari situlah dirinya kemudian tinggal di Kalibata sampai seÂkaÂrang. Saat berjalan-jalan di kaÂwaÂsan dekat Taman Makam PahÂlaÂwan Kalibata, dia melihat lahan kosong yang dipenuhi ilalang di sepanjang rel. Dia lalu menemui kepala PT KA setempat dan minÂta izin mendirikan bangunan di lokasi tersebut. “Tapi, bukan hak miÂlik, kami hanya pinjam. KaÂreÂna itu, sampai sekarang saya terus dibayang-bayangi ancaman pengÂgusuran,†kata Ilyas.
Lantas, ke mana anak-anak Ilyas? Dia mengatakan, anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri dan tersebar di berbagai daeÂrah. Bukan hanya di Jakarta, tapi ada yang di Medan, Padang, PeÂkanbaru, dan Semarang.
BahÂkan, ada pula yang meniÂkah deÂngan orang Jerman dan tinggal di sana. “Hampir semua mengaÂjak tingÂgal bersama, tapi saya yang tiÂdak mau,†ujar kakek 28 cucu tersebut.
Ilyas beralasan, kalau ikut berÂsama anak-anak dirinya akan saÂngat terbatas dalam beraktiÂviÂtas. “Saya ini pejuang dan ingin tetap berjuang sampai saya mati nanti,†tandas purnawirawan berpangkat terakhir letnan kolonel ini.
Sejak 1996 Ilyas menjabat ketua Pengurus Pusat Yayasan PeÂjuang Siliwangi Indonesia (Yapsi). Yayasan itu memiliki caÂbang di 14 provinsi, seperti di MeÂdan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
Selain dijadikan wadah bagi para eks pejuang Siliwangi dan keÂluarga, yayasan tersebut berÂgerak di bidang sosial. Di anÂtaranya memberikan santunan dan pengobatan gratis bagi warga tak mampu. Itulah aktivitas yang masih dilakoni Ilyas sampai sekarang. “Tidak tiap hari sih ke kantor, paling dalam seminggu 2 hingga 3 hari. Itung-itung olahÂraga naik turun angkot,†katanya lantas terkekeh.
Siliwangi memang memiliki arti khusus bagi Ilyas Karim. SeÂtelah memutuskan bergabung menÂjadi anggota Badan KeÂamanan Rakyat (BKR), dia turut berperan dalam pembentukan Divisi SiliÂwangi yang saat ini jadi nama koÂmando daerah militer (Kodam).
Pada 20 Mei 1946 AH NasuÂtion mengundang sejumlah perÂwaÂkilan BKR dari beberapa wilaÂyah, seperti Jakarta, Banten, BoÂgor, dan Cirebon. Tujuannya pemÂbentukan divisi baru. “KeÂbetulan saya yang mengusulkan nama Siliwangi ke Pak Nasution dan beliau setuju,†kata Ilyas.
Sebagian besar karier militerÂnya juga dihabiskan di Divisi Siliwangi. Beberapa tugas seperti penumpaÂsan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan Operasi Seroja di Timor Timur sempat dilakoninya.
Ia juga beberapa ikut menjadi pasukan perdamaian PBB. Yaitu, misi perdamaian di Kongo, VietÂnam, dan Lebanon. Pada tahun 1980 Ilyas pensiun dari militer.
Setelah pensiun, Ilyas menyanÂdang gelar veteran pejuang keÂmerÂdekaan golongan A. Meski demikian, jangan memÂbaÂyangÂkan ia berlimpah tunjangan mauÂpun uang penghormatan dari negara.
Sebagai veteran, dia mendapat uang kehormatan Rp 500 ribu per bulan. Lalu, sebagai pensiunan TNI AD, dia menerima Rp 1,5 juta per bulan. Namun, karena peraturan pemerintah terbaru, Ilyas tidak bisa menerima keÂduaÂnya sekaligus. Dia harus memilih mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNIAD. “Ya, saya memilih mengambil uang penÂsiunan,†ujar Ilyas.
Dapat Apartemen, Sakit Hati Reda
Gurat bahagia terlihat jelas di wajah Ilyas Karim. Betapa tiÂdak, saksi sejarah pembacaan teks proklamasi dan pengibaran benÂdera merah-putih di kediaÂman SoeÂkarno pada 1945 itu menÂdaÂpat tempat tinggal cuma-cuma.
Bertepatan dengan Hari KeÂmeÂrdekaan RI ke-66, Ilyas KaÂrim mendapat hadiah sebuah apartemen dengan fasilitas lengÂkap di Kalibata City, Jakarta SeÂlatan. “Alhamdulillah, ini seÂperÂti mimpi. Masih ada yang peduli dengan pejuang sepertisaya, yang hampir dilupakan orang,†ujar Ilyas penuh haru.
Namun, kakek 28 cucu dari 14 anak ini baru bisa menikmati tingÂgal di apartemen pada perÂteÂngahan 2012. Pasalnya, Tower R yang rencananya akan diÂtemÂpati Ilyas masih tahap pemÂbaÂnguÂnan. “Insya Allah, bulan Mei sudah rampung dan sudah bisa diteÂmÂpati,†tutur Ilyas penuh harap.
Pemberian apartemen itu berÂmula dari kedatangan Ilyas ke Balaikota DKI Jakarta dua taÂhun lalu. Ia menemui Wakil GuÂberÂnur Prijanto. Dalam perÂtemÂuan tersebut, Ilyas bercerita ruÂmah yang ditempatinya puluhan taÂhun akan digusur karena terÂletak di bantaran rel kereta. Saat itu Prijanto berjanji mencarikan apartemen di Kalibata City yang sedang dibangun.
Sebelumnya, pria kelahiran PaÂdang, Sumatera Barat, 31 DeÂsember 1927 menjalani masa tua di rumah semi perÂmanen di banÂtaran rel kereta api dekat stasiun Duren Kalibata, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan RaÂwajati Barat Nomor 07, RT 09 RW 04, Rawajati, PanÂcoran, Jakarta Selatan.
Rumah dua lantai bercat biru yang sudah terlihat pudar dan reyot itu ditempati sejak rumahÂnya di AsramaTentara SiliÂwaÂngi, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, digusur pada 1984.
“Saat digusur, saya lalu minta izin ke PJKA menggunakan taÂnah kosong untuk bangun ruÂmah. Sedangkan biaya memÂbaÂngun rumah didapat dari sumÂbangan masyarakat seperti seÂmen, kayu, pasir, cat. Saya haÂnya bayar ongÂkos tukangnya saÂja sekitar Rp 15 ribu per hari seÂlama dua bulan,†beber Ketua Umum Yayasan Pejuang SiliÂwangi itu.
Ilyas mengatakan pemberian apartemen ini bisa menjadi peÂnawar rasa sakit hatinya karena digusur. “Saat digusur, tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Saya dan keluarga tidak sempat berkemas-kemas. Bahkan piaÂgam penghargaan dan foto-foto kenangan dengan Bung Karno pun habis, rata dengan tanah. Tidak tersisa!†kenangnya. [rm]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
UPDATE
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19
Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29
Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15