RMOL. Perhatian Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul, Korea Selatan, tidak lagi sekedar mengutamakan kerjasama ekonomi kedua negara. Sejak awal 2010, KBRI juga fokus melindungi dan melayani warganegara Indonesia maupun tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di Korea.
Demikian disampaikan Duta Besar RI untuk Korea Selatan, Nicholas T. Dammen, saat bertemu dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dam Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Moh. Jumhur Hidayat, di Seoul, Korea Selatan.
Kunjungan Jumhur ke Korsel ini didampingi oleh Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah Haposan Saragih dan Direktur Perlindungan dan Advokasi Kawasan Asia Pasifik BNP2TKI, Sadono. Kunjugan ini bertujuan untuk menangani permasalahan TKI ilegal dan atau overstay yang ada di Korea. Kunjungan ini juga dimaksudkan untuk mensosialisasikan agenda pemulangan TKI ilegal dan overstay ke tanah air, yang melibatkan kerjasama perwakilan RI dan unsur pemerintah Korea yaitu Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi, serta HRD Korea selaku institusi pelaksana program penempatan TKI goverment to goverment bekerjasama BNP2KI yang mewakili pemerintah Indonesia sejak 2007.
Dengan fokus pelayanan dan perlindungan TKI, kata Dammen, keberadaan, fungsi, dan komitmen KBRI dapat dirasakan oleh warganegara Indonesia di luar negeri. Apalagi, kata Dammen, jumlah TKI di Korea Selatan sekitar 31 ribu orang.
Ditambahkan Dammen, kasus-kasus TKI di Korea memang tidak seberat kasus TKI di negara lain yang diakibatkan kekerasan pihak pengguna atau tersangkut peristiwa kriminal. Hal ini, kata Dammen, karena seluruh TKI di Korsel bekerja di sektor formal yang terlindungi dengan aturan ketenagakerjaan di lingkungan tempatnya bekerja, baik di perusahaan manufaktur, perkebunan, perikanan, konstruksi, serta jasa.
"Kasus TKI di Korea hanya merupakan kecelakaan di tempat kerja atau pelanggaran izin tinggal," kata Dammen, kepada
Rakyat Merdeka Online Sabtu malam (23/7).
Dammen mengaku, di Korea juga ada kasus TKI terbunuh namun penyebabnya semata-mata kecelakaan kerja yang membuat TKI mengalami risiko kehilangan nyawa, seperti terjadi di perusahaan konstruksi atau pada kapal-kapal penangkap ikan.
"Meski kasus ini adalah
force major yang bukan kesengajaan dan juga adanya kelalaian, tapi KBRI tetap bersikap pro-aktif agar tidak berulang dan merugikan para TKI," jelas Dammen.
Terkait para TKI
overstayers, Dammen menilai fenomena itu bisa terus terjadi akibat TKI umumnya tidak memilih pulang setelah masa kontraknya selesai.
"Salah satu cara untuk mengatasinya dengan menggencarkan sosialisasi kepada para TKI yang telah habis masa kontrak kerjanya dan yang akan segera berakhir, untuk pulang dahulu ke tanah air jika ingin bekerja lagi di Korea Selatan," ujarnya.
Dammen mengatakan, para TKI di Korea Selatan tidak boleh dibiarkan menjadi
overstayers karena dapat berakibat penangkapan dan deportasi oleh pihak imigrasi Korea Selatan. Karena itu Dammen menyambut baik langkah BNP2TKI yang kini mengupayakan sosialisasi pemulangan para TKI overstayers di Korea Selatan melalui kerjasama berbagai pihak.
Sekitar 2.800-2.900 TKI penempatan 2004 kini menjadi overstayers di Korea Selatan dan tetap bekerja di sejumlah perusahaan, sementara masa kontrak tiga tahunnya berakhir pada 2007. Untuk TKI penempatan 2007 yang telah diperpanjang setahun dan TKI penempatan 2008 dengan jumlah sebanyak 13 ribu orang juga akan selesai kontrak kerjanya pada akhir 2011, sehingga harus mempersiapkan kepulangannya agar tidak berpotensi menjadi TKI overstayers di negara Ginseng itu.
[yan]