Berita

On The Spot

Dituduh Praktik Ilegal, Irfan Ditangkap-Diadili

Kisah Para Mantri yang Dibui Gara-gara Mengobati
RABU, 29 JUNI 2011 | 04:45 WIB

RMOL. Kasian betul nasib para mantri yang bertugas di desa terpencil. Niat baiknya menolong masyarakat yang sakit, malah diganjar penjara. Untunglah, Mahkamah Konstitusi berpihak kepada mereka. Dua hari lalu, Mahkamah membatalkan pasal 108 ayat 1 UU Kesehatan, yang melarang mantri memberikan pengobatan.

Ini adalah hasil perjuangan Man­tri Misran yang bertugas di dae­rah Tenggarong, Kutai Kali­mantan Timur. Dia pernah di­pen­jara gara-gara memberikan pe­ngo­­batan kepada masyarakat di pe­dalaman Kalimantan. Nasib yang sama juga dialami Irfan Wahyudi.

Kepada Rakyat Merdeka, Irfan menceritakan kisahnya. Pagi itu Irfan Wahyudi ke­da­tangan se­orang perempuan ke­rabat­nya yang mengeluh ba­dan­nya panas. Pria berusia 36 tahun yang ber­profesi mantri itu lalu mem­be­rikan obat silomidia dan vi­ta­min untuk menurunkan de­mam.

Irfan tak menyadari polisi telah me­ngintainya. Tak lama ke­mu­dian, lima polisi dari Polres Situ­bon­do merangsek masuk ke ru­mah Irfan di Desa Trebungan, Ke­camatan Mangaran.

“Anda ditahan karena mem­buka praktik ilegal dan melang­gar undang-undang,” kata Irfan me­nirukan ucapan salah seorang po­lisi yang menangkapnya.

“Saya kaget didatangi polisi,” kata Irfan mengisahkan pe­nang­kapan dirinya pada 8 Desember 2010 lalu.

Tanpa berkilah, Irfan bersedia dibawa ke Polres. Salah seorang po­lisi membawa obat silomidia dan vitamin untuk dijadikan ba­rang bukti.

Di kantor polisi, Irfan diberi pen­jelasan bahwa dia telah me­lang­gar UU Kesehatan. Me­nurut po­lisi, mantri tak boleh mem­be­rikan pengobatan layaknya dok­ter. Irfan pun terancam dibui.

Sebelum ditahan, Irfan sempat menghubungi rekan-rekannya di Persatuan Perawat Situbondo. Mereka lalu datang ke Mapolres Situbondo meminta penangguhan penahanan bagi Irfan.

Kabar penangkapan Irfan cepat ter­sebar di desanya. Sekitar 2.000 war­ga Desa Trebungan berniat men­demo Mapolres meminta Ir­fan dibebaskan.

“Alhamdulillah, demo tidak jadi karena polisi akhirnya mem­bebaskan saya dengan jaminan se­sama perawat,” kata pria yang sudah 10 tahun jadi mantri di de­sanya.

Singkat cerita, kasus Irfan ber­gulir ke pengadilan. Pada 7 Ju­ni 2011, hakim Pengadilan Negeri Situbondo memvonis dia ber­sa­lah melanggar ketentuan UU Ke­sehatan. Irfan lalu dijatuhi hu­kuman denda Rp 10 juta subsider 5 bulan kurungan.

Kisah mantri yang dipidana lan­taran memberikan pengobatan tak hanya dialami Irfan. Misran, mantri di Desa Kuala Samboja, Teng­garong, Kalimantan Timur, le­bih dulu menjadi “korban” UU Kesehatan.

Pengadilan Negeri Tenggarong memutuskan Misran bersalah ber­dasarkan Pasal 82 (1) huruf D UU 36/2009 junto Pasal 63 (1) UU 23/1992 tentang Kesehatan.

Misran pun dijatuhi hukuman tiga bulan penjara, denda Rp 2 juta subsider 1 bulan kurungan pada 19 November 2009. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Ka­limantan Timur. Putusan ban­ding keluar beberapa pekan lalu.

Lantaran merasa dirugikan, Misran dan beberapa mantri me­ngajukan uji materi UU Ke­se­ha­tan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Senin lalu (27/6), Mahkamah me­mutuskan membatalkan Pasal 108 UU Kesehatan. Pasal ini ke­rap digunakan untuk menjerat man­tri yang memberikan per­to­longan kepada orang sakit, ter­masuk Irfan.

Irfan mengatakan dirinya kini bisa bernafas lega dengan ke­luar­nya putusan MK. Walau­pun, menurut dia, putusan itu ter­lambat. Irfan lebih dulu divo­nis bersalah oleh pengadilan. “Saya sudah membayar denda beberapa hari sebelum putusan MK ke­luar,” tuturnya.

Pengalaman pahit dipidana ka­rena mengobati orang, ternyata tak menyurutkan niat Irfan untuk mem­bantu warga miskin di de­sa­nya yang sakit.

Selama 10 tahun membantu orang sakit, Irfan mengatakan, tak pernah membahayakan pa­sien. “Kalau ada pasien yang sa­kit parah dan tidak mampu me­ngo­batinya, saya pasti meruju ke pus­kesmas atau rumah sakit ter­dekat,” katanya.

Bahkan, tak jarang Irfan sendiri yang mengantar pasien ke pus­kesmas yang jaraknya tiga kilo­meter dari rumah dengan mobil pribadi.

Menurut Irfan, itu dilakukan demi kemanusian. Sebab, hanya dia tenaga kesehatan di desanya.

Irfan membuka pengobatan di rumah setiap hari mulai pukul 3 sore sampai 9 malam. Pagi hari hing­ga siang dia bekerja di rumah sa­kit swasta di Mangaran, Situ­bondo.

Tak jarang, pada tengah malam rumah Irfan didatangi orang yang butuh pertolongan. Bila sakit yang diderita sudah parah, Irfan tak sungkan membawanya ke rumah sakit terdekat.

“Karena tuntutan profesi akhir­nya saya antar sendiri. Saya tidak boleh menolak bila ada orang datang minta tolong jam ber­apa­pun,” katanya.

Dalam sehari, rata-rata 20 orang yang datang ke rumahnya untuk berobat. Mayoritas dari kalangan tidak mampu.

Menurut Irfan, dirinya tak per­nah mematok bayaran. “Kalau tidak ada uang ya dibayar pakai sa­yuran atau hasil alam,” kata­nya. Misalnya, kelapa dan kacang panjang.

“Karena banyak yang bayar dengan sayuran, pernah suatu ketika ruangan di rumah penuh sayuran,” turut Irfan.

Menteri Kesehatan:
Boleh, Untuk Selamatkan Nyawa

Menteri Kesehatan (Menkes) En­dang Rahayu Sedyaningsih, me­­nilai pemberian obat bisa di­lakukan semua tenaga ke­sehatan dalam kondisi tertentu.

“Memang dikatakan bahwa dispensing (pemberian) obat itu adalah tugasnya tenaga farmasi. Akan tetapi, di tempat di mana ti­dak ada tenaga farmasi, dapat di­la­kukan tenaga kesehatan lain­nya,” ujarnya.

Menkes memang tidak secara te­gas membenarkan perbuatan yang dilakukan Misran maupun Ir­fan. Namun, menurut dia, te­naga kesehatan harus bertindak ce­pat untuk menyelamatkan nya­wa pasien.

“Mereka para perawat, dokter, yang ada di ujung-ujung (pe­da­laman) itu kadang-kadang harus me­lakukan itu, karena pasien da­tang untuk minta tolong. Jadi ka­lau sifatnya untuk menolong dan ti­dak ada tenaga lain tentu saja ha­rus diperbolehkan,” katanya.

Sanksi Pidana Bikin Tenaga Medis Takut Bertindak

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membatal­kan Pasal 108 ayat (1) Undang-un­dang Kesehatan Kesehatan

Persidangan pembacaan pu­tusan perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dipimpin Ketua MK Mah­fud MD, Senin lalu.

Dalam putusannya, Mah­ka­mah mengabulkan sebagian per­mohonan para pemohon. Pa­sal 108 ayat 1 dianggap ber­ten­tangan dengan konstitusi.

Pasal itu berbunyi: praktik ke­farmasiaan yang meliputi pem­­buatan termasuk pe­ngen­da­lian mutu sediaan farmasi, pe­ngamanan, pengadaan, pe­nyim­panan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga ke­sehatan yang mempunyai ke­ahlian dan kewenangan se­suai dengan ketentuan pe­raturan perundang-undangan.

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva berpendapat, ketentuan po­kok pasal itu tidak ber­ten­tangan dengan konstitusi.

Pasal itu, lanjut dia, meru­pa­kan implementasi dari prin­sip men­dudukkan orang sesuai kom­­ptensi dan pro­fesio­nalitas­nya atau the right man on the right place (orang yang tepat di po­sisi yang tepat pula).

Tapi, di dalam penjelasan pa­sal itu terdapat pengecualian. Pe­ngecualian ini, menurut Ham­­dan, tidak tepat. Karena ben­­tuknya norma, bukan men­jelaskan.

Norma itu ternyata memiliki im­plikasi sanksi pidana bagi orang yang melanggarnya. Sanksi untuk pelanggaran itu di­atur dalam pasal lain.

Hamdan setuju dengan dalil yang diajukan permohonan bah­wa aturan itu menimbulkan ke­adaan yang dilematis di la­pangan.

Di satu sisi, tenaga kesehatan de­ngan kewenangan yang sa­ngat terbatas harus me­nye­la­matkan pasien dalam keadaan darurat.

Namun di sisi lain, dia di­ba­yang-bayangi ketakutan ter­ha­dap an­caman pidana bila mem­berikan obat atau tindakan medis.

Hamdan menjelaskan pera­turan perundang-undangan apa­pun dibuat negara untuk ma­nusia, untuk hidup dan kese­jahteraannya.

Pengecualian yang sangat ter­­batas di dalam ketentuan Pa­sal 108 ayat 1 itu, menurut dia, tidak memberikan perlin­du­­ngan pasien dalam kondisi da­­rurat juga tak memberikan per­lindungan kepada tenaga ke­se­hatan yang hendak mela­kukan pertolongan.   [rm]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Aceh Selatan Terendam Banjir hingga Satu Meter

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:58

Prabowo Bertemu Elite PKS, Gerindra: Dukungan Moral Jelang Pelantikan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:39

Saham Indomie Kian Harum, IHSG Bangkit 0,54 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:26

Ini Alasan Relawan Jokowi dan Prabowo Pilih Dukung Rido

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:19

Transisi Pemerintahan Jokowi ke Prabowo Ukir Sejarah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:54

Pensiun Jadi Presiden, Jokowi Bakal Tetap Rutin Kunjungi IKN

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:42

Sosialisasi Golden Visa Bidik Top Investor di Bekasi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:31

Soal Kasus Alex Marwata, Kapolda Metro: Masalah Perilaku Kode Etik yang Jadi Pidana

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:26

Kontroversi Gunung Padang: Perdebatan Panjang di Dunia Arkeolog

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:20

ASDP Ajukan Praperadilan Buntut Penyitaan Barbuk, KPK Absen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:17

Selengkapnya