RMOL. Lima aktivis berangkat ke Singapura. Mereka ingin mencari tahu keberadaan Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti di negara tetangga itu. Malang, mereka justru dipolisikan pihak Kedutaan Besar RI di sana.
Bagaimana kisah “perbuÂruan†mereka? Berikut penuturan Sarman El Hakim, koordinator aksi itu kepada Rakyat Merdeka.
Sarman dan empat aktivis yakÂni Adnan Balfas, Dendi Satrio, Eggi Sabri dan Tommy Diansyah menyeberang dari Batam ke SiÂngapura, Selasa (14/6). Mereka tergabung dalam elemen Gerakan Oposisi Nasional (Gonas).
Setiba di Singapura, mereka menuju kawasan Orchard Road. “Alasan kita memilih Orchard Road karena menjadi pusat keÂraÂmaian dan banyak orang IndoÂneÂsia di sana,†ujar Sarman.
Mereka lalu membentangkan poster Nazaruddin dan Nunun. Di poster itu gambar kedua orang itu ditambahi tulisan “Wantedâ€. Layaknya sayembara perburuan orang, di poster itu dicantumkan hadiah 100 ribu dolar Singapura (Rp 700 juta) bagi yang bisa menemukan keduanya.
Tak hanya itu, para aktivis juga melakukan aksi memakai toÂpeng wajah Nazaruddin dan Nunun sambil berkeliling OrcÂhard Road. Poster-poster para koÂruptor BLBI yang kabur ke negeri itu tak lupa dipajang.
Menurut Sarman, aksi mereka disambut positif warga negara yang tengah melancong ke SiÂngaÂpura. “Mereka bahkan memÂbeÂrikan dukungan agar kami bisa meÂnemukan Nazaruddin dan NuÂnun,†katanya.
Menjelang petang, mereka pinÂdah ke Chatsworth Road. Bukan untuk menggelar aksi lagi, tapi datang ke Kedutaan Besar ReÂpublik Indonesia (KBRI) yang terletak di kawasan.
Kedatangan mereka untuk meÂnyerahkan paspor kepada staf KBRI sekaligus meminta dukuÂngan untuk mencari Nazaruddin dan Nunun. Mereka hendak membuka posko di sini.
“Saya mau bekerja sama deÂngan KBRI bagaimana?†tanya Sarman kepada staf KBRI yang menerima mereka. Tapi staf itu tak bisa memberikan jawaban. Ia lalu meminta menunggu untuk dipertemukan dengan pejabat berwenang.
Tak lama, para aktivis diterima Fahri, staf KBRI bidang sosial, budaya dan politik. Kepada Fahri, Sarman menyampaikan tawaran untuk membantu pencarian NazaÂruddin dan Nunun di negara itu.
Tapi keinginan para aktivis berÂtepuk sebelah tangan. Pihak KBRI menolak. Tak hanya itu, para aktivis diusir ke luar. Alasan KBRI, mereka berada di negara itu untuk melaksanakan misi diplomatik bukan penangkapan. Tak patah arang, para aktivis meÂminta agar diperbolehkan mengÂguÂnakan fasilitas KBRI selama melaksanakan misi perburuan ini.
“Bagaimana jika selama kami melakukan aksi di Singapura, memberikan izin untuk kami meÂnginap dan memberikan fasilitas Masjid untuk sholat di KBRI?†tanya Sarman kembali. “Oh nggak bisa,†jawab Fahri.
Para aktivis lalu diminta meÂninÂggalkan KBRI. Barang bawaÂan yang ditinggal di ruang tunggu lalu dikeluarkan petugas. MeÂnuÂrut Sarman, saat itu waktu sudah menunggu pukul 21.00 waktu setempat.
“Pihak keamanan mengatakan barang-barang harus keluar seÂmuanya. Ketika mereka meÂngeÂluarkan barang-barang kami, itu membuat kami sangat prihatin mengapa mereka bersikap seÂperti itu kepada warga sendiri,†seÂsal Sarman.
Lantaran tak punya tempat bermalam, Sarman dan kawan-kawan memutuskan tidur di luar pagar KBRI. Mereka menjadi tempat ini sebagai posko yang diberi nama Posko Anti Korupsi Indonesia. Berbagai spanduk pun digelar di sini.
Esok pagi, pihak KBRI kemÂbali mengusir mereka. Seluruh spanduk yang dipasang dipagar diminta dicopot. Para aktivis lalu memintahkan spanduk kepada pembatas jalan di dekat KBRI. Ada satu banner sepasang empat meter yang hilang. “Saya tanya KBRI, mereka nggak ngaku. SaÂlah satu anggota kami emosi terÂhadap perlakuan staf KBRI terÂsebut,†tutur Sarman.
Menjelang siang, enam mobil datang ke depan KBRI. Dari daÂlam turun polisi berpakaian seraÂgam. “Ketika kami berada di deÂpan KBRI sudah banyak polisi yang mengintai. Ketika terjadi cekcok dengan staf KBRI, kami pun ditangkap petugas tersebut,†katanya. Sarman menduga pihak KBRI-lah yang memanggil polisi untuk menangkap mereka.
Singkat cerita, lima aktivis ini dibawa ke kantor polisi di TangÂlin. Mereka diinterograsi dan diÂminta mengisi berita acara pemeÂriksaan. Kepada polisi, Sarman berupaya menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Polisi Singapura yang mengÂinterogasi mereka sempat marah. “Kalian sudah melanggar hukum Singapura,†katanya. Sarman balik bertanya, “Hukum apa?â€
Polisi itu lalu menjelaskan kami telah melakukan terlarang di Orchard Road dan KBRI.
Polisi meminta Sarman dkk tak melanjutkan aksinya. Kata polisi itu, kasus ini akan dilanÂjutkan ke kejaksaan. “Kami kaget menÂdeÂngar hal itu,†ungÂkap Sarman.
Para aktivis lalu diminta meÂnunggu. Selama proses meÂnungÂgu, polisi menahan paspor kelima aktivis. “Kami kaget kok ditaÂhan? Sementara kita tidak meÂlakukan pidana,†kata Sarman. SeÂtelah diinterogasi, mereka dibaÂwa ke sebuah hostel di Jalan Besar.
Polisi juga memberikan surat keterangan pengganti paspor yang berlaku sampai keluar puÂtuÂsan dari jaksa. “Dikasihlah suÂrat polisi, lalu dikomunikasikan deÂngan hotel tempat tinggal kami. Selain itu nggak ada hotel yang mau menerima kami. Yang kami alami bukan penganiayaan tapi pelemahan. Kami dilemahÂkan alat yang namanya paspor,†kata Sarman.
Dua hari tak mendapat kabar mengenai paspor mereka yang ditahan, Jumat (17/6), Sarman meÂngutus Tommy Diansyah ke kantor polisi. Tujuannya untuk meminta kembali paspor.
“Kita utus Tommy karena kami nggak mau kelimanya ditangkap. Karena saya mencium ada gelaÂgat yang tidak baik,†katanya.
Polisi Singapura kemudian meÂlepaskan Tommy dengan syarat harus segera kembali Indonesia. Empat aktivis lainnya pun dibebaskan dengan syarat serupa. Hari Minggu (19/6), Sarman, Adnan, Dendi dan Eggi pulang.
“Berdasarkan pengakuan polisi, seharusnya kami ditahan berÂdasarkan keputusan kejakÂsaÂan. Polisinya baik, mereka meÂminÂta kami untuk segera meningÂgalkan Singapura. Jika tidak perÂgi, seketika itu juga kami akan diÂtahan,†jelasnya.
Sebelum kembali ke tanah air, para aktivis diminta mengisi BAP dan menandatangani perjanjian tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum lagi. Dikawal beberapa polisi, keempatnya diantar ke Harbour Bay.
“Paspor kami dikembalikan di atas kapal feri. Kita dikawal seÂkitar delapan orang, karena poÂlisi Singapura nggak yakin kita beÂnar-benar kembali ke Batam,†ucapnya.
Dari Batam Lebih HematLima aktivis Gerakan OpoÂsisi Nasional (Gonas) yang nekat pergi Singapura menÂcari Muhammad NazaÂruddin dan Nunun Nurbaeti kini suÂdah di tanah air. MengÂhaÂbisÂkan waktu hampir seminggu, mereka gagal menemukan orang yang dicari.
Tentu butuh biaya yang tiÂdak sedikit untuk pergi ke SiÂngaÂpura. Siapa yang memÂbiaÂyai mereka? “Saya boleh berÂsumpah saya sendiri yang memÂbiayai. Ini risiko saya, saya pikir ya sudahlah saya ikut mengajak teman-teman ikut serta,†ujar Sarman El HaÂkim kepada
Rakyat MerÂdeka, kemarin.
Sarman juga berani menÂjaÂmin, aksi pencarian NazaÂrudÂdin dan Nunun di SingaÂpura tiÂdak didanai partai poÂlitik atau kelompok kepeÂnÂtingan terÂtentu. Menurut dia, keÂbeÂrangÂkatan mereka ke SingaÂpura demi kepentingan nasional.
“Nggak ada sama sekali. Pertanyaan itu juga sempat dilontarkan polisi Singapura dan beberapa kawan. Saya berani jamin, tidak ada satuÂpun kepenÂtingan di belakang teman yang berangkat ke Singapura. Ini cuma kepentingan nasional,†jelasnya.
Sarman mengatakan, untuk berangkat ke Singapura dia meÂnganggarkan Rp 10 juta. “Saya waktu itu
budgeting segitu untuk semuanya kegiatan ini. Nggak besar kok anggarannya, jadi nggak mungkin ada kepentingan kelompok tertentu.
Alhamdulilah, uang itu murni dari kantong saya sendiri,†ujarnya.
Sekadar informasi, biaya perÂjalanan ke Singapura melalui BaÂtam memang lebih murah. Bila langsung dari Jakarta mengÂguÂnaÂkan jalur udara, minimal Rp 1 juta untuk tiket pesawat, plus airport tax Rp 150.000. Sementara bila dari Batam cukup Rp 200.000-Rp 275.000/ sekali jalan. Bila mengÂgunakan kapal cepat, tarifnya 12 dollar Singapura (Rp 84.000) untuk sekali jalan atau 14 dolar Singapura (Rp 98.000) untuk tiÂket pergi-pulang.
[rm]