RMOL. Bangsa Indonesia dapat diibaratkan sekumpulan kepiting yang berada di baskom yang satu diantara yang lainnya saling menarik ke bawah berusaha untuk keluar dari baskom itu. Tingkah laku kepiting itu mengibaratkan bangsa Indonesia yang tidak memiliki budaya menjunjung atau mendorong setiap anak bangsa yang berprestasi atau memiliki kemampuan untuk maju.
Demikian diungkapkan oleh budayawan Muji Sutrisno SJ dalam diskusi kebangsaan bertajuk 'Apa Penyebab Keterpurukan Indonesia? Menyikapi Ancaman Negara Gagal' yang diselenggarakan Gerakan Integritas Nasional (GIN) yang diketuai Salahuddin Wahid, di Café Domus, Jakarta, kemarin.
Muji Sutrisno menjelaskan bahwa Indonesia kehilangan budaya atau mental untuk menjunjung dan menghormati value orang yang maju dan memiliki visi ke depan. Orang sulit mengapresiasi orang lain (looking down). "Itu ciri dari gagalnya sebuah negara," ungkapnya.
Ia menambahkan, negara gagal juga ditandai dengan tidak mampunyai kelompok kreatif dalam menghentikan disintegrasi, penolakan kelompok mayoritas terhadap terhadap nilai-nilai sejarah yang letakkan oleh
founding fathers dan hilang atau lunturnya kohesi sosial berupa
trust dari masyarakat.
Keterpukuran Indonesia juga diperparah dengan munculnya beberapa disorientasi budaya, yakni hilangnya value yang indah, baik dan benar karena tergusur oleh tradisi lisan yang anonim akibat dari terdigitalisasinya hidup. Akibatnya, tidak ada pendalaman, refleksi, pembatinan atas hidup itu sendiri.
Selain itu, keterpurukan itu muncul akibat munculnya disorientasi bernegara yang berlandaskan Pancasila dengan dicedarai kekosongan ketaladan dan berburu pada citra
(image). Seharusnya, kata Muji, demokrasi ekonomi harus seiring dengan demokrasi politik. Hasil kreatif yang seharusnya menjadi budaya akhirnya hilang akibat nilai kreatif dikomersialisasi menjadi materialisasi atau pembendaan. Sehingga tidak heran kemudian muncul fundamentalisme di mana-mana.
Keterpurukan akhirnya menjadi krisis ketika informasi didigitalisasi sebagai tayangan infotainment, menjadi tayangan maya tanpa mempedulikan kondisi nyata bangsa Indonesia. Dari titik ini, bisa dimaklumi ekonomi kemudian berubah menjadi konsumsi simbol, produsen makna bersanding dengan produsen barang konsumtif.
Lantas Apa Jalan Keluarnya?
Untuk mencari jalan keluar dari keterpurukan ini, ungkap Muji, Bangsa Indonesia hendaknya melakukan
osmosis yaitu memadukan nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru lalu mengambil nilai yang baik. Bangsa Indonesia perlu juga melakukan sintesis dialektis dalam segala nilai budaya. Juga hendaknya dilakukan transformasi keberanekaragaman, di mana nilai Kebatakan, KeJawaan, KeNTTan dll harus memiliki kontribusi pada KeIndonesiaan.
“Yang harus disadari dalam bangkitnya suatu bangsa, budaya selalu merupakan pertemuan antara
value dan
interest, nilai dan kepentingan,†ujar Muji Sutrino yang menandaskan bahwa tidak mengherankan jika hidup berbangsa dari sudut budaya baru dilihat kembali setelah seorang pejabat tidak menjabat lagi.
[ade]