Berita

Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)

On The Spot

Cari Tambahan Penghasilan, jadi Penceramah Keliling

Ngintip Kehidupan Para Veteran
SABTU, 20 AGUSTUS 2011 | 08:22 WIB

RMOL. Sorot mata Abdul Aziz Muhammad tertuju ke majalah yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya di lantai 11 Gedung Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 50 Semanggi, Jakarta Selatan, kemarin siang.

Ia lalu mengambil salah satu ma­jalah dan membukanya lem­bar demi lembar. “Saya ingin me­lihat-lihat lagi kisah per­juangan teman-teman sesama veteran pembela kemerdekaan,” kata pria asal Aceh ini.

Aziz adalah salah satu veteran pembela kemerdekaan. Ia pernah terlibat dalam Operasi Dwikora dan Operasi Seroja. Seperti vete­ran lainnya, ia sudah sepuh. Ta­hun ini usianya menginjak 70 tahun.

Pada 17 Agustus lalu, republik ini genap berusia 66 tahun. Ve­teran yang masih hidup seperti Aziz telah banyak melihat pe­rubahan buah dari kemerdekaan yang mereka perjuangkan dan pertahankan.
Kini, di alam kemerdekaan me­reka tetap harus berjuang. Bukan melawan kaum penjajah, melain­kan agar bisa bertahan hidup. Selama ini, perhatian negara atas jasa-jasa mereka masih minim.

Setiap bulan Aziz hanya men­dapat uang kehormatan sebesar Rp 250 ribu. Sebagai purna­wirawan TNI AU dengan pangkat terakhir kolonel, ia berhak atas pensiun sebesar Rp 2,5 juta setiap bulan. “Kalau pangkatnya lebih rendah tentu uang pensiunnya lebih sedikit,” katanya.

Menurut dia, penghasilan itu tak memadai untuk hidup di Jakarta. Aziz memiliki seorang istri dan tiga anak. Istrinya hanya ibu rumah tangga.

Uang yang diterimanya nyaris habis untuk makan, membayar tagihan listrik dan air, iuran ke­amanan lingkungan dan mem­bayar pajak. “Setiap bulan saya menghabiskan Rp 2 juta untuk kebutuhan biaya hidup sehari-hari,” katanya.

Untuk menambah penghasilan, Aziz menjadi penceramah ke­liling. Kebetulan ia memiliki pengetahuan agama lebih. Dari memberikan ceramah ini, kehi­du­pan ekonomi keluarganya sedikit tertolong.

Aziz cukup bersyukur karena dia bisa memiliki tempat tinggal di hari tuanya. Saat ini, dia men­diami rumah di kompleks TNI AU di Pondok Gede, Jakarta Ti­mur. “Rumahnya lumayan nya­man untuk ditinggali, ukurannya juga tidak terlalu besar.”

Rumah yang ditempatinya sudah tua. Kayu atapnya banyak yang lapuk. “Kalau hujan selalu bocor,” keluh Aziz. Ia tak punya uang untuk memperbaikinya.

Bila ada waktu luang, ia mem­perbaiki sendiri dengan keter­batasan tenaga yang dimilikinya. “Maklum tidak punya uang untuk memanggil tukang bangunan,” katanya.

Tiga anaknya tak ada satupun yang mengikuti jejaknya menjadi tentara. Semuanya mengenakan kacamata sehingga tak memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi akademi militer.

Seorang anaknya berkarier se­bagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan TNI AU. Dua lainnya memilih jadi wiraswasta. Beban Aziz kini berkurang. Se­bab semua anaknya telah ber­keluarga. “Mereka sudah tinggal ter­pisah,” tutur Aziz.

Angkut Jenazah Tanpa Pengawalan

Saat Operasi Seroja, Aziz me­­nerbangkan helikopter tipe Belt 206. Pangkatnya telah naik jadi pilot. Operasi Seroja adalah sandi un­tuk penyusupan pasukan In­donesia ke wilayah Timor Ti­mur. Operasi ini dimulai pada 7 De­sember 1975.

Aziz menceritakan, saat ope­rasi itu helikopter yang diba­wa­nya lebih kecil dibanding saat Ope­rasi Dwikora. Hanya mam­pu membawa lima orang di da­lam kabin.

Dalam operasi tersebut, Aziz tidak diperbolehkan meng­gu­na­kan pakaian tentara. Tujuan­nya agar helikopter tak ditem­baki musuh.

Dengan ukuran helikopter yang lebih kecil, Aziz kesulitan bila harus membawa mayat. Ka­rena keterbatasan ruang, tak ada orang yang menjaga jenazah-je­nazah itu. “Saya hanya berdoa moga-moga mayatnya tidak jatuh, kalau jatuh bisa berba­haya.” Jenazah itu bisa dike­te­mu­kan dan dikenali musuh.”

Selama Operasi Seroja, pasu­kan Indonesia bermarkas di Dili. Se­luruh bantuan terkumpul di tempat ini kemudian didis­tri­busikan ke wilayah pertempuran.

“Kebetulan wilayah pertempu­ran tidak terlalu jauh dengan markas pusat se­hing­ga proses pengiriman bisa ber­lang­sung cepat,” katanya.

Helikopter Ditembak Musuh

Abdul Aziz Muhammad ter­libat dalam konfrontasi dengan Malaysia pada 1962. Saat itu, Presiden Soekarno menggelar Operasi Dwikora untuk meng­hadang keinginan Persekutuan Tanah Melayu menggabungkan Brunei, Sabah dan Serawak dalam Federasi Malaysia.

Soekarno menganggap itu ber­tentangan dengan Persetu­ju­an Manila. Ia juga menilai pem­bentukan Federasi Malaysia hanya akan menjadi boneka Inggris—yang ingin kembali mencengkeram Asia Tenggara lewat kolonialisme dan im­peralisme gaya baru.

Saat operasi, Aziz masih se­ba­gai kopilot helikopter buatan Uni Sovyet. Sebelumnya, dia te­lah mendapat pendidikan pener­bangan selama tiga tahun di Cekoslovakia, negara yang berada di bawah Blok Timur.

Ia salah satu penerbang yang mendapat kesempatan pertama menerbangkan helikopter uku­ran besar yang bisa me­ngangkut 18 personel.

Aziz ditugaskan ke Kali­man­tan Barat yang berbatasan lang­sung dengan Malaysia. Selama empat tahun, dia mengirim pa­sukan ke garis depan berhadap-hadapan dengan pasukan musuh.

Selain itu, dia juga mengang­kut persenjataan dan logistik untuk pasukan yang berada di garis depan. Tugas ini bukanlah ringan. Helikopter yang di­ken­darainya kerap ditembaki pa­sukan musuh.

Aziz menjelaskan, ada prose­dur pengiriman logistik kepada pasukan di lapangan. Pertama, pasukan meminta logistik ke­pada markas komando lewat ra­dio. Pasukan juga mem­beri­tahukan titik koordinat mereka berada.

Aziz lalu terbang membawa logistik ke titik pertemuan yang telah ditetapkan. Sebelum men­darat, dia memanggil pasukan lewat pengeras suara. Bila ada jawaban, logistik dijatuhkan dari atas helikopter.

Namun, bila tidak ada ja­wa­ban setelah dipanggil berkali-kali, helikopter putar haluan kembali ke markas. “Ini sudah menjadi prosedur tetap dan su­dah menjadi kesepakatan se­belum mereka diberangkatkan ke pertempuran,” jelas Aziz.

Hal ini dilakukan untuk men­j­­aga keselamatan, karena diri­nya tidak mengetahui identitas pasukan yang ada di darat. “Bila tetap dipaksakan terbang rendah ternyata yang di bawah adalah pasukan musuh, bisa fatal,” katanya.

Keberadaan pasukan Indo­nesia bisa diketahui dari sandi asap dari kayu yang dibakar. “Ini merupakan ciri khas pa­su­kan Indonesia agar bisa dibe­dakan dengan pasukan musuh,”  kata Aziz.

Pengiriman bantuan, kata Aziz,  tak mengenal waktu. Bisa siang atau malam. “Yang menghambat kami hanya bila terjadi mendung yang sangat tebal dan terjadi hujan.” Sebab, helikopter tidak bisa terbang tinggi ke atas awan.

Untuk mencegah ditembak musuh, Aziz menerbangkan helikopter di ketinggian 9 ribu kaki. Ia perlu waspada bila melalui kawasan pegunungan dan perbukitan. “Biasanya saya menerbangkan 200 meter di atas puncak gunung agar tem­bakan musuh tidak bisa me­ngenainya,” katanya.

Walaupun begitu, helikop­ternya pernah ditembak musuh. Beruntung hanya mengenai lam­bung sehingga dia bisa kem­bali ke markas. “Helikopter yang berada dibelakang saya ditembak jatuh,” kenangnya waktu itu.

Aziz punya pengalaman mengerikan ketika mengangkut puluhan jenazah dari medan pertempuran ke markas. “Wak­tu itu saya hampir muntah ka­rena ada bau anyir yang berasal dari beberapa jenazah yang sangat menyengat di kabin heli,” katanya.   [rm]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya