Berita

Syamsul Arifin

X-Files

Syamsul Arifin Belikan Anggota DPRD Mobil

Lanjutan Kasus Yang Membelit Gubernur Sumut
SABTU, 19 MARET 2011 | 04:08 WIB

RMOL.Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin tersandung kasus dugaan korupsi  dana Kas Daerah Kabupaten Langkat Tahun  2000-2007. Dana itu digunakan Syamsul antara lain untuk membelikan mobil pribadi anggota DPRD Langkat.

Berdasarkan surat dak­wa­an jaksa penuntut umum (JPU), pada tahun 2002 hingga 2003, Syamsul yang saat itu menjabat Bupati Langkat, menggunakan dana kas daerah tersebut untuk membeli 43 unit mobil pribadi anggota DPRD.

 Peristiwa itu terjadi pada Ma­ret 2002. Bertempat di rumah di­nas Bupati, Syamsul menerima la­poran dari Kepala Bagian Ke­uangan Langkat Surya Djahisa dan seseorang bernama Amirudin Hamzah. Menurut JPU, laporan itu isinya permintaan pengadaan mo­bil pribadi untuk seluruh ang­gota DPRD Kabupaten Langkat dengan menggunakan APBD Langkat.

Setelah itu, menurut JPU, Syam­sul melakukan pertemuan de­ngan Direktur CV Ansor Bin­tang Sembilan, Mahsin dan ang­gota DPRD Langkat, yaitu Irian Nasution dan Syarifudin Basyir. Per­temuan tersebut digelar di se­buah tempat di Jalan Putri Hijau Dalam, Medan.

JPU menuding, dalam perte­mu­an itu, Syamsul menunjuk pe­rusahaan Mahsin sebagai pe­nye­dia mobil dengan kesepakatan pem­bayaran mobil termasuk asu­ransi dengan cara mencicil. Se­te­lah itu, Syamsul meminta Mah­sin menghubungi pemegang kas daerah, Buyung Ritonga. Pada­hal, Syamsul mengetahui, pem­be­lian mobil itu tidak diang­gar­kan dalam APBD Langkat. Mobil yang disetujui ialah Isuzu Panther.

Beberapa hari kemudian, Syam­sul bersama Buyung me­nan­datangani sejumlah cek atas re­kening Kas Daerah di Bank Su­mut Cabang Binjai senilai Rp 10,2 miliar. Menurut JPU, uang itu di­gunakan untuk pembayaran mo­bil pribadi anggota DPRD Lang­kat. Tapi, uang itu dicairkan tanpa mekanisme yang benar.

Selanjutnya, dakwa JPU, Syam­sul memerintahkan Buyung agar menghubungi Mahsin untuk menyelesaikan proses pem­ba­ya­ran mobil itu dengan meng­gu­na­kan cek yang sudah ditan­da­ta­nga­ni Syamsul dan Buyung.

Alhasil, pada 29 April 2002, Bu­yung me­nyerahkan cek se­nilai Rp 300 juta kepada Mah­sin untuk membayar uang muka kepada PT Astra In­ternational Tbk-Isuzu Medan.

Sedangkan sisanya dan asu­ransi diserahkan Buyung kepada Mahsin secara bertahap sejak Mei 2002 sampai Mei 2003. Jika dito­tal, pembelian 43 mobil Panther itu menghabiskan Rp 6,7 miliar.

Sisanya yang Rp 3,4 miliar di­se­rahkan Buyung kepada Syam­sul secara bertahap hingga men­capai Rp 850 juta. Selebihnya, diberikan kepada pihak lain atas perintah Syamsul.

Untuk menutupi sebagian pe­nge­luaran kas daerah itu, Syam­sul bersepakat dengan Buyung untuk melakukan pemotongan anggaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selama tahun 2002-2003. Selan­jutnya, Syamsul meminta Kepala Bagian Keuangan Langkat, Surya Djahisa supaya membuat Daftar Pemotongan Anggaran SKPD yang besarnya sekitar 4 persen hingga 40 persen.

Menurut JPU, berdasarkan daftar itu, Buyung secara berta­hap pada tahun 2002 dan 2003 me­lakukan pemotongan angga­ran SKPD dengan total Rp 4,5 miliar.

Jika dirinci, maka pada 2002 uang pemotongan itu berasal dari Bagian Umum sejumlah Rp 74,5 juta, Kantor Tata Peme­rin­tahan sejumlah Rp 435 juta, Kan­tor Lin­mas sebesar Rp 200 juta, Sek­retariat DPRD sebesar Rp 1 mi­liar, Kantor BPPJU s­e­jumlah Rp 50 juta dan BP Bukit Lawang sej­umlah Rp 150 juta.

Sedangkan untuk tahun 2003, dana pemotongan itu diperoleh dari Bappeda sejumlah Rp 300 juta, Bagian Perekonomian se­jum­lah Rp 200 juta, Sekretariat DPRD Rp 1,6 miliar, Kantor PMD sejumlah Rp 139 juta dan Dinas Infokom sejumlah Rp 200 juta.

Menurut JPU, saat dihadirkan sebagai saksi di Kejaksaan Tinggi Sumut, Buyung menilai Syamsul mengetahui dan menyetujui tindakan para Kepala SKPD yang membuat SPJ fiktif untuk menu­tupi pemotongan anggaran itu su­paya jumlah anggaran yang digu­nakan oleh para Kepala SKPD seolah-olah sesuai dengan Per­a­tu­ran Daerah APBD dan SK Bu­pati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan.

Melihat tudingan JPU yang me­nyebutkan dirinya melakukan penyelewengan Rp 98,7 miliar un­tuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, Syamsul tampak tenang. “Mungkin benar, mung­kin salah. Tergantung proses pe­ngadilan ini. Nanti saya jawab ma­salah itu,” katanya seusai pem­­bacaan dakwaan di Penga­di­lan Tipikor, Senin (14/3).

Tak Malu Jadi Terdakwa Tipikor

Setelah 4,5 bulan ditahan KPK di Rutan Salemba, Jakarta, Gu­bernur Sumatera Utara Syam­sul Arifin akhirnya duduk di kursi terdakwa Pengadilan Tipikor. Jaksa KPK mendakwa Syamsul menyelewengkan APBD Langkat saat menjabat Bupati Langkat, Su­matera Utara selama 2000-2007.

Menurut jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang dipimpin Cat­ha­rina Muliana, Syamsul telah memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan dana APBD Lang­kat, sehingga menimbulan kerugian negara Rp 98,716 mi­liar. “Dana APBD itu digunakan untuk pribadi, keluarga dan pihak lain,” ujar Catharina saat mem­ba­cakan surat dakwaan.

Dalam sidang yang dipimpin Ke­tua Majelis Hakim Tjokorda Rai Suamba itu, JPU menya­ta­kan, Syam­sul menggunakan dana APBD untuk keperluan pribadi dan ke­luar­ganya dengan cara me­nerbitkan Surat Perintah Mem­bayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pen­cairan Dana (SPPD) yang tidak se­suai ketentuan. Dana yang diambil berasal dari Kas Daerah Pemkab Langkat tahun 2000-2007.

Selain itu, dakwa JPU, Syam­sul juga memerintahkan pe­ng­e­luaran uang kas daerah selama ku­run 2005-2007 dengan cara kas bon, serta memotong anggaran un­tuk setiap Satuan Kerja Pe­rangkat Daerah (SKPD) Pemkab Langkat masing-masing 10 per­sen. Pemo­tongan anggaran itu di­catat Peme­gang Kas Daerah Pem­kab Lang­kat Buyung Ri­ton­ga. Pemotongan anggaran untuk SKPD dilakukan pada tahun 2006-2007, dengan jumlah Rp 12,266 miliar yang ber­asal dari 35 SKPD.

Dalam dakwaan primair, Syam­sul disebut JPU melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 ten­tang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi (Tipikor) seba­gai­mana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto pa­sal 65 ayat (1) KUHPidana. An­caman hukuman maksimalnya adalah 20 tahun penjara.

Biasanya, banyak orang malu jadi terdakwa, apalagi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Ko­rupsi. Namun, hal itu berbeda de­n­gan Syamsul. “Saya bangga, saya anak Berandan, kampung hampir paling ujung, tidak pernah membayangkan sebelumnya seperti ini. Jadi, macam orang ter­hormat duduk di sini,” katanya.

Pekan depan, agenda sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Saksi dihadirkan pada si­dang  Senin, 21 Maret 2011 ada­lah Buyung Ritonga, be­kas Ben­dahara Umum Pemeri­n­tah Ka­­bu­paten Langkat dan Sur­ya Dja­hisa, Kepala Pemegang kas Peme­rin­tah Kabupaten Langkat.

Tak Lepas Dari Faktor Pilkada

Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Banyaknya pejabat daerah yang terbelit kasus korupsi, menurut anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat, tidak lepas dari faktor pemilihan ke­pala daerah (pilkada) yang me­merlukan dana sangat besar.

“Jadi, yang ada di pikiran sang pejabat, setelah terpilih ialah balik modal sebesar-be­sar­nya. Bukannya mengelola dae­rah yang menjadi tanggung jawabnya, malah berpikiran menggunakan APBD sebagai usaha untuk membalikkan mo­dal yang telah hilang,” katanya.

Marthin berpendapat, sistem pilkada tidak tepat digunakan untuk negara seperti Indonesia. Sebab, pilkada dengan sen­di­ri­nya akan mencoreng nilai de­mokrasi itu. “Contohnya, kerap ber­main de­ngan uang sebagai sarana pe­nunjang kesuksesan se­seorang. Sedangkan demok­rasi, praktik menggunakan uang sangat di­haramkan,” ujarnya.

Menurut Marthin, pilkada bo­leh saja ditempuh asalkan di­sertai pengawasan yang ekstra ke­­tat saat proses pemilihan. “Ja­di, betul-betul masyarakat mur­ni memilih seorang calon de­ngan hati nuraninya. Bukan karena diberi sejumlah uang,” ucapnya.

Politisi Gerindra ini juga meng­kritik kinerja aparat pe­ne­gak hukum yang tidak tegas terhadap pejabat daerah yang me­lakukan korupsi. “Aparat kita ini aneh, para pejabat dae­rah yang korupsi bukannya di­lawan, malah jadi kawan. Ma­lah, ada yang menjadikan peja­bat itu sebagai mesin ATM,” tandasnya.

Ketika ditanya, apa yang di­maksud mesin ATM, Marthin me­ngatakan aparat penegak hukum mudah disuap dengan se­jumlah uang. “Mereka itu su­dah tahu bahwa pejabat itu ko­rupsi. Tapi, malah di­ma­n­faat­kan aparat untuk mencari duit,” imbuhnya.

Makanya, lanjut dia, ada hu­bungan yang erat antara pejabat daerah dengan aparat penegak hukum. “Kalau sudah terjadi hu­bungan kekerabatan seperti ini, sangat susah untuk memu­tus­nya. Bagaimana mau memu­tus­nya, yang di belakang peja­bat­nya ialah aparat penegak hu­kum,” ucapnya.

Sedia Payung Sebelum Hujan

Amir Syamsuddin, Politisi Demokrat

Pengamat hukum Amir Syam­suddin meminta aparat penegak hukum untuk me­ning­katkan fungsi pencegahan ko­rupsi di daerah. Pasalnya, yang paling sering dilakukan aparat pada saat ini adalah fungsi penindakan.

“Logikanya, kalau terus me­nerus ditindak tanpa ada pen­cegahan, itu sama saja tidak ada pengaruhnya. Pepatah bilang, sedia payung sebelum hujan. Itu tandanya fungsi pencegahan harus ditingkatkan, jangan ma­lah lemah,” katanya.

Selain itu, Amir berpendapat, otonomi daerah dan desen­tra­li­sasi punya efek negatif, salah satunya makin maraknya ko­rupsi di daerah dengan modus yang beragam. “Kondisi ini menunjukkan ada ke­tidak­se­im­ba­ngan pemahaman konsep oto­nomi di masing-masing dae­rah, juga perbedaan pema­ha­man dengan pusat. Daerah me­m­ahami otonomi semata-mata hanya kewenangan anggaran, sehingga mereka dengan leluasa menggunakan anggaran itu,” imbuhnya.

Amir menambahkan, kebija­kan otonomi daerah bisa ter­se­sat maknanya menjadi desen­tra­lisasi korupsi. “Otonomi bisa dimaknai sebagai membagi-bagi kesempatan dari pusat ke­pada daerah. Aktor-aktor ke­kua­saan di level daerah mung­kin lupa diri dengan memaknai otonomi sebagai redistribusi ke­kuasaan untuk mereka,” kata Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini.

Selain pelaksanaan otonomi daerah, katanya, ada sejumlah faktor yang mendorong timbul­nya korupsi oleh pejabat dae­rah. “Yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan trans­fer dari pemerintah pusat, dae­rah berhak mengalokasikannya sesuai pertimbangan-perti­m­ba­ngan dan kebutuhan daerah. Tapi terkadang mereka salah­gu­na­kan dana tersebut,” tuturnya.

Makanya, pengacara senior ini lebih mengedepankan fungsi pencegahan pada setiap lem­ba­ga penegak hukum. Menurut­nya, sekalipun banyak kebij­a­kan dan pembentukan lembaga pemberantas korupsi, namun tindak pidana korupsi di Indo­ne­sia masih merupakan jenis kejahatan yang paling susah di­atasi. “Yang utama itu penc­ega­hannya dulu, baru penindakan,” ucapnya. [RM]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya