Berita

Muhammad Nazaruddin

On The Spot

Ditolak Nginap di KBRI Buka Posko di Jalanan

Kisah Aktivis “Pemburu” Nazaruddin dan Nunun
SENIN, 20 JUNI 2011 | 07:18 WIB

RMOL. Lima aktivis berangkat ke Singapura. Mereka ingin mencari tahu keberadaan Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti di negara tetangga itu. Malang, mereka justru dipolisikan pihak Kedutaan Besar RI di sana.

Bagaimana kisah “perbu­ruan” mereka? Berikut penuturan Sarman El Hakim, koordinator aksi itu kepada Rakyat Merdeka.

Sarman dan empat aktivis yak­ni Adnan Balfas, Dendi Satrio, Eggi Sabri dan Tommy Diansyah menyeberang dari Batam ke Si­ngapura, Selasa (14/6). Mereka tergabung dalam elemen Gerakan Oposisi Nasional (Gonas).

Setiba di Singapura, mereka menuju kawasan Orchard Road. “Alasan kita memilih Orchard Road karena menjadi pusat ke­ra­maian dan banyak orang Indo­ne­sia di sana,” ujar Sarman.

Mereka lalu membentangkan poster Nazaruddin dan Nunun. Di poster itu gambar kedua orang itu ditambahi tulisan “Wanted”. Layaknya sayembara perburuan orang, di poster itu dicantumkan hadiah 100 ribu dolar Singapura (Rp 700 juta) bagi yang bisa menemukan keduanya.

Tak hanya itu, para aktivis juga melakukan aksi memakai to­peng wajah Nazaruddin dan Nunun sambil berkeliling Orc­hard Road. Poster-poster para ko­ruptor BLBI yang kabur ke negeri itu tak lupa dipajang.

Menurut Sarman, aksi mereka disambut positif  warga negara yang tengah melancong ke Si­nga­pura. “Mereka bahkan mem­be­rikan dukungan agar kami bisa me­nemukan Nazaruddin dan Nu­nun,” katanya.

Menjelang petang, mereka pin­dah ke Chatsworth Road. Bukan untuk menggelar aksi lagi, tapi datang ke Kedutaan Besar Re­publik Indonesia (KBRI) yang terletak di kawasan.

Kedatangan mereka untuk me­nyerahkan paspor kepada staf KBRI sekaligus meminta duku­ngan untuk mencari Nazaruddin dan Nunun. Mereka hendak membuka posko di sini.

 â€œSaya mau bekerja sama de­ngan KBRI bagaimana?” tanya Sarman kepada staf KBRI yang menerima mereka. Tapi staf itu tak bisa memberikan jawaban. Ia lalu meminta menunggu untuk dipertemukan dengan pejabat berwenang.

Tak lama, para aktivis diterima Fahri, staf KBRI bidang sosial, budaya dan politik. Kepada Fahri, Sarman menyampaikan tawaran untuk membantu pencarian Naza­ruddin dan Nunun di negara itu.

Tapi keinginan para aktivis ber­tepuk sebelah tangan. Pihak KBRI menolak. Tak hanya itu, para aktivis diusir ke luar. Alasan KBRI, mereka berada di negara itu untuk melaksanakan misi diplomatik bukan penangkapan. Tak patah arang, para aktivis me­minta agar diperbolehkan meng­gu­nakan fasilitas KBRI selama melaksanakan misi perburuan ini.

“Bagaimana jika selama kami melakukan aksi di Singapura, memberikan izin untuk kami me­nginap dan memberikan fasilitas Masjid untuk sholat di KBRI?” tanya Sarman kembali. “Oh nggak bisa,” jawab Fahri.

Para aktivis lalu diminta me­nin­ggalkan KBRI. Barang bawa­an yang ditinggal di ruang tunggu lalu dikeluarkan petugas. Me­nu­rut Sarman, saat itu waktu sudah menunggu pukul 21.00 waktu setempat.

“Pihak keamanan mengatakan barang-barang harus keluar se­muanya. Ketika mereka me­nge­luarkan barang-barang kami, itu membuat kami sangat prihatin mengapa mereka bersikap se­perti itu kepada warga sendiri,” se­sal Sarman.

Lantaran tak punya tempat bermalam, Sarman dan kawan-kawan memutuskan tidur di luar pagar KBRI. Mereka menjadi tempat ini sebagai posko yang diberi nama Posko Anti Korupsi Indonesia. Berbagai spanduk pun digelar di sini.

Esok pagi, pihak KBRI kem­bali mengusir mereka. Seluruh spanduk yang dipasang dipagar diminta dicopot. Para aktivis lalu memintahkan spanduk kepada pembatas jalan di dekat KBRI. Ada satu banner sepasang empat meter yang hilang.  “Saya tanya KBRI, mereka nggak ngaku. Sa­lah satu anggota kami emosi ter­hadap perlakuan staf KBRI ter­sebut,” tutur Sarman.

Menjelang siang, enam mobil datang ke depan KBRI. Dari da­lam turun polisi berpakaian sera­gam. “Ketika kami berada di de­pan KBRI sudah banyak polisi yang mengintai. Ketika terjadi cekcok dengan staf KBRI, kami pun ditangkap petugas tersebut,” katanya.  Sarman menduga pihak KBRI-lah yang memanggil polisi untuk menangkap mereka.

Singkat cerita, lima aktivis ini dibawa ke kantor polisi di Tang­lin. Mereka diinterograsi dan di­minta mengisi berita acara peme­riksaan. Kepada polisi, Sarman berupaya menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Polisi Singapura yang meng­interogasi mereka sempat marah. “Kalian sudah melanggar hukum Singapura,” katanya. Sarman balik bertanya, “Hukum apa?”

Polisi itu lalu menjelaskan kami telah melakukan terlarang di Orchard Road dan KBRI.

Polisi meminta Sarman dkk tak melanjutkan aksinya. Kata polisi itu, kasus ini akan dilan­jutkan ke kejaksaan. “Kami kaget men­de­ngar hal itu,” ung­kap Sarman.

Para aktivis lalu diminta me­nunggu. Selama proses me­nung­gu, polisi menahan paspor kelima aktivis. “Kami kaget kok dita­han? Sementara kita tidak me­lakukan pidana,” kata Sarman. Se­telah diinterogasi, mereka diba­wa ke sebuah hostel di Jalan Besar.

Polisi juga memberikan surat keterangan pengganti paspor yang berlaku sampai keluar pu­tu­san dari jaksa.  “Dikasihlah su­rat polisi, lalu dikomunikasikan de­ngan hotel tempat tinggal kami. Selain itu nggak ada hotel yang mau menerima kami. Yang kami alami bukan penganiayaan tapi pelemahan. Kami dilemah­kan alat yang namanya paspor,” kata Sarman.

Dua hari tak mendapat kabar mengenai paspor mereka yang ditahan, Jumat (17/6), Sarman me­ngutus Tommy Diansyah ke kantor polisi. Tujuannya untuk meminta kembali paspor.

“Kita utus Tommy karena kami nggak mau kelimanya ditangkap. Karena saya mencium ada gela­gat yang tidak baik,” katanya.

Polisi Singapura kemudian me­lepaskan Tommy dengan syarat harus segera kembali Indonesia. Empat aktivis lainnya pun dibebaskan dengan syarat serupa. Hari Minggu (19/6), Sarman, Adnan, Dendi dan Eggi pulang.

 â€œBerdasarkan pengakuan polisi, seharusnya kami ditahan ber­dasarkan keputusan kejak­sa­an. Polisinya baik, mereka me­min­ta kami untuk segera mening­galkan Singapura. Jika tidak per­gi, seketika itu juga kami akan di­tahan,” jelasnya.

Sebelum kembali ke tanah air, para aktivis diminta mengisi BAP dan menandatangani perjanjian tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum lagi. Dikawal beberapa polisi, keempatnya diantar ke Harbour Bay.

“Paspor kami dikembalikan di atas kapal feri. Kita dikawal se­kitar delapan orang, karena po­lisi Singapura nggak yakin kita be­nar-benar kembali ke Batam,” ucapnya.

Dari Batam Lebih Hemat

Lima aktivis Gerakan Opo­sisi Nasional (Gonas) yang nekat pergi Singapura men­cari Muhammad Naza­ruddin dan Nunun Nurbaeti kini su­dah di tanah air. Meng­ha­bis­kan waktu hampir seminggu, mereka gagal menemukan orang yang dicari.

Tentu butuh biaya yang ti­dak sedikit untuk pergi ke Si­nga­pura. Siapa yang mem­bia­yai mereka? “Saya boleh ber­sumpah saya sendiri yang mem­biayai.  Ini risiko saya, saya pikir ya sudahlah saya ikut mengajak teman-teman ikut serta,” ujar Sarman El Ha­kim kepada Rakyat Mer­deka, kemarin.

Sarman juga berani men­ja­min, aksi pencarian Naza­rud­din dan Nunun di Singa­pura ti­dak didanai partai po­litik atau kelompok kepe­n­tingan ter­tentu. Menurut dia, ke­be­rang­katan mereka ke Singa­pura demi kepentingan nasional.

 â€œNggak ada sama sekali. Pertanyaan itu juga sempat dilontarkan polisi Singapura dan beberapa kawan. Saya berani jamin, tidak ada satu­pun kepen­tingan di belakang teman yang berangkat ke Singapura. Ini cuma kepentingan nasional,” jelasnya.

Sarman mengatakan, untuk berangkat ke Singapura dia me­nganggarkan Rp 10 juta. “Saya waktu itu budgeting segitu untuk semuanya kegiatan ini. Nggak besar kok anggarannya, jadi nggak mungkin ada kepentingan kelompok tertentu. Alhamdulilah, uang itu murni dari kantong saya sendiri,” ujarnya.

Sekadar informasi, biaya per­jalanan ke Singapura melalui Ba­tam memang lebih murah. Bila langsung dari Jakarta meng­gu­na­kan jalur udara, minimal Rp 1 juta untuk tiket pesawat, plus airport tax Rp 150.000. Sementara bila dari Batam cukup Rp 200.000-Rp 275.000/ sekali jalan. Bila meng­gunakan kapal cepat, tarifnya 12 dollar Singapura (Rp 84.000) untuk sekali jalan atau 14 dolar Singapura (Rp 98.000) untuk ti­ket pergi-pulang.   [rm]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

UPDATE

Aceh Selatan Terendam Banjir hingga Satu Meter

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:58

Prabowo Bertemu Elite PKS, Gerindra: Dukungan Moral Jelang Pelantikan

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:39

Saham Indomie Kian Harum, IHSG Bangkit 0,54 Persen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:26

Ini Alasan Relawan Jokowi dan Prabowo Pilih Dukung Rido

Jumat, 11 Oktober 2024 | 23:19

Transisi Pemerintahan Jokowi ke Prabowo Ukir Sejarah

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:54

Pensiun Jadi Presiden, Jokowi Bakal Tetap Rutin Kunjungi IKN

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:42

Sosialisasi Golden Visa Bidik Top Investor di Bekasi

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:31

Soal Kasus Alex Marwata, Kapolda Metro: Masalah Perilaku Kode Etik yang Jadi Pidana

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:26

Kontroversi Gunung Padang: Perdebatan Panjang di Dunia Arkeolog

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:20

ASDP Ajukan Praperadilan Buntut Penyitaan Barbuk, KPK Absen

Jumat, 11 Oktober 2024 | 22:17

Selengkapnya