RMOL. Spanduk besar berwarna biru itu tampak mencolok di antara deretan bengkel dan showroom mobil di Jalan Panjang, Jakarta Barat. “Sekolah Kristen Ketapang II, KB/TK-SD-SMP-SMAâ€. Demikian tulisan di spanduk itu.
Spanduk itu sekaligus memÂberitahukan bahwa Sekolah KrisÂten Ketapang (SKK) II pinÂdah ke sini. Seluruh siswa mulai dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA meÂÂmulai tahun ajaran baru 2011/2012 di bangunan empat lantai beÂkas bengkel dan showroom mobil.
Ini terjadi lantaran gedung seÂkoÂlah mereka di Green Garden, Kebonjeruk, Jakarta Barat tengah dalam sengketa.
Rakyat Merdeka mengunjungi tempat ini kemarin. Beberapa orang pria yang berjaga di pos sisi kanan gerbang meÂnyamÂbut ramah. Satpam yang meÂngeÂnakan baju safari biru meÂminta mengisi buku tamu terlebih dahulu.
Meski sudah ditata sedemikian rupa, spanduk berwarna biru terÂsebut tetap tak bisa menepis nuanÂsa bengkel. Memasuki halaÂman terlihat empat kios yang diÂtuÂtupi
rolling door. Walaupun suÂdah “dipermakâ€, penampilannya bangunan tetap seperti bengkel.
Halaman sekolah yang berÂlanÂtai semen bekas tempat cuci moÂbil. Melihat lebih jauh ke bagian dalam, tampak kios-kios yang disulap menjadi ruang tata usaha. Bangunan utama sekolah meÂnempati gedung bekas bengÂkel dan showroom seluas 2.000 meÂter persegi. Di dalamnya sudah disekat-sekat untuk ruangan kelas.
Lantai satu untuk kelas SD. Agar terlihat menarik, dinding peÂnyekat dari
gypsum dicat warna krem dipadu warna coklat di bagian bawahnya. Melongok ke dalam ruangan kelas berukuran 5x5 meter, terlihat deretan meja kayu berukuran kecil lengkap dengan kursinya tertata rapi.
Agar siswa tidak kepanasan, ruangan ini dipasangi AC (
air conditioner). Beberapa gambar pahÂlawan nasional dipasang di dinÂding. Bau cat masih menyengat.
Siswa taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain (KB) di tempatkan di basement. Guntingan kertas berbentuk bunga warna-warni ditempel di dinding penyekat. Beberapa gambar anak-anak TK yang seÂdang bermain juga ikut diÂleÂkatkan di dinding.
Pihak pengelola sekolah beruÂsaha keras menyulap bengkel ini agar layak jadi sekolah. Ruangan yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin karena bisa meÂnamÂpung semua murid sekolah itu. Lantai dua diperuntukkan siswa SMP. Ruang guru juga ditemÂpatkan di lantai ini. Sedangkan ruang kelas siswa SMA dibuatÂkan di lantai tiga.
Karena keterbatasan lahan, bagian atap disulap jadi lapangan olahraga mini. Rencananya, di sini akan dibuat lapangan futsal dan bola basket. Di sekeliling laÂpangan olahraga dipasangi jaring besi. Jaring ini menjadi pengaÂman agar siswa tak jatuh
“Dapat bersekolah di gedung senÂdiri ini saja kami sudah berÂsyukur. Sebenarnya cukup nyaÂman. Anak-anak bilang setiÂdakÂnya sekarang banyak ruang terÂbuka, dan ada semacam balkon,†kata Kepala SMA SKK II Naniek Setyorini T, kemarin.
Pihak yayasan harus memÂbayar uang sewa gedung sebesar Rp l miliar setahun. Yayasan masih harus mengeluarkan dana tambaÂhan untuk menyekat kelas dan membuat fasilitas lainnya. Dana yang dikeluarkan untuk keperluan itu mencapai Rp 600 juta.
“Semua dibiayai swadaya dari yayasan, kami tidak ingin memÂbebani lagi orang tua,†papar koorÂdinator lokasi SKK II, Anna Purnamawati.
Menurut Anna, pihaknya sudah memberitahukan Dinas PenÂdidikan DKI Jakarta mengenai kepindahkan SKK II ke gedung bekas bengkel. “Dinas PendidÂiÂkan sudah diberitahu, untuk loÂkasi tidak masalah.â€
Kepindahan SKK II ke sini bermulai dari kasus sengketa taÂnah antara tanah antara pengemÂbang PT Taman Kedoya Barat Indah (TKBI)—yang menjual taÂnah ke pihak sekolah—dengan ahli waris Muhaya bin Musa.
Ahli waris menggugat tanah yang kini menjadi lokasi sekolah ke Pengadilan Negeri Jakarta BaÂrat. Gugatan dikabulkan pada Desember 2009. Gedung sekolah yang beralamat di Kompleks Green Garden Blok Ml, Kebon Jeruk, Jakarta Barat lalu disita pada Desember 2010.
Menurut Anna, seharusnya lahan SKK II tak ikut dieksekusi. Sebab, ahli waris menggugat girik C530. Sementara tanah seÂkolah bukan berasal dari girik itu.
SKK II menempati lahan 8.000 meter persegi. Tapi dalam surat sita lahan yang dieksekusi hanya 6.000 meter persegi. “Itu pun kaÂlau dihitung secara kasar pakai
Google Map, gedung sekolah kami tidak kena. Karena tanggul yang dijadikan patokan menÂghitung tidak sampai 6.000 meter persegi kalau ditarik ke gedung sekolah,†kata Anna.
Direktur Sekolah Kristen KetaÂpang II, Suhandoyo mengatakan pihaknya tak terkait dengan sengÂketa ini. Ia berharap mendapat izin menempati gedung sekolah di Green Garden.
Rakyat Merdeka sempat meÂngunjungi bangunan SKK II, di Green Garden, Kebonjeruk, JaÂkarta Barat. Dari kejauhan kita bisa melihat genteng cokelat seÂkolah itu. Bangunannya menÂjulang tinggi dan mentereng. TerÂlihat dua bangunan besar yang saling berhadapan.
Dua gerbang untuk akses masuk ke pekarangan sekolah terkunci. Di tengah gerbang dililitkan rantai dengan gembok baja berukuran besar.
Mengintip dari celah gerÂbang,â€terlihat kondisi pekaÂraÂngan yang kotor. Daun-daun keÂring berserakan di atas lantai keramik warna coklat dan hitam.
Bangunan sekolah yang megah juga tampak tak terawat. Jendela-jendelanya dibiarkan terbuka. Beberapa di antaranya kacanya sudah pecah karena berkali-kali dihempaskan angin. Kerusakan juga mulai terlihat di bagian plafonnya.
Banyak Siswa PindahSengketa lahan yang ditemÂpati Sekolah Kristen Ketapang (SKK) II berimbas menurunnya jumlah siswa yang mendaftar pada tahun ajaran 2011-2012.
Tahun ini hanya 46 orang yang menÂdaftar untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Rinciannya 10 siÂswa SD, 15 siswa SMP. SiÂsanya SMA.
Tahun ajaran 2010-2011, SKK II menerima pendaftaran 130 Yakni 30 siswa SD, 50 SMP dan 50 SMA. “Jumlahnya tahun ini menurun 50 persen,†kata KoorÂdinator Lokasi SKK II, Anna Purnamawati.
Menurut dia, sejak kasus sengÂketa lahan ini bergulir beberapa siswa memilih pindah. Jumlah siswa yang keluar makin banyak ketika keluar perintah eksekusi.
“Awalnya jumlah siswa 700-an. Ketika awal kasus turun jadi menjadi 600-an. Setelah diekseÂkusi sekarang tinggal 430 siswa,†tutur Anna.
Kelas Dipakai Ternak BebekTak jauh dari ibu kota, siswa SeÂkolah Dasar (SD) Negeri Kramat 3, Pakuhaji, Kabupaten TaÂngerang harus belajar di samÂping kandang beÂbek. Ini terjadi lantaran tiga dari enam kelas sekolah itu disegel ahli waris pemilik tanah.
Siswa tak konsentrasi belajar lantaran bau menyenggat yang berasal dari pakan dan kotoran unggas. Posisi kandang bebek itu persis di samping kelas.
Kepala Sekolah SDN Kramat 3 Dalyono Triwidagdo menÂjeÂlaskan, penyegelan dilakukan piÂhak ahli waris pemilik tanah, Otang dan Oleh sejak tahun 2000. Menurut ahli waris, laÂhan sekolah seluas 1.500 meter perÂsegi belum dibayar semua oleh PeÂmerintah Kabupaten Tangerang.
“Pemkab baru membayar taÂnah yang seluas 1.000 meter perÂsegi. Sedangkan yang 500 meter belum. Sampai sudah diÂbangun sekolah tanah tersebut belum juga diganti, akhirnya mereka menuntut pembaÂyaran,†katanya.
Dalyono menjelaskan, SDN Kramat 3 memilik tujuh ruaÂngan, enam ruangan kelas dan satu ruang kantor. Awalnya, ahli waris menyegel semua ruangan dengan cara dikunci. Siswa pun tak bisa belajar. Proses belajar mengajar menumpang di SDN Kramat 4 yang berjarak 2 kiloÂmeter dari sekolah mereka.
Pada tahun 2004, Dalyono ditugaskan menjadi kepala sekolah. Ia lalu membuat keseÂpakatan dengan ahli waris seÂhingga sekolah bisa dibuka.
“Saya meminta ahli waris agar masalah sengketa tanah ini jangan sampai mengganggu siswa belajar. Hal itu disetujui sehingga sekolah kembali dibuka. Tapi yang boleh dibuka cuma tiga kelas dan satu kantor. Sedangkan tiga kelas lainnya tetap ditutup karena berdiri di atas tanah yang disengketakan,†kata Dalyono.
Sejak itu, sebanyak 162 siswa SDN Kramat 3 belajar berganÂtian di tiga ruangan kelas. Siswa kelas 1, 2, 5 dan 6 masuk pagi hari. Sedangkan pada sore hariÂnya kelas digunakan siswa kelas 3 dan 4. “Kita membagi waktu beÂlajar pagi dan sore Karena keÂterÂbatasan kelas,†terang Dalyono.
Ternyata masalah tak henti di situ. Tiga kelas yang disegel maÂlah digunakan ahli waris unÂtuk kandang bebek. Ada 3.000 bebek yang diternakkan di situ.
“Sejak digunakan menjadi kandang bebek, kondisi ruaÂngan kelas menjadi rusak. SeÂlain itu, pakan bebek seperti rajungan itu baunya sangat tidak enak dan sampai tercium ke ruangan kelas siswa. Saya khaÂwatir akan konÂdisi kesehatan siswa kalau begini,†tambah Dalyono.
Dalyono berharap Pemkab TaÂngerang segera menyeÂleÂsaiÂkan masalah sengketa tanah tersebut agar siswa bisa kembali belajar dengan tenang. “MaÂsalahÂnya sih
simple, ahli waris minta pembayaran tanah diluÂnasi, itu saja. Kita berharap perÂhatian Pemkab,†tuturnya.
Ahli waris pemilik tanah, Otang memperbolehkan kelas dibuka kembali jika Pemkab melunasi pemÂbayaran sisa tanah tersebut. Menurut dia, Pemkab baru memÂbayar Rp 100 juta untuk ganti-rugi tanah seluas 1.000 meter persegi.
Ia menyegel sekolah karena tidak ada kejelasan Pemkab mengenai pembayaran sisanya. “Kami cuma mau tanah yang 500 meter persegi ini dibayar dengan harga 500 ribu per meÂter,†kata Otang.
[rm]