RMOL. Kasian betul nasib para mantri yang bertugas di desa terpencil. Niat baiknya menolong masyarakat yang sakit, malah diganjar penjara. Untunglah, Mahkamah Konstitusi berpihak kepada mereka. Dua hari lalu, Mahkamah membatalkan pasal 108 ayat 1 UU Kesehatan, yang melarang mantri memberikan pengobatan.
Ini adalah hasil perjuangan ManÂtri Misran yang bertugas di daeÂrah Tenggarong, Kutai KaliÂmantan Timur. Dia pernah diÂpenÂjara gara-gara memberikan peÂngoÂÂbatan kepada masyarakat di peÂdalaman Kalimantan. Nasib yang sama juga dialami Irfan Wahyudi.
Kepada
Rakyat Merdeka, Irfan menceritakan kisahnya. Pagi itu Irfan Wahyudi keÂdaÂtangan seÂorang perempuan keÂrabatÂnya yang mengeluh baÂdanÂnya panas. Pria berusia 36 tahun yang berÂprofesi mantri itu lalu memÂbeÂrikan obat silomidia dan viÂtaÂmin untuk menurunkan deÂmam.
Irfan tak menyadari polisi telah meÂngintainya. Tak lama keÂmuÂdian, lima polisi dari Polres SituÂbonÂdo merangsek masuk ke ruÂmah Irfan di Desa Trebungan, KeÂcamatan Mangaran.
“Anda ditahan karena memÂbuka praktik ilegal dan melangÂgar undang-undang,†kata Irfan meÂnirukan ucapan salah seorang poÂlisi yang menangkapnya.
“Saya kaget didatangi polisi,†kata Irfan mengisahkan peÂnangÂkapan dirinya pada 8 Desember 2010 lalu.
Tanpa berkilah, Irfan bersedia dibawa ke Polres. Salah seorang poÂlisi membawa obat silomidia dan vitamin untuk dijadikan baÂrang bukti.
Di kantor polisi, Irfan diberi penÂjelasan bahwa dia telah meÂlangÂgar UU Kesehatan. MeÂnurut poÂlisi, mantri tak boleh memÂbeÂrikan pengobatan layaknya dokÂter. Irfan pun terancam dibui.
Sebelum ditahan, Irfan sempat menghubungi rekan-rekannya di Persatuan Perawat Situbondo. Mereka lalu datang ke Mapolres Situbondo meminta penangguhan penahanan bagi Irfan.
Kabar penangkapan Irfan cepat terÂsebar di desanya. Sekitar 2.000 warÂga Desa Trebungan berniat menÂdemo Mapolres meminta IrÂfan dibebaskan.
“Alhamdulillah, demo tidak jadi karena polisi akhirnya memÂbebaskan saya dengan jaminan seÂsama perawat,†kata pria yang sudah 10 tahun jadi mantri di deÂsanya.
Singkat cerita, kasus Irfan berÂgulir ke pengadilan. Pada 7 JuÂni 2011, hakim Pengadilan Negeri Situbondo memvonis dia berÂsaÂlah melanggar ketentuan UU KeÂsehatan. Irfan lalu dijatuhi huÂkuman denda Rp 10 juta subsider 5 bulan kurungan.
Kisah mantri yang dipidana lanÂtaran memberikan pengobatan tak hanya dialami Irfan. Misran, mantri di Desa Kuala Samboja, TengÂgarong, Kalimantan Timur, leÂbih dulu menjadi “korban†UU Kesehatan.
Pengadilan Negeri Tenggarong memutuskan Misran bersalah berÂdasarkan Pasal 82 (1) huruf D UU 36/2009 junto Pasal 63 (1) UU 23/1992 tentang Kesehatan.
Misran pun dijatuhi hukuman tiga bulan penjara, denda Rp 2 juta subsider 1 bulan kurungan pada 19 November 2009. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi KaÂlimantan Timur. Putusan banÂding keluar beberapa pekan lalu.
Lantaran merasa dirugikan, Misran dan beberapa mantri meÂngajukan uji materi UU KeÂseÂhaÂtan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Senin lalu (27/6), Mahkamah meÂmutuskan membatalkan Pasal 108 UU Kesehatan. Pasal ini keÂrap digunakan untuk menjerat manÂtri yang memberikan perÂtoÂlongan kepada orang sakit, terÂmasuk Irfan.
Irfan mengatakan dirinya kini bisa bernafas lega dengan keÂluarÂnya putusan MK. WalauÂpun, menurut dia, putusan itu terÂlambat. Irfan lebih dulu divoÂnis bersalah oleh pengadilan. “Saya sudah membayar denda beberapa hari sebelum putusan MK keÂluar,†tuturnya.
Pengalaman pahit dipidana kaÂrena mengobati orang, ternyata tak menyurutkan niat Irfan untuk memÂbantu warga miskin di deÂsaÂnya yang sakit.
Selama 10 tahun membantu orang sakit, Irfan mengatakan, tak pernah membahayakan paÂsien. “Kalau ada pasien yang saÂkit parah dan tidak mampu meÂngoÂbatinya, saya pasti meruju ke pusÂkesmas atau rumah sakit terÂdekat,†katanya.
Bahkan, tak jarang Irfan sendiri yang mengantar pasien ke pusÂkesmas yang jaraknya tiga kiloÂmeter dari rumah dengan mobil pribadi.
Menurut Irfan, itu dilakukan demi kemanusian. Sebab, hanya dia tenaga kesehatan di desanya.
Irfan membuka pengobatan di rumah setiap hari mulai pukul 3 sore sampai 9 malam. Pagi hari hingÂga siang dia bekerja di rumah saÂkit swasta di Mangaran, SituÂbondo.
Tak jarang, pada tengah malam rumah Irfan didatangi orang yang butuh pertolongan. Bila sakit yang diderita sudah parah, Irfan tak sungkan membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Karena tuntutan profesi akhirÂnya saya antar sendiri. Saya tidak boleh menolak bila ada orang datang minta tolong jam berÂapaÂpun,†katanya.
Dalam sehari, rata-rata 20 orang yang datang ke rumahnya untuk berobat. Mayoritas dari kalangan tidak mampu.
Menurut Irfan, dirinya tak perÂnah mematok bayaran. “Kalau tidak ada uang ya dibayar pakai saÂyuran atau hasil alam,†kataÂnya. Misalnya, kelapa dan kacang panjang.
“Karena banyak yang bayar dengan sayuran, pernah suatu ketika ruangan di rumah penuh sayuran,†turut Irfan.
Menteri Kesehatan:Boleh, Untuk Selamatkan Nyawa Menteri Kesehatan (Menkes) EnÂdang Rahayu Sedyaningsih, meÂÂnilai pemberian obat bisa diÂlakukan semua tenaga keÂsehatan dalam kondisi tertentu.
“Memang dikatakan bahwa
dispensing (pemberian) obat itu adalah tugasnya tenaga farmasi. Akan tetapi, di tempat di mana tiÂdak ada tenaga farmasi, dapat diÂlaÂkukan tenaga kesehatan lainÂnya,†ujarnya.
Menkes memang tidak secara teÂgas membenarkan perbuatan yang dilakukan Misran maupun IrÂfan. Namun, menurut dia, teÂnaga kesehatan harus bertindak ceÂpat untuk menyelamatkan nyaÂwa pasien.
“Mereka para perawat, dokter, yang ada di ujung-ujung (peÂdaÂlaman) itu kadang-kadang harus meÂlakukan itu, karena pasien daÂtang untuk minta tolong. Jadi kaÂlau sifatnya untuk menolong dan tiÂdak ada tenaga lain tentu saja haÂrus diperbolehkan,†katanya.
Sanksi Pidana Bikin Tenaga Medis Takut Bertindak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membatalÂkan Pasal 108 ayat (1) Undang-unÂdang Kesehatan Kesehatan
Persidangan pembacaan puÂtusan perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dipimpin Ketua MK MahÂfud MD, Senin lalu.
Dalam putusannya, MahÂkaÂmah mengabulkan sebagian perÂmohonan para pemohon. PaÂsal 108 ayat 1 dianggap berÂtenÂtangan dengan konstitusi.
Pasal itu berbunyi: praktik keÂfarmasiaan yang meliputi pemÂÂbuatan termasuk peÂngenÂdaÂlian mutu sediaan farmasi, peÂngamanan, pengadaan, peÂnyimÂpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga keÂsehatan yang mempunyai keÂahlian dan kewenangan seÂsuai dengan ketentuan peÂraturan perundang-undangan.
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva berpendapat, ketentuan poÂkok pasal itu tidak berÂtenÂtangan dengan konstitusi.
Pasal itu, lanjut dia, meruÂpaÂkan implementasi dari prinÂsip menÂdudukkan orang sesuai komÂÂptensi dan proÂfesioÂnalitasÂnya atau
the right man on the right place (orang yang tepat di poÂsisi yang tepat pula).
Tapi, di dalam penjelasan paÂsal itu terdapat pengecualian. PeÂngecualian ini, menurut HamÂÂdan, tidak tepat. Karena benÂÂtuknya norma, bukan menÂjelaskan.
Norma itu ternyata memiliki imÂplikasi sanksi pidana bagi orang yang melanggarnya. Sanksi untuk pelanggaran itu diÂatur dalam pasal lain.
Hamdan setuju dengan dalil yang diajukan permohonan bahÂwa aturan itu menimbulkan keÂadaan yang dilematis di laÂpangan.
Di satu sisi, tenaga kesehatan deÂngan kewenangan yang saÂngat terbatas harus meÂnyeÂlaÂmatkan pasien dalam keadaan darurat.
Namun di sisi lain, dia diÂbaÂyang-bayangi ketakutan terÂhaÂdap anÂcaman pidana bila memÂberikan obat atau tindakan medis.
Hamdan menjelaskan peraÂturan perundang-undangan apaÂpun dibuat negara untuk maÂnusia, untuk hidup dan keseÂjahteraannya.
Pengecualian yang sangat terÂÂbatas di dalam ketentuan PaÂsal 108 ayat 1 itu, menurut dia, tidak memberikan perlinÂduÂÂngan pasien dalam kondisi daÂÂrurat juga tak memberikan perÂlindungan kepada tenaga keÂseÂhatan yang hendak melaÂkukan pertolongan.
[rm]