RMOL. Setelah menerima laporan pengaduan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dugaan mark-up senilai Rp 602 miliar dalam penyusunan anggaran rencana pembangunan gedung baru DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menelaah dugaan penyimpangan dalam proyek ini.
Kepala Biro Humas KPK JoÂhan Budi Sapto Prabowo meÂneÂgaskan, pihaknya telah menerima laporan pengaduan dari ICW pada Kamis (21/4). MeniÂnÂdakÂlanÂjuti hal tersebut, pihaknya akan menelaah laporan yang maÂsuk.
“Waktu itu ICW bertemu DeÂputi Pengawasan Internal dan PeÂngaduan Masyarakat Pak HanÂdoyo. Kami siap menelaah laporan tersebut,†katanya pada Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun demikian diakuinya, piÂhaknya belum dapat turun langÂsung menangani proyek pemÂbaÂnguÂnan gedung. Soalnya, pemÂbangunan gedung baru itu belum dilakukan oleh DPR. “Sekarang apanya yang mau ditangani kalau gedung barunya saja belum diÂbangun. Tapi data itu tetap akan kami telaah,†ucapnya.
Johan menyatakan, jika yang dilaÂporkan ICW benar, pihaknya tiÂdak segan-segan membawa perÂkara tersebut ke jalur hukum. “Ya kalau terjadi penggelembungan harÂÂga berarti korupsi. Kita taÂngani itu,†tandasnya. Meski beÂgitu, Johan berterimakasih pada ICW karena telah melaporkan dugaan penggelembungan harga dalam pembangunan gedung baru DPR ke KPK.
Pada prinsipnya, menurut dia laÂporan itu sama halnya dengan memberi kepercayaan pada KPK daÂlam menangani perkara. “Kami senang ICW memberikan keÂperÂcaÂyaan pada kami,†ucapnya.
Dalam laporannya, ICW menÂduga ada
mark up anggaran konsÂtruksi pembangunan geÂdung baru DPR. Dugaan
mark up ini berÂnilai Rp 602 miliar. Nominal terÂseÂbut didapat setelah ICW melaÂkukan penghitungan berÂdasarkan standar Peraturan Menteri PeÂkerjaan Umum NoÂmor 45/PRT/M/2007.
Dalam penghitungan, total keÂbutuhan ruang pada gedung baru berlantai 18 lantai mencapai 79.767 meter persegi. Sementara berÂdasarkan penghitungan saat ini, diperkirakan gedung baru deÂngan lantai 36 hanya butuh kiÂsaÂran luasa tanah 157 meter persegi.
KaÂrenanya, Koordinator MoniÂtoÂring Analisis Anggaran ICW FirÂdaus Ilyas yang menemukan ada ketidakberesan nekat melaÂpor ke KPK. Soalnya, menurut perhituÂngan ICW, dana untuk memÂbaÂngun gedung baru DPR hanya Rp 535,6 miliar.
“Dugaan penggelembungan dana itu diperoleh setelah memÂbandingkan hitungan versi ICW terkait total anggaran versi hituÂngan pihak DPR yang meÂngangÂÂgarkan Rp 1,38 triliun. Kita menÂdesak KPK segera meÂnguÂsut duÂgaan penyimpangan seÂperti ini,†katanya.
Kata dia, ICW juga mengÂhiÂtung total harga konstruksi pemÂbangunan gedung per meter perÂsegi hanya Rp 6.715.500. BerÂbeda dengan versi DPR, di mana harÂganya dipatok pada angka Rp 7,2 juta. Dengan angka ini, total yang seharusnya dikeluarkan untuk pengeluaran biaya konsÂtruksi baÂngunan Rp 532.675.288.500.
Beda anka tersebut dinilai ICW jauh berbeda dengan biaya konsÂtruksi yang ditetapkan DPR yang menÂcapai angka Rp 1,138 triliun.
“Kami menduga ada
mark up seÂnilai Rp 602 miliar. Dari hiÂtung-hitungan kami, kebutuhan luas ruangan untuk staf ahli setiap anggota seharusnya hanya 80 meÂter persegi, bukan 111,1 meter perÂsegi,†tuturnya. Menurut FirÂdaus, dugaan
mark up dari nilai Rp 1,138 triliun itu baru untuk anggaran konstruksi bangunan.
Ia menduga, kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada angÂgaran fasilitas lain untuk gedung baru. Fasilitas itu meliputi angÂgaÂran mebel untuk penunjang kerja dan anggaran listrik gedung baru.
“Ini baru anggaran konstruksi bangunan ya. Belum lagi kita meÂliÂhat ada furnitur dan perÂlengÂkaÂpan lainnya di dalam ruang kerja. Kemudian, kita juga bisa saja nanti menemukan televisi plasma di setiap ruangan. Jadi itu semua belum masuk hitungan interior dan multimedia di dalamnya,†tandasnya.
Sementara itu, Koordinator biÂdang Korupsi Politik ICW AbÂdullah Dahlan mengatakan, pemÂbangunan gedung baru tersebut diÂduga kuat, bermasalah. PermaÂsaÂlahan muncul baik dari sisi peÂrencanaan maupun anggaran. DiÂsampaikannya, dari proses perenÂcanaan, pembangunan ini seÂhaÂrusÂnya mengacu pada peraturan Kementerian Pekerjaan Umum.
“Perencanaan gedung ini tidak diÂlandasi oleh analisa dan perseÂtujuan Kementerian PU,†kataÂnya. Abdullah Dahlan meÂnamÂbahÂkan, dari sisi penyusunan anggaran pembangunan gedung baru DPR yang mencapai Rp 1,38 triliun, ia juga yakin kalau hal tersebut menyalahi prinsip asas pengelolaan anggaran neÂgara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.
Ketua Dewan Perwakilan RakÂyat (DPR) Marzuki Alie menolak mengomentari segala hal yang terkait proyek pembangunan gedung baru DPR. “Tidak ada yang perlu saya komentari. UruÂsan gedung baru itu sudah
cased closed. Tidak usah ditanyakan lagi terlepas dari dinamika yang berkembang. Semuanya sudah dirumuskan secara formil,†tanÂdasnya. Lebih dari itu, Marzuki meminta masyarakat percaya pada DPR yang tengah berjuang menghemat anggaran.
Terlalu Kedepankan Persoalan Pribadi Mahfud MD, Ketua MKKetua Mahkamah Konstitusi (MK) Mafud MD menilai, seÂcara konstitusi pembangunan gedung baru DPR yang meÂneÂlan biaya Rp 1,13 triliun adaÂlah sah serta tidak meÂlanggar huÂkum. Soalnya, mekanisme yang dilakukan DPR sudah seÂsuai prosedur.
“Keputusan DPR memÂbÂÂaÂngun gedung baru sama seÂkali tak salah. Sebab keputusan itu seÂmua sudah melalui proÂseÂdur yang sah. Rencana itu sudah diÂpuÂtuskan DPR periode lalu kemudian sudah masuk dalam Undang-undang APBN dan suÂdah dibicarakan di BURT yang dihadiri semua fraksi dan diÂsahÂkan di paripurna,†katanya.
Karena itu, somasi serta guÂgaÂtan yang diajukan koalisi LSM untuk pimpinan DPR tiÂdak ada gunanya. MenuÂrutÂnya, saat ini persoalan mengemuka dalam pembangunan gedung baru DPR terkait masalah poÂlitik.
“Jika ada pihak yang tidak seÂtuju, upaya yang bisa dilakukan hanya bisa dilakukan melalui jalur politik bukan jalur hukum. Misalnya dengan unjuk rasa dan penggalangan opini secara besar-besaran,†ujarnya.
Meski begitu, katanya, sehaÂrusÂnya anggota dewan lebih meÂmÂentingkan persoalan etika daripada mengedepankan keÂinginan pribadi semata. Guru beÂsar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) YogÂyaÂkarÂta ini pada dasarnya sangat setuju jika uang sebesar Rp 1,138 Triliun itu digunakan unÂtuk mensejahterakan maÂsyaÂraÂkat atau mengadakan program sosial lain, seperti konsentrasi membangun kebutuhan rumah sederhana yang tak terprogram dengan baik.
“Di Surabaya saja masih ada keluarga yang membangun pemukiman di kuburan umum karena tak mampu membangun gubuk. Masak, gedung DPR yang masih megah harus diÂbongÂkar dan diganti dengan yang baru,†tandasnya.
Mahfud menegaskan, DPR jangan menganggap remeh soal aksi demo dan penolakan dari sejumlah LSM. Sebab, kadangÂkala gelombang penolakan bisa menyebabkan pembatalan sebuah kebijakan.
Terkait masih adanya dugaan mark-up pembangunan gedung baru DPR oleh ICW, Mahfud menilai, perkara itu diluar konÂteks sah atau tidaknya pemÂbaÂnguÂnan gedung baru DPR.
“Nah kalau itu, masuk dalam ranah hukum yang lain. Kalau benar ada dugaan mark up pemÂbangunan gedung baru DPR maka KPK harus meninÂdakÂlanjutinya dan menangkap pelakunya,†ucapnya.
Bisa Merusak Citra ParlemenRuhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR RuÂhut Sitompul berpendapat bahwa pelaporan yang dilaÂkuÂkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) ke Komisi PemÂbeÂÂrantasan Korupsi (KPK) terkait adanya dugaan pengÂgeÂlembungan harga Gedung baru DPR merupakan hal yang terÂlalu berlebihan. Soalnya, apa yang dilakukan oleh DPR sudah sesuai dengan prosedur.
“Pertama laporan ke KPK haÂrus ada bukti yang kuat dengan menyertakan data-data yang vaÂlid dan bisa dipertanggung jaÂwabÂkan. ICW saya nilai tidak mengerti apa yang sedang dikerÂjakan oleh anggota dewan. Makanya pemikiran seorang deÂwan dengan aktivis itu kaÂdang tak nyambung,†katanya.
Menurut Ruhut, pelaporan itu bisa dikategorikan sebagai tinÂdakan merusak citra DPR. Di samping itu, Ruhut menilai deÂsakan ICW agar pembanguna gedung baru dibatalkan adalah bentuk ketidakpahaman ICW terhadap kerja anggota dewan.
“Ya kalau begini ceritanya, ini bisa masuk dalam usaha meÂrusak citra kami sebagai angÂgoÂta dewan,†imbuhnya. Kepada KPK, Politisi Partai Demokrat ini berharap lembaga superbodi itu menelaah laporan ICW sesuai prosedur dan ketentuan yang ada.
Namun sebaliknya imbuh dia, jika hasil telaah KPK tidak meÂÂnunÂjukkan adanya mark-up, maka ICW bisa diajukan ke jaÂlur hukum karena telah meÂnuÂding DPR secra tidak benar. “AncaÂman hukumannya pidana tuÂjuh tahun. Makanya jangan main-main dalam melaporkan suatu perkara,†tandasnya.
[RM]