Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

RUU PPSK Menghidupkan Rezim Ekonomi dan Keuangan Gaya Lama

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/achmad-nur-hidayat-5'>ACHMAD NUR HIDAYAT</a>
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
  • Kamis, 07 Juli 2022, 11:24 WIB
RUU PPSK Menghidupkan Rezim Ekonomi dan Keuangan Gaya Lama
Pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Co-Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net
RANCANGAN UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada 16 Juni 2022. Beleid tersebut menyimpan kotak misterius yang akan menggantikan rezim perekonomian modern dengan rezim perekonomian gaya lama.

Inisiator RUU PPSK tersebut adalah anggota dewan komisi 11 terutama berasal dari fraksi PDIP yang berkomunikasi intens dengan Menteri Keuangan. Berdasarkan draf RUU PPSK yang diperoleh media dan beredar luas di sosmed, draf RUU PPSK tersebut menghapus Pasal 47 huruf c terkait substansi mengenai larangan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) untuk menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik. Ke depan, Petinggi Otoritas Moneter BI dan OJK dapat merupakan pengurus dan/atau orang partai politik.

Hal ini adalah kemunduran yang luar biasa karena desain kelembagaan BI dan OJK yang independen dapat diintervensi oleh partai politik, parlemen dan pemerintah. BI akan seperti zaman masa lalu dimana BI tidak memiliki independensi dalam menentukan kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan stabilitas sistem keuangan termasuk menentukan internal organisasi karena akan diisi mereka yang memiliki afiliansi politik tertentu.

RUU PPSK tersebut didesain menjadi Omnibus law yang mengintegrasikan sekitar 16 UU di sektor keuangan. Rencananya RUU ini akan menjadi RUU kedua setelah omnibuslaw ketenagakerjaan.

Dalam RUU omnibus law tersebut juga diusulkan regulasi baru dalam substansi UU tentang BI, yakni agar Bank Sentral dapat membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana dalam rangka penanganan krisis keuangan.

Jika aturan itu disetujui, mekanisme burden sharing seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 bisa terus dijalankan. Pemerintah dalam mencari pembiayaan politik anggarannya (APBN) dapat memaksa Bank Indonesia untuk mencetak uang (printing money) lebih banyak tanpa memikirkan keberlanjutan perekonomian masa depan seperti tingkat inflasi yang tinggi dan ancaman krisis utang lebih dalam.

Dalam desain RUU PPSK, Akan muncul kelembagaan yang lebih powerfull yang nahkodai Menteri Keuangan yaitu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dimana ketuanya dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan.

KSSK atas nama stabilitas sistem keuangan turun membawahi BI, OJK dan LPS. BI tidak lagi independen mengatur kebijakan yang berurusan dengan stabilitas keuangan karena dapur kebijakannya dipindah ke KSSK begitu juga OJK.

Dalam skema baru penyelamatan bank gagal berdampak sistemik, RUU PPSK ingin pemilik lama bank gagal bertangggunjawab melalui mekanisme bail ini sebelum diputuskan apakah akan menggunakan uang LPS untuk menyelamatkan (bail out) atau tidak. Draf tersebut menghindari penggunaan uang APBN untuk penyehatan bank. Ini draf yang sebenarnya tidak buruk namun arti lain yang tersirat adalah menjadikan dana LPS dan dana dari lender of resort Bank Indonesia menjadi satu-satunya harapan penyelamatan bank sistemik.

Hal ini semacam pelemparan tanggungjawab dari eksekutif pemerintah kepada Bank Indonesia dan LPS. Artinya manakala terjadi bank gagal sistemik, neraca keuangan BI dan LPS yang akan tergerus sementara APBN akan terhindarkan.

Logika menjadikan BI, LPS dan OJK yang bertanggungjawab adalah mengingatkan sistem ekonomi zaman orde baru dimana BI seringkali menjadi sapi perah untuk kepentingan penguasa yang akhirnya terjadi tindakan tidak prudent dalam penggunaan uang BI yang akhirnya menyeret Indonesia ke krisis ekonomi 1997/1998.

Rekomendasi Perbaikan RUU PPSK


Upaya diam-diam mengubah rezim perekonomian tanpa pelibatan partisipasi rakyat melalui RUU PPSK harus dihindari. Penguatan kewenangan KSSK dengan ketua Menteri Keuangan perlu diwaspadai karena sebenarnya Menteri Keuangan adalah bagian alat politik pemerintah yang selalu melihatnya siklus 5 tahunan dan seringkali abai melihat keberlanjutan perekonomian di masa depan.

Oleh karena itu, niat penguatan dan pengembangan sistem keuangan jangan disusupi niat power syndrom (penguatan otoritas) eksekutif dengan mengurangi kewenangan institusi lain seperti BI dan OJK. Penanganan krisis jangan diartikan pelimpahan kewenangan penuh kepada eksekutif sehingga eksekutif menjadi abuse of power dalam penanganan krisis ekonomi.

Bila KSSK menjadi final decision penanganan krisis maka KSSK harus dilengkapi dewan pengawasan struktural yang kuat dibawah DPR RI. Saat ini tidak ada dewan pengawasan dalam KSSK, DPR RI hanya dilaporkan hasilnya saja tanpa disertai data pembanding dari struktur pengawasan lain diluar Menteri Keuangan, BI dan OJK.

LPS dalam RUU PPSK juga memiliki penguatan kewenangan termasuk menentukan apakah bank gagal dapat diselematkan menggunakan dana LPS. Sementara kelembagaan LPS masih dipertahankan    dibawah Pemerintah. Penguatan kelembagaan LPS juga perlu disertai penguatan kelembagaan yang tidak lagi dibawah pemerintah namun menjadi badan khusus diluar pemerintahan dimana LPS dan OJK perlu memiliki lembaga pengawas independen yang melaporkan kepada DPR RI.

RUU PPSK juga harus menjamin shadow banking dan borderless ilegal financing dieliminasi. Besarnya peredaran uang digital saat ini tidak memiliki pegging dan underlying yang memadai. Manakala uang digital tidak terkendali pada akhirnya akan juga merusak stabilitas sistem keuangan yang ada.

Jangan sampai ada lembaga keuangan digital menjadi too big too fail dan tidak memiliki regulasi yang baik. Perilaku peer landing institutions yang lintas batas negara belum memiliki regulasi yang memadai.

Terakhir, draf RUU PPSK seharusnya tidak melemahkan independensi atas nama stabilitas sistem keuangan. Bank Indonesia dan OJK harus dijaga independensi jangan sampai pengaruh eksekutif terlalu besar yang akhirnya merabunkan kepentingan jangka panjang stabilitas keuangan demi memuaskan syahwat jangka pendek dari eksekutif pemerintahan yaitu menang pemilu 5 tahunan. rmol news logo article

Penulis adalah pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Co-Founder Narasi Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA