RMOL. Politisi Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo akhirnya memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Keterangan mengeÂnai peÂmeÂriksaan Dewi dikemukakan kuaÂsa hukumnya, Elza Syarief. Dia menyatakan, kliennya telah memÂÂberi kesaksian seputar kasus yang menyeret politisi Partai HaÂnura tersebut. “Sudah selesai diÂperiksa,†ujarnya saat dikonÂfirÂmasi Rakyat Merdeka, kemarin petang.
Elza menambahkan, Dewi juga telah menandatangani berkas acara pemeriksaan. “Dia juga sudah menandatangani berkas perkara,†ujarnya.
Akan tetapi, Elza tidak bersedia memberikan penjelasan mengeÂnai substansi pemeriksaan klienÂnya tersebut. Alasannya, dia khaÂwatir, penyampaian substansi peÂmeriksaan Dewi justru menyalahi aturan.
Kendati begitu, layaknya peÂngaÂcara, Elza getol membela klienÂnya. Menurut dia, Dewi, klienÂnya sama sekali tidak terkait dengan kasus ini. Soalnya, samÂbung dia, putusan tersebut meÂrupakan kompetensi MK. “Klien saya tidak terkait dengan perÂsoalan surat MK itu. Itu urusanÂnya MK,†belanya.
Menurut pengaÂcara Dewi, Yaser S Wahab, klienÂnya mendaÂpat 26 pertanyaan. Dewi dipeÂrikÂsa dari pukul 11 sampai 19.00 WIB.
Sementara itu, sumber di lingÂkungan Direktorat I BaresÂkrim menginformasikan, pemeriksaan saksi Dewi masih berkutat soal idenÂtitas dan perÂkenalannya deÂngan tersangka peÂmalsuan surat putusan MK Masyhuri Hasan dan saksi-saksi lain, baik dari MK mauÂpun KPU.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, untuk menuntaskan kasus ini, kepolisian masih perlu mengorek keterangan sejumlah pihak. Soalnya, dalam penyidikan kasus ini, penyidik menemukan banyak kejanggalan seperti keterangan yang saling bertentangan satu sama lain. “Masih ada keterangan yang saling bertentangan. Kami kros cek satu persatu,†tandasnya.
Namun, dia mengaku belum tahu kapan agenda BaresÂkrim akan mengkonfrontir Dewi deÂngan saksi-saksi lain atau terÂsangka kasus ini. “Pasti akan dilaksanakan,†ujar bekas Kepala Polda Jawa Timur ini.
Menurut Anton, sejauh ini sudah 27 saksi kasus ini yang diperiksa. Pemeriksaan fokus paÂda kelompok pemalsu dan keÂlomÂpok yang menyuruh meÂmalsukan surat. Dia tidak menyangkal bahÂwa para saksi kasus ini adalah sejumlah staf MK dan KPU.
Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim ke Kejaksaan Agung oleh Polri disebutkan, terÂsangka kasus ini adalah Masyhuri Hasan dan kawan-kawan. NaÂmun, siapa yang dimaksud “dan kawan-kawan†itu, sampai keÂmarin masih misterius. Anton mauÂpun sumber-sumber di keÂpolisian, masih tutup mulut mengenai hal ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) KejakÂsaÂan Agung Noor Rochmad yang diÂmintai penjelasan seputar “kaÂwan-kawan†Masyhuri Hasan itu, juga enggan berterus terang. Alasannya, kasus tersebut masih dalam tahap penyidikan di Mabes Polri. “Kejaksaan Agung hanya meÂnunggu penyelesaian berkas perkara oleh Polri,†katanya.
Sementara itu, mengenai keÂmungkinan Dewi menjadi terÂsangka lain kasus ini, Elza SyaÂrief kembali membela kliennya. Elza bertanya, dasar penetapan status tersangka terhadap Dewi itu apa. Justru, dia mengklaim, pada kasus ini kliennya dalam posisi sebagai korban.
Apalagi, Elza menambahkan, kliennya selama ini sudah berÂusaÂha optimal mematuhi rangkaian huÂkum penuntasan perkara terÂsebut. “Kami sudah sampaikan semua data yang diperlukan penyidik. Kami siap memberi keterangan setiap diperlukan penyidik,†ujarnya.
Hingga kemarin, Bareskrim Mabes Polri baru menetapkan juru panggil MK Masyhuri Hasan sebagai satu-satunya tersangka kasus ini. Sedangkan sederet naÂma ngetop lainnya masih berÂstatus saksi.
Ayo Tebak, Siapa Yang Ngibul...Surat palsu putusan MahÂkaÂmah Konstitusi (MK) mengenai sebuah kursi DPR dari Daerah PeÂmilihan Sulawesi Selatan I yang kini menyeret Dewi Yasin Limpo sebagai saksi, berdasarkan inÂvestigasi Mahkamah Konstitusi (MK), diduga dibuat di kediaman hakim MK Arsyad Sanusi. DeÂmikian keterangan Sekjen MK Djanedjri M Gaffar di hadapan Panja Mafia Pemilu DPR pada Selasa (21/6).
Menurut Djanedri, pada 16 Agustus 2009, sekitar pukul 12.00 WIB, Panitera MK Zaenal Arifin Hoesein ditelepon Arsyad. Saat itu, kata Djaned, Arsyad menanyakan, apakah putusan itu adalah penambahan suara atau tidak. Panitera menjawab Arsyad, putusan itu bukan penambahan.
Lalu, menurut Djaned, Arsyad mengatakan bahwa ada caleg dari Dapil Sulsel I bernama Dewi Yasin Limpo bermaksud meneÂmui Panitera MK, namun Zainal meÂnolak dengan alasan, kalau mau bertemu di kantor saja. Tapi, seÂkitar pukul 20.00 WIB, PaÂnitera MK itu kedatangan tamu, yakni Dewi Yasin Limpo. Caleg Hanura ini datang ke perumahan pegawai dan karyawan MK di Bekasi, Jawa Barat. Dewi pun meminta tolong agar surat jaÂwaban panitera ada kata peÂnamÂbahan. Permintaan itu, kataÂnya, ditolak panitera MK.
Kemudian, lanjut Djaned, pada 17 Agustus 2009, pukul 14.00 WIB, Masyhuri bertemu Ketua MK Mahfud Md selama 15 samÂpai 20 menit. Saat itu, Masyhuri berkonsultasi kepada Mahfud perihal surat jawaban putusan. Mahfud pun menjelaskan, surat jawaban harus berdasarkan amar putusan MK, yang harus dikirim ke anggota KPU Andi Nurpati. Surat tersebut kemudian dibawa Masyhuri ke KPU.
Saat itu, Masyhuri ditemani staf MK lainnya, Nalom. Di KPU, mereka bertemu Dewi Yasin Limpo yang juga sudah berÂada di KPU. Lalu Dewi meÂnelepon seseorang dengan bahasa daerah. “Saat itu Nalom tak memahaminya. Ternyata, yang bicara adalah Nesha, putri Pak Arsyad. Nesha meminta Dewi membaca isi surat itu. Lalu, surat itu diserahkan ke Dewi, karena menurut Nesha, itu perintah Pak Arsyad,†cerita Djaned.
Berdasarkan keterangan SekÂjen MK itu, Dewi diduga berÂpeÂran aktif dalam kasus ini. NaÂmun, menurut pengacara Dewi, Elza Syarief, kliennya justru korban. Soalnya, bela Elza, perolehan suara kliennya malah jadi melorot.
Kemarin, menurut Elza, selain menjadi saksi kasus surat palsu putusan MK, Dewi juga dimintai kesaksian dalam kapasitas sebagai pelapor atas laporan yang disampaikannya ke Bareskrim pada 9 November 2009. Hal itu disampaikan Elza menanggapi sumber di lingkungan Direktorat I Bareskrim, bahwa Dewi juga dimintai keterangan seputar laÂporannya tersebut.
“Ia kecewa kaÂrena merasa diÂcurangi KPU. DaÂsar laporan DeÂwi dipiÂcu perolehan suaranya di KPU yang menyusut,†kata sumÂber itu.
Dewi melaporkan KPU, terkait pembatalan dirinya sebagai anggota DPR. “Saya sangat keÂcewa, karena satu surat KPU bisa membatalkan surat MK yang kaÂtanya sangat mengikat,†ujarnya.
Padahal, lanjut Dewi, dirinya meÂmenangi gugatan sengketa pemilu di MK. Dia mengklaim, meski MK mengabulkan gugatÂannya, tapi perolehan suaÂranya justru menyusut. “Sangat memÂbingungkan. Gugatan saya dikaÂbulkan, tapi suara saya berkurang 1.677. Ini menjadi misteri sampai seÂkarang,†kata Dewi di hadapan Panja Mafia Pemilu DPR, 7 Juli 2011.
Dewi pun mengaku melapor ke polisi tanggal 9 November 2009. “Laporan saya itu jauh seÂbelum MK melapor. Saya bukan melaporkan MK, tapi KPU,†katanya.
Catatan Penting Untuk Segera DituntaskanAzis Syamsuddin, Komisi III DPRPenanganan perkara duÂgaÂan surat putusan palsu MahÂkamah Konstitusi (MK) menÂjadi perhatian khusus Komisi III DPR.
Soalnya, menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin, setelah sekian lama ditangani kepolisian, tersangka kasus ini tetap saja satu orang. Tersangka itu pun hanya sekelas juru panggil MK, Masyhuri Hasan. “Kasus ini masuk dalam pantauan kami di Komisi III DPR,†ujarnya.
Menurut Azis, penuntasan kasus tersebut sangat penting. Soalnya, selain menyangkut perÂkara hukum, kasus tersebut juga menyangkut persoalan poÂlitik. “Ada kepentingan poÂlitik yang bersinggungan dengan masalah hukum di sini. Ini menjadi catatan penting untuk segera dituntaskan,†ucap poÂlitikus Partai Golkar ini.
Dia pun mengingatkan kepoÂlisian agar penuntasan kasus terÂsebut tidak berlarut-larut. SoalÂnya, efek dari perkara yang tiÂdak kunjung tuntas bisa diÂmanÂfaatkan pihak tertentu untuk mendiskreditkan pihak lainnya. Dia menyatakan, berlarutnya perÂkara juga memicu munÂculÂnya mafia perkara. “Ini yang haÂrusnya dihindarkan sejak dini,†tandasnya.
Azis pun meminta Panja MaÂfia Pemilu untuk tetap fokus menuntaskan perkara tersebut. Pasalnya, menurut dia, penunÂtasan kasus ini dari segi politis saÂngat ditentukan DPR. “KreÂdibilitas DPR sebagai pengawal demokrasi pun akan ditentukan dari keberhasilan menyingkap perkara ini dari segi politis,†tegasnya.
Menurut Kadivhumas Polri Anton Bahrul Alam, sejauh ini sudah 27 saksi kasus ini yang diperiksa. Pemeriksaan fokus pada kelompok pemalsu dan kelompok yang menyuruh memalsukan surat. Dia tidak menyangkal bahwa para saksi kasus ini adalah sejumlah staf MK dan KPU.
Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim ke Kejaksaan Agung oleh Polri disebutkan, terÂsangka kasus ini adalah MaÂsyhuri Hasan dan kawan-kaÂwan. Namun, siapa yang diÂmaksud “dan kawan-kawan†itu, sampai kemarin masih misÂterius. Anton maupun sumber-sumber di kepolisian, masih tuÂtup mulut mengenai hal ini.
Mana Janji Polisi Tetapkan Tersangka BaruFadli Nasution, Sekjen PMHIPengusutan kasus surat putusan palsu Mahkamah KonÂstitusi (MK) hendaknya diseleÂsaikan secara cepat. KeÂpolisian tidak boleh janji-janji terus akan menentukan tersangka baru kasus tersebut. Demikian penÂdapat Sekjen Perhimpunan MaÂgister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution.
“Baru ada satu tersangka saja kan? Mana janji-janji kepoliÂsian yang akan menentukan terÂsangka baru kasus ini setelah Masyhuri Hasan?†tanya Fadli, kemarin.
Fadli menilai, belum adanya peÂnetapan tersangka baru akan meÂlemahkan Bareskrim Polri yang dipimpin komandan baruÂnya, Irjen Sutarman. Apalagi, sambungnya, kesaksian para saksi maupun bukti-bukti daÂlam perkara ini sudah ada di tangan kepolisian.
Dia menegaskan, kejelasan status hukum atas sederet nama yang terkait kasus ini, akan mengÂhilangkan penilaian maÂsyaÂrakat tentang adanya inÂtervensi kepada kepolisian. “KeÂjelasan status ini juga akan menghilangkan penafsiran bahÂwa satu kursi DPR yang diÂperebutkan itu, sebagai kursi panas,†tandasnya.
Dari segi hukum, tuturnya, penyelesaian kasus ini akan menunjukkan bahwa kepolisian memiliki komitmen dalam menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan masalah politik.
“Kita berharap indepenÂdensi kepolisian mengusut kasus ini dikedepankan. ApaÂpun konÂsekwensinya, hukum haÂrus berada pada garda terdeÂpan,†imbuhnya.
Menurut Kepala Divisi HuÂmas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, untuk menuntaskan kaÂsus ini, kepolisian masih perlu mengorek keterangan sejumlah pihak. Soalnya, dalam penyiÂdikan kasus ini, penyidik meneÂmukan banyak kejanggalan seperti keterangan yang saling berÂtentangan satu sama lain. “Masih ada keterangan yang saling bertentangan. Kami kros cek satu persatu,†tandasnya.
Namun, dia mengaku belum tahu kapan agenda BaresÂkrim akan mengkonfrontir DeÂwi dengan saksi-saksi lain atau tersangka kasus ini.
“Pasti akan dilaksanakan,†ujar bekas KeÂpala Polda Jawa Timur ini.
[rm]