RMOL. Darsem Binti Daud Tawar, TKI asal Subang, Jawa Barat, yang lolos dari hukuman pancung di Arab Saudi melalui pembayaran diyat (denda) sebesar Rp 4,7 milyar oleh pemerintah Indonesia, kini telah kembali bersama keluarga di kampung halaman dengan menghirup kebebasan murni.
Komnas Perempuan menyambut baik pembebasan Darsem dari hukuman pancung. Pembebasan Darsem adalah salah satu bukti bahwa pekerja migran yang terancam hukuman mati dapat dibebaskan sepanjang pemerintah meningkatkan upaya diplomasi untuk pembebasan dan pengurangan hukuman bagi pekerja migran.
"Komnas Perempuan meminta upaya ini dilakukan untuk seluruh pekerja migran yang terancam hukuman mati, pemerintah harus sungguh-sungguh mengupayakan pembebasan pekerja migran yang terancam hukuman mati. Satgas yang dibuat oleh presiden kita harapkan bekerja optimal dan menghasilkan hal konkrit untuk pembebasan pekerja migran dan perlindungan yang komprehensif," kata Ketua Subkomisi Pekerja Migran Komnas Perempuan, Agustinus Supriyanto, kepada Rakyat Merdeka Online, Rabu petang (13/7).
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur Hidayat, kepada Rakyat Merdeka Online, menjelaskan, pembayaran diyat untuk Darsem dilakukan dengan anggaran pos perlindungan WNI/TKI Kemenlu pada 21 Juni 2011 dan lebih dulu ditransfer ke rekening Kedutaan Besar RI di Riyadh. Dana tersebut kemudian disampaikan oleh KBRI ke ahli waris korban dalam bentuk cek melalui pengadilan di Riyadh pada 25 Juni 2011, yang disaksikan
Lajnatul Ishlah wal ‘Afwu (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf).
Sekitar Desember 2007, Darsem diberitakan membunuh seorang warganegara Yaman, Walid, yang sedang bertandang ke rumah majikannya. Dalam pengakuan kepada staf KBRI yang menemui di penjara Al Malaaz pada 6 Februari 2008, Darsem mengatakan pembunuhan diawali ketika korban masuk ke kamarnya membawa sebilah pisau dan berupaya memperkosa. Akibatnya, Darsem meronta kemudian lari ke dapur namun tetap dikejar korban. Di dapur inilah Darsem menemukan palu serta dipukulkan berkali-kali ke bagian tubuh korban hingga menemui ajal. Mayat korban pun diletakkan Darsem di tempat penampungan air.
Pengadilan terhadap Darsem pertama kali dilaksanakan di Riyadh pada 25 Maret 2009, tetapi urung berlangsung karena ketiadakhadiran pihak penuntut. Pada sidang berikutnya, 22 April 2009, pengadilan dapat digelar mendengarkan dakwaan untuk Darsem. Di pengadilan yang sama pada 6 Mei 2009, Darsem yang didampingi penasihat hukum KBRI ditetapkan dengan vonis mati (pancung). Pada 9 Mei 2009 KBRI bersama pengacara Darsem mengajukan banding.
Selain menempuh banding, KBRI mengupayakan pendekatan keluarga korban dengan perantara pejabat Kedutaan Besar Yaman di Riyadh. Pada 29 Mei 2010, KBRI juga mendatangi kantor Gubernur Riyadh untuk meminta peran Lajnatul Ishlah wal ‘Afwu dan disanggupi dengan kesediaan memakai lembaga tersebut sebagai mediator antara KBRI dan ahli waris, utamanya terkait mendapatkan pemaafan keluarga korban.
Pada 26 Juni 2010 KBRI mengirim surat ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Arab Saudi dalam kaitan kasus Darsem. Pada 1 September 2010, KBRI juga mengirim nota diplomatik ke pemerintah Arab Saudi meminta pengunduran eksekusi Darsem mengingat upaya damai dengan keluarga korban masih berjalan. Dan pada 7 Januari 2011, KBRI menerima pemberitahuan dari kantor Gubernur Riyadh bahwa pihak ahli waris telah memberi pemaafan dengan imbalan uang diyat sebesar dua juta real Saudi. Atas tercapainya damai ini pengadilan di Riyadh memberi batas waktu enam bulan dilaksanakannya pembayaran diyat dalam kasus Darsem.
[ald]