RMOL. Sorot mata Abdul Aziz Muhammad tertuju ke majalah yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya di lantai 11 Gedung Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 50 Semanggi, Jakarta Selatan, kemarin siang.
Ia lalu mengambil salah satu maÂjalah dan membukanya lemÂbar demi lembar. “Saya ingin meÂlihat-lihat lagi kisah perÂjuangan teman-teman sesama veteran pembela kemerdekaan,†kata pria asal Aceh ini.
Aziz adalah salah satu veteran pembela kemerdekaan. Ia pernah terlibat dalam Operasi Dwikora dan Operasi Seroja. Seperti veteÂran lainnya, ia sudah sepuh. TaÂhun ini usianya menginjak 70 tahun.
Pada 17 Agustus lalu, republik ini genap berusia 66 tahun. VeÂteran yang masih hidup seperti Aziz telah banyak melihat peÂrubahan buah dari kemerdekaan yang mereka perjuangkan dan pertahankan.
Kini, di alam kemerdekaan meÂreka tetap harus berjuang. Bukan melawan kaum penjajah, melainÂkan agar bisa bertahan hidup. Selama ini, perhatian negara atas jasa-jasa mereka masih minim.
Setiap bulan Aziz hanya menÂdapat uang kehormatan sebesar Rp 250 ribu. Sebagai purnaÂwirawan TNI AU dengan pangkat terakhir kolonel, ia berhak atas pensiun sebesar Rp 2,5 juta setiap bulan. “Kalau pangkatnya lebih rendah tentu uang pensiunnya lebih sedikit,†katanya.
Menurut dia, penghasilan itu tak memadai untuk hidup di Jakarta. Aziz memiliki seorang istri dan tiga anak. Istrinya hanya ibu rumah tangga.
Uang yang diterimanya nyaris habis untuk makan, membayar tagihan listrik dan air, iuran keÂamanan lingkungan dan memÂbayar pajak. “Setiap bulan saya menghabiskan Rp 2 juta untuk kebutuhan biaya hidup sehari-hari,†katanya.
Untuk menambah penghasilan, Aziz menjadi penceramah keÂliling. Kebetulan ia memiliki pengetahuan agama lebih. Dari memberikan ceramah ini, kehiÂduÂpan ekonomi keluarganya sedikit tertolong.
Aziz cukup bersyukur karena dia bisa memiliki tempat tinggal di hari tuanya. Saat ini, dia menÂdiami rumah di kompleks TNI AU di Pondok Gede, Jakarta TiÂmur. “Rumahnya lumayan nyaÂman untuk ditinggali, ukurannya juga tidak terlalu besar.â€
Rumah yang ditempatinya sudah tua. Kayu atapnya banyak yang lapuk. “Kalau hujan selalu bocor,†keluh Aziz. Ia tak punya uang untuk memperbaikinya.
Bila ada waktu luang, ia memÂperbaiki sendiri dengan keterÂbatasan tenaga yang dimilikinya. “Maklum tidak punya uang untuk memanggil tukang bangunan,†katanya.
Tiga anaknya tak ada satupun yang mengikuti jejaknya menjadi tentara. Semuanya mengenakan kacamata sehingga tak memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi akademi militer.
Seorang anaknya berkarier seÂbagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan TNI AU. Dua lainnya memilih jadi wiraswasta. Beban Aziz kini berkurang. SeÂbab semua anaknya telah berÂkeluarga. “Mereka sudah tinggal terÂpisah,†tutur Aziz.
Angkut Jenazah Tanpa PengawalanSaat Operasi Seroja, Aziz meÂÂnerbangkan helikopter tipe Belt 206. Pangkatnya telah naik jadi pilot. Operasi Seroja adalah sandi unÂtuk penyusupan pasukan InÂdonesia ke wilayah Timor TiÂmur. Operasi ini dimulai pada 7 DeÂsember 1975.
Aziz menceritakan, saat opeÂrasi itu helikopter yang dibaÂwaÂnya lebih kecil dibanding saat OpeÂrasi Dwikora. Hanya mamÂpu membawa lima orang di daÂlam kabin.
Dalam operasi tersebut, Aziz tidak diperbolehkan mengÂguÂnaÂkan pakaian tentara. TujuanÂnya agar helikopter tak ditemÂbaki musuh.
Dengan ukuran helikopter yang lebih kecil, Aziz kesulitan bila harus membawa mayat. KaÂrena keterbatasan ruang, tak ada orang yang menjaga jenazah-jeÂnazah itu. “Saya hanya berdoa moga-moga mayatnya tidak jatuh, kalau jatuh bisa berbaÂhaya.†Jenazah itu bisa dikeÂteÂmuÂkan dan dikenali musuh.â€
Selama Operasi Seroja, pasuÂkan Indonesia bermarkas di Dili. SeÂluruh bantuan terkumpul di tempat ini kemudian didisÂtriÂbusikan ke wilayah pertempuran.
“Kebetulan wilayah pertempuÂran tidak terlalu jauh dengan markas pusat seÂhingÂga proses pengiriman bisa berÂlangÂsung cepat,†katanya.
Helikopter Ditembak MusuhAbdul Aziz Muhammad terÂlibat dalam konfrontasi dengan Malaysia pada 1962. Saat itu, Presiden Soekarno menggelar Operasi Dwikora untuk mengÂhadang keinginan Persekutuan Tanah Melayu menggabungkan Brunei, Sabah dan Serawak dalam Federasi Malaysia.
Soekarno menganggap itu berÂtentangan dengan PersetuÂjuÂan Manila. Ia juga menilai pemÂbentukan Federasi Malaysia hanya akan menjadi boneka Inggris—yang ingin kembali mencengkeram Asia Tenggara lewat kolonialisme dan imÂperalisme gaya baru.
Saat operasi, Aziz masih seÂbaÂgai kopilot helikopter buatan Uni Sovyet. Sebelumnya, dia teÂlah mendapat pendidikan penerÂbangan selama tiga tahun di Cekoslovakia, negara yang berada di bawah Blok Timur.
Ia salah satu penerbang yang mendapat kesempatan pertama menerbangkan helikopter ukuÂran besar yang bisa meÂngangkut 18 personel.
Aziz ditugaskan ke KaliÂmanÂtan Barat yang berbatasan langÂsung dengan Malaysia. Selama empat tahun, dia mengirim paÂsukan ke garis depan berhadap-hadapan dengan pasukan musuh.
Selain itu, dia juga mengangÂkut persenjataan dan logistik untuk pasukan yang berada di garis depan. Tugas ini bukanlah ringan. Helikopter yang diÂkenÂdarainya kerap ditembaki paÂsukan musuh.
Aziz menjelaskan, ada proseÂdur pengiriman logistik kepada pasukan di lapangan. Pertama, pasukan meminta logistik keÂpada markas komando lewat raÂdio. Pasukan juga memÂberiÂtahukan titik koordinat mereka berada.
Aziz lalu terbang membawa logistik ke titik pertemuan yang telah ditetapkan. Sebelum menÂdarat, dia memanggil pasukan lewat pengeras suara. Bila ada jawaban, logistik dijatuhkan dari atas helikopter.
Namun, bila tidak ada jaÂwaÂban setelah dipanggil berkali-kali, helikopter putar haluan kembali ke markas. “Ini sudah menjadi prosedur tetap dan suÂdah menjadi kesepakatan seÂbelum mereka diberangkatkan ke pertempuran,†jelas Aziz.
Hal ini dilakukan untuk menÂjÂÂaga keselamatan, karena diriÂnya tidak mengetahui identitas pasukan yang ada di darat. “Bila tetap dipaksakan terbang rendah ternyata yang di bawah adalah pasukan musuh, bisa fatal,†katanya.
Keberadaan pasukan IndoÂnesia bisa diketahui dari sandi asap dari kayu yang dibakar. “Ini merupakan ciri khas paÂsuÂkan Indonesia agar bisa dibeÂdakan dengan pasukan musuh,†kata Aziz.
Pengiriman bantuan, kata Aziz, tak mengenal waktu. Bisa siang atau malam. “Yang menghambat kami hanya bila terjadi mendung yang sangat tebal dan terjadi hujan.†Sebab, helikopter tidak bisa terbang tinggi ke atas awan.
Untuk mencegah ditembak musuh, Aziz menerbangkan helikopter di ketinggian 9 ribu kaki. Ia perlu waspada bila melalui kawasan pegunungan dan perbukitan. “Biasanya saya menerbangkan 200 meter di atas puncak gunung agar temÂbakan musuh tidak bisa meÂngenainya,†katanya.
Walaupun begitu, helikopÂternya pernah ditembak musuh. Beruntung hanya mengenai lamÂbung sehingga dia bisa kemÂbali ke markas. “Helikopter yang berada dibelakang saya ditembak jatuh,†kenangnya waktu itu.
Aziz punya pengalaman mengerikan ketika mengangkut puluhan jenazah dari medan pertempuran ke markas. “WakÂtu itu saya hampir muntah kaÂrena ada bau anyir yang berasal dari beberapa jenazah yang sangat menyengat di kabin heli,†katanya.
[rm]