Berita

ilustrasi, terapi rel kereta api

On The Spot

Kejang-kejang, Warga Ketagihan Tersetrum

Berbaring di Rel Dipercaya Bisa Sembuhkan Penyakit
JUMAT, 22 JULI 2011 | 06:41 WIB

RMOL. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya tak lagi menyengat. Puluhan orang terlihat berbaring berjejer. Ada yang menyiapkan payung untuk menutupi kepala agar tak silau maupun kepanasan. Semakin sore, makin banyak orang yang berbaring di situ.

Rata-rata mereka berusia lan­jut. Pria dan wanita itu bukan sedang berjemur di pantai, me­lain­kan berbaring di atas rel ke­reta di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Tak jauh dari situ terdapat sebuah stasiun.

Tak lama setelah berbaring, tu­buh mereka terlihat kejang-ke­jang. Tapi mereka justru me­nik­matinya. Tak tampak ekspresi ke­sakitan di raut wajahnya.

Kejang-kejang itu berasal dari aliran listrik rel yang masuk ke da­lam tubuh. Para lanjut usia (lan­sia) itu mengatur posisi se­demikian rupa agar bisa mera­sa­kan sengatan setrum. Umum­nya memilih posisi telentang dengan leher dan kedua tangan diletak­kan di rel kanan. Sementara kaki di rel kiri.

Ada yang tampak tak puas dengan sengatan arus listrik yang dirasa lemah. Agar bisa mera­sakan arus lebih besar, mereka menyiapkan dua kain dan satu botol air.

Kain yang jadi alas untuk tempat merebahkan leher dan kaki di rel lalu disiram air sampai basah. Air kembali disiramkan bila kain mulai mengering. Bah­kan ada yang lebih ekstrim. Se­orang wanita berkerudung lang­sung menyiramkan air ke besi rel. Tak sedikit terlihat rasa khawatir di wajahnya akan tersengat arus listrik yang kuat.

Rel itu ramai dikunjungi sete­lah pukul empat sore. Wa­laupun berbahaya karena sewaktu-waktu ke­reta melintas, warga tetap me­lakukannya. Berbaring di atas rel dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Sri Mulyati (50) misalnya, me­ngaku menderita penyakit gula, asam urat, kolestrol tinggi, darah tinggi dan sesak nafas. Selama 13 tahun dia berobat ke dokter dan alternatif. Tapi penyakitnya tak kunjung sembuh.

Setahun lalu Sri mendengar ka­bar dari tetangganya soal “terapi” berbaring di atas rel. Setiap hari dia datang ke sini. Ibu tujuh anak ini merasa kesehatannya membaik.

 â€œSetelah satu tahun saya coba terapi di sini udah mendingan. Terakhir saya ke dokter tiga bulan yang lalu. Dulu gula saya sempat 500, pas saya periksa turun jadi 160,” katanya ketika ditemui Rak­yat Merdeka, Selasa (19/7).

Sri yang tinggal di daerah Ka­lideres, Jakarta Barat ini men­g­habiskan waktu dua jam ber­ba­ring di atas rel.

“Saya diantar sua­mi setiap sore ke sini. Nanti pu­lang­nya dijemput lagi. Kalau nggak datang ke sini, badannya lang­sung terasa nggak enak,” ucapnya.

Hal senada diutarakan Kus­miati (67), warga Semanan, Rawa Buaya. Sejak lama dia menderita diabetes dan darah tinggi. Setelah mendengar khasiat terapi ini dari tetangga, ia pun mencoba. Terapi ini dia lakoni sejak tahun lalu.  

 â€œSaya dulu macem-macem penyakitnya. Sekarang udah bai­kan. Setelah dicek ke dokter hasil­nya juga lebih bagus. Ma­kannya juga lebih enakan seka­rang,” katanya.

Dulu Kusmiati sering merasa­kan sakit di kepala. Setelah disetrum di atas rel, sakit ke­pa­la­nya sirna. Dia menduga aliran listrik yang mengenai lehernya menyebabkan aliran darah ke kepalanya lebih lancar.

“Dulu selalu makan obat, se­ka­rang udah jarang. Saya udah lama nggak ke dokter. Kalau nggak ke sini berasa kangen. Coba aja sambil merem, terasa di surge (surga—red),” ujar­nya de­ngan logat Betawi yang kental.

Begitu juga dengan Santi (43). Setelah mencoba berbaring di atas rel sejak tiga bulan lalu, dia merasa tubuhnya jauh lebih sehat, lebih enak makan, enak tidur dan kadar kolesterol-nya turun. Dia merasa terapi ini bermanfaat un­tuk kesehatannya.

“Sebelumnya saraf  leher saya terjepit, sekarang sudah sembuh. Saya sudah sempat 20 kali terapi ke rumah sakit, tapi hasilnya kurang mengembirakan. Vertigo saya juga sembuh. Dulu koles­terol saya di atas 250, sekarang normal. Ternyata setelah terapi semua penyakit saya sembuh, gratis pula,” ujarnya.

Biaya pengobatan yang mahal yang membuat wanita yang se­hari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil  (PNS) ini mencoba terapi yang tidak lazim itu. Dalam sehari, Santi biasanya  meng­habiskan waktu setengah jam untuk berbaring di atas rel.

“Saya tau ini dari tetangga dan saudara saya yang udah nyobain. Buktinya banyak yang sembuh penyakitnya, saya pikir kenapa saya tidak mencoba. Habis kalau nggak kayak gini, mahal biaya dokter,” ucapnya.

Bermula dari Haji Batak

Terapi berbaring di atas rel di Rawa Buaya, Jakarta sudah ber­langsung sejak dua tahun lalu. Tapi tak ada warga yang tahu si­apa yang memulainya. Warga me­mercayai aliran lis­trik yang ma­suk ke dalam tubuh bisa me­nyem­buhkan berbagai penyakit.

Kusmiati mendengar kabar dari tetangga bahwa terapi ini per­tama kali dilakukan pria yang biasa disapa Pak Haji. “Dulu ada Pak Haji orang Batak menderita stroke dan diabetes. Hartanya abis buat berobat ke mana-mana tapi nggak sembuh-sembuh. Karena frustasi dia duduk-duduk di atas rel, terus nekad nyobain. Akhirnya sembuh,”  ujarnya.

Cerita sama juga didengar Sri Mulyati. Kata dia, Pak Haji itu yang pertama kali merasakan khasiat berbaring di atas rel kereta dua tahun lalu. Aksi ini kemudian diikuti warga.

“Pak Haji yang pertama. Saya lupa nama aslinya. Orangnya su­dah pindah dari sini. Saya taunya dia orang Batak,” kata Mulyati.

Santi mendengar kabar sedikit ber­beda. Pegawai negeri sipil di Dinas Pariwisata pemerintah se­tempat ini mendengar kabar terapi ini baru berlangsung 1,5 tahun. Tapi tak tahu siapa yang memeloporinya.

“Awalnya warga sini yang nyo­bain, akhirnya menyebar dari mulut ke mulut. Sekarang bu­kan orang sini aja, banyak orang luar yang juga datang terapi,” katanya.

Sedangkan Karsem (45) me­nyebutkan orang-orang mulai ramai berbaring di atas rel kereta sejak setahun lalu. “Saya nggak tahu siapa yang mulai. Tau-tau­nya banyak warga aja yang nyo­bain. Karena banyak yang ngaku sembuh, saya juga jadi ikutan nyoba,” katanya polos.

Menkes:
Mirip Fisioterapi

Aksi warga yang berbaring di atas rel untuk menyembuhkan pe­nya­kit, mengundang per­hatian Menteri Kesehatan (Men­kes) Endang Rahayu Sedya­ningsih. Meski konsep­nya mirip de­ngan fisio­terapi di rumah sa­kit, Menkes tak menganjurkannya.

“Konsepnya hampir sama dengan orang yang melakukan fisioterapi di rumah sakit. Un­tuk meregangkan otot karena ada aliran listrik,” kata Endang.

Kenapa tidak dianjurkan? Menkes beralasan, konsep itu be­lum terbukti bisa me­nyem­buhkan penyakit. Orang yang melakukannya bisa tersengat listrik. Bahaya pun mengancam mereka, karena sewaktu-waktu kereta lewat.

“Itu belum bisa dipastikan (daya sembuhnya). Cuma itu yang saya bilang tadi, konsep aliran listrik itu dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Tapi saya sangat-sangat tidak me­nganjurkan karena bisa keset­rum, aliran listriknya kan tidak diukur dengan jelas.

Kedua, ka­lau ada kereta lewat bagai­ma­na? Berbahaya kan bagi kese­hatan dan kesela­matan,” katanya.

“Karena belum teruji secara klinis dan medis, sebaiknya te­rapi tersebut dihentikan. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan warga,” lan­jutnya.

Kelebihan Arus, Tubuh Hangus

PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengimbau warga agar tak ber­baring di atas rel kereta. Tin­da­kan ini membahayakan k­e­se­la­matan, juga dilarang.

“Itu sangat berbahaya dan juga ada larangan orang mau­pun barang berada di jalur kere­ta api,” kata Kepala Humas PT KAI Daops I, Mateta Rizalul Haq.

Mateta menjelaskan, kereta tak seperti mobil yang bisa ber­henti mendadak saat direm. Wa­laupun rem telah ditarik, ke­reta tetap meluncur kendati tak ken­cang. “Bagaimana nanti kalau mereka ketiduran (saat kereta datang)” kata Mateta.

Mateta juga meng­kha­wa­tir­kan warga yang berbaring di rel bisa menghambat lalu lintas ke­reta. PT KAI, kata di, sudah mem­beritahukan bahaya dan peraturan yang berlaku.   “Se­cara nonformal sudah dila­ku­kan, kan kita ada pemeriksa jalur KA. Tapi apa pun ala­san­nya, keberadaan mereka dilarang oleh ndang-undang,” tegasnya.

Kereta api yang lewat me­mang meninggalkan jejak arus listrik pada rel yang dilaluinya. Arus listrik ini bisa mencapai tegangan tinggi dan mem­ba­ha­ya­kan keselamatan manusia.

Menurut Mateta, bila terjadi kelebihan arus, tegangan listrik di rel bisa mencapai 5-10 volt setiap kali KA melintas. Arus listrik tersebut bisa membuat hangus.

Senada dengan PT KAI, Pe­mer­­intah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Ke­sehatan juga mengimbau ma­sya­rakat tidak melakukan tinda­kan yang dapat membahayakan keselamatan mereka.

Untuk mengantisipasi makin banyak orang yang berbaring di rel, pihaknya akan meng­instruksikan kepada puskesmas kelurahan dan kecamatan se­tempat untuk memberikan pe­nyuluhan.   [rm]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Butuh Sosok Menteri Keuangan Kreatif dan Out of the Box

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:44

KPK Masih Usut Keterlibatan Hasto Kristiyanto di Kasus Harun Masiku dan DJKA

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Kesan Jokowi 10 Tahun Tinggal di Istana: Keluarga Kami Bertambah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:27

Segini Potensi Penerimaan Negara dari Hasil Ekspor Pasir Laut

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:22

Main Aman Pertumbuhan 5 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:19

Gagal Nyagub, Anies Makin Sibuk

Jumat, 11 Oktober 2024 | 13:08

Predator Seks Incar anak-anak, Mendesak Penerapan UU TPKS

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:41

Dukung Otonomi Sahara Maroko, Burundi: Ini Solusi yang Realistis

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:39

Digelar Akhir Oktober, Indocomtech 2024 Beri Kejutan Spesial

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:29

WTO Perkirakan Perdagangan Global Naik Lebih Tinggi jika Konflik Timteng Terkendali

Jumat, 11 Oktober 2024 | 12:15

Selengkapnya