Berita

Mari Berdoa Supaya SBY Tidak Terpeleset Lagi

SELASA, 30 NOVEMBER 2010 | 10:13 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

RMOL. Blunder. Sebuah istilah yang kerap digunakan dalam pertandingan sepakbola untuk menyebut kesalahan sepele yang nyatanya berakibat fatal pada sebuah tim dan efeknya amat merugikan bahkan bisa berbuah kekalahan. Tentu saja blunder sebisa mungkin selalu dihindari pemain yang profesional.

Tidak hanya dalam dunia olahraga, dalam wahana politik pun istilah blunder menakutkan. Politik, dimana sarat intrik dan kasak-kusuk seperti di negeri ini, sebuah blunder potensial berakibat fatal bagi karir politik dan citra pejabat. Sedikit saja pejabat salah langkah, bisa jadi bulan-bulanan kritik.

Contoh paling gamblang, kita ingat pernyataan Ketua DPR, Marzuki Alie, pada konteks bencana alam tsunami di Mentawai, Sumatera Barat akhir bulan lalu. Politisi Demokrat ini mengomentari, korban yang timbul akibat tsunami di Mentawai adalah konsekuensi menetap di daerah pesisir.  Intinya, ia mengatakan, siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Pernyataannya kemudian dikutip media massa dan mendapat kecaman keras dari publik. Tak ayal, Partai Demokrat ikut sibuk menangkal serangan ke Marzuki dan melakukan klarifikasi. Memang, tidak sekali itu citra Marzuki terpuruk di mata publik.


Sama halnya dengan Ketua DPR, Presiden RI pun tak lepas dari blunder yang kemudian jadi bumerang tajam. Yang paling mutakhir adalah ucapan Presiden terkait proses pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jumat (26/11).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menegaskan RUU Keistimewaan Jogjakarta harus memikirkan aspek demokrasi. Sebab saat ini sudah tidak mungkin lagi melanjutkan sistem monarki.

"Sebagai negara demokrasi, nilai-nilai demokrasi harus ditegakkan, tidak  mungkin ada sistem monarki. Saya yakin ada sistem yang jadi jalan tengah," tegas Presiden. Ia juga menekankan, sistem nasional NKRI seutuhnya merupakan harga mati.

Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X langsung merespons. Meluruskan pernyataan Presiden, Sultan katakan bahwa sistem pemerintahan di Provinsi DIY tidak berdasarkan sistem monarki. Di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta, Sabtu (27/11), ia tegaskan, Pemda DIY sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan UUD dan UU.

Mengapa Presiden sampai mengeluarkan pernyataan semacam itu, menjadi pertanyaan besar. Tidak mungkin seorang Presiden RI tidak mendalami sejarah keistimewaan Jogja alias buta sejarah. Tidak mungkin juga seorang Presiden, yang notebene memiliki Dewan Pertimbangan, tim staf khusus dan ahli yang berpostur gemuk, tidak mendalami ilmu ketatanegaraan. Keseleo lidah?

Ada istilah menarik yang dilontarkan Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, menanggapi Presiden.

"Sebaiknya kita tak menggaruk yang tidak gatal, akan timbulkan iritasi yang tak perlu," saran politisi PPP ini.

Maksudnya, sesuatu yang sudah final dan sudah terang benderang tidak usah lagi dikomentari atau dibantah yang akhirnya jadi ramai diperdebatkan.

Staf Khusus Presiden bidang Informasi dan Komunikasi, Heru Lelono, mencoba mendinginkan suasana dengan menjelaskan, apa yang dikatakan Presiden adalah konsep yang menampung semua masukan yang ada tentang keistimewaan Jogja. Pihak pemerintah menghargai semua pendapat yang menyusul. "Kalau boleh kami sarankan pada para pengamat dan pada siapapun, ini baru pemikiran pemerintah jadi jangan terlalu cepat direspons," ucapnya.

Tercatat pula, SBY dianggap melakukan blunder fatal ketika menyampaikan peringatan mengenai kedudukan KPK yang menjadi seperti lembaga superbody, Juni tahun lalu, pada masa sebelum Pilpres. Kalangan pengamat politik menyimpulkan, pernyataan SBY soal kewenangan besar KPK itu adalah blunder politik. Lawan politik SBY mengeksploitasi habis-habisan isu itu. Kubu JK-Wiranto menganggap SBY tidak suka dengan lembaga antikorupsi KPK. Tim JK-Wiranto pun mempertanyakan komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi.

Soal konstitusi, Presiden Yudhoyono pernah membuat kontorversi. Dalam Pidato Kenegaraan serta Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN 2008 Beserta Nota Keuangannya di depan Rapat Paripurna DPR-RI, Kamis, 16 Agustus 2007, SBY mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu disakralkan. Tapi, pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan ideologi dan dasar negara lain, ataupun untuk mengubah Pembukaan UUD 1945 yang merupakan ruh dan jiwa dari konstitusi, tidak akan diberikan tempat dalam kehidupan bernegara kita. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengucapkan hal serupa ketika memberikan sambutan pada acara buka puasa bersama dengan pimpinan DPD di akhir November 2009.

''Tidak perlu sakralisasi bentuk-bentuk demokrasi termasuk UUD. UUD bukan kitab suci,'' ujarnya di Jakarta.

Penegasan SBY itu dianggap tidak terlalu penting untuk diutarakan karena akhirnya menimbulkan persepsi negatif dari banyak kalangan. Pernyataan itu seolah menjadi selaras dengan wacana yang diutarakan politisi Demokrat, Ruhut Sitompul, saat mengusulkan amandemen UUD 45, mengubah masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Blunder yang tidak kalah mencengangkan rakyat ketika Yudhoyono, mengusulkan agar kawasan Porong, yang lima tahun belakangan ini menjadi kolam lumpur Lapindo, dikembangkan menjadi obyek wisata geologis di Jawa Timur. Hal itu diutarakan SBY di sela kunjungannya ke titik-titik luapan lumpur Sidoarjo, bulan Maret lampau. Kecaman keras datang dari para aktivis lingkungan hidup, masyarakat luas dan tentu saja dari warga Sidoarjo sendiri. Mereka menuding, SBY mencoba menutupi kegagalan pemerintah menangani dampak luapan lumpur Lapindo.

Pernyataan-pernyataan dan tindak-tanduk Presiden pastilah mendapat sorotan besar dari rakyatnya, tak terkecuali dari lawan politiknya untuk menambah amunisi serangan. Itulah resiko menjadi penguasa nomor satu di republik ini.

Menjadi tidak sehat kalau seorang Presiden melemparkan wacana-wacana yang pada akhirnya akan sekadar menimbulkan polemik panjang dan memakan energi bangsa ini, hanya demi menanggapi statement kontroversial dari Presiden. Kiranya, Presiden lebih memperhitungkan apa dampak dari ucapan-ucapannya di hadapan publik. Karena, alasan terpeleset lidah pastilah tidak akan masuk akal.[ald]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya