Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perkosa di Luwu Timur, Ujian Buat Polri

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/djono-w-oesman-5'>DJONO W OESMAN</a>
OLEH: DJONO W OESMAN
  • Minggu, 10 Oktober 2021, 20:59 WIB
Perkosa di Luwu Timur, Ujian Buat Polri
Ilustrasi/Net
"BERTUBI-tubi" Polres Luwu Timur disorot. Akibat stop penyidikan dugaan perkosaan SA (43) terhadap tiga anak kandung, 2019. Mulai Kantor Staf Presiden, Menteri PPPA, Menteri PAN RB, Ketua Komisi III DPR, Gubernur Sulawesi Selatan, minta penyidikan ulang.

Sangat jarang, perkara hukum disorot bertubi-tubi seperti kasus ini. Kasus sudah terbenam dua tahun. Sudah SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) alias stop, minta disidik ulang.

Sehingga Polri bereaksi. Badan Reserse Kriminal Umum (Bareskrimum) Polri mengirim tim asistensi ke Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Deskripsi Bertubi-tubi
Sekadar ilustrasi, perkosaan terhadap anak, dianggap pemerintah sebagai kejahatan sangat serius.

7 Desember 2020 Presiden RI, Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Inti PP tersebut: Pemerkosa anak harus (atas nama hukum) dikebiri kimia. Maka, kasus di Luwu Timur itu meledak.

1) Kantor Staf Presiden

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan tertulis kepada pers, Jumat (8/10/21) menyatakan:

Kantor Staf Presiden berharap, Polri membuka kembali proses penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan seorang ayah terhadap tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

KSP menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya tindak pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dialami oleh tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun tersebut.

Jaleswari: "Walaupun kasus tersebut (di Luwu Timur) telah berlangsung pada tahun 2019, dan penyelidikan telah dihentikan oleh Polres, KSP berharap agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut."

Dilanjut: "Peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual anak."

Jaleswari menggambarkan, dalam rapat terbatas tentang Penanganan Kasus Kekerasan kepada Anak, 9 Januari 2020 Presiden Jokowi memberi arahan, agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya.

Jaleswari: "Presiden Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera. Terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak."

2) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam keterangan tertulis kepada pers, Sabtu (9/10) menyatakan:

"Menanggapi polemik penanganan kasus yang sedang viral yang terjadi di Luwu Timur, Sulsel, tentunya saya menyampaikan keprihatinan yang mendalam yang menimpa 3 anak korban yang mengalami kekerasan seksual."

Bintang menyebut, sudah mengambil tindakan untuk berkoordinasi dengan dinas di daerah, begitu kasus ini mencuat. Dia memastikan juga telah menurunkan tim untuk melakukan asesmen lanjutan berkaitan dengan perbedaan hasil visum terhadap ketiga korban anak.

Bintang: "Ke depannya kami mengajak semua pihak yang terkait, termasuk para pendamping korban, untuk terus berupaya mengumpulkan fakta-fakta hukum yang dapat dijadikan alat bukti sehingga kepolisian dapat membuka kembali kasus ini."

Dilanjut: "Kami mengharapkan tindak tegas aparat penegak hukum kepada pelaku, siapa pun pelakunya, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memberikan efek jera kepada pelaku."

3) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB)

Kasus ini dikonfirmasi wartawan kepada Menpan RB, Tjahjo Kumolo, sebab terduga pelaku pemerkosa, SA adalah ASN (Aparatur Sipil Negara). Bekerja sebagai staf di Inspektorat Pemerintah Kabupaten Luwu Timur.

Menpan RB, Tjahjo Kumolo kepada wartawan, Jumat (8/10) menyatakan, ASN harus diproses hukum apabila terbukti melakukan kekerasan seksual.

Tjahjo: "Apa pun, siapa pun, yang melakukan kekerasan dan perkosaan harus diproses hukum. Bisa diberhentikan tidak hormat."

Dilanjut: "Yang berwenang kepolisian dan belum ada laporan ke Kemenpan RB."

4) Komisi III DPR RI

Ketua Komisi III DPR RI, Herman Herry dalam keterangan pers, Sabtu (9/10/21) menyatakan:

"Saya berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur ini jika ditemukan bukti baru. Lakukan penyelidikan menyeluruh sesuai prosedur yang benar dan ungkap kasus ini dengan sebenar-benarnya."

Dilanjut: "Kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap anak, harus diselesaikan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Pastikan pelakunya mendapat hukuman, namun di saat yang sama juga lindungi identitas korban serta anak dan utamakan kepentingan terbaik mereka."

5) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

Plt Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman kepada Kantor Berita Antara, diberitakan Minggu (10/10/21) mengatakan: Jika benar adanya, kasus tersebut di luar batas, dan tidak rasional, sehingga sepatutnya menjadi perhatian serius.

Andi Sudirman: "Kita beri kesempatan kepada teman-teman APH (aparat penegak hukum) dan tim untuk bekerja bersama dan selidiki. Perlu melakukan penyelidikan secara menyeluruh sesuai prosedur dan ungkap kasus ini dengan sebenar-benarnya."

Ia mengaku telah meminta kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (P3A Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk berkoordinasi dengan Pemkab Luwu Timur. Dinas P3A juga diminta memberikan pendampingan kepada keluarga korban.

Tim Bareskrim Polri Terbang ke Luwu Timur

Akhirnya, Tim Bareskrimum dari Jakarta, sudah terbang ke sana, Sabtu (9/10/21). Untuk mendampingi Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan, menyelidiki kasus ini. Kasusnya jadi kelihatan sangat spesial.

Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono dalam keterangan kepada pers, Sabtu, 9 Oktober 2021 menyatakan: "Hari ini tim asistensi Wasidik Bareskrim yang dipimpin seorang Kombes dan tim berangkat ke Polda Sulsel."

Argo: Tim asistensi akan bekerja profesional. Bila menemukan bukti baru, polisi akan membuka kembali penyelidikan kasus ini.

Konstruksi Kasus, Ungkap Vagina dan Dubur

Kasus ini terjadi di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada Oktober 2019. Lokasi sekitar 12 jam perjalanan mobil dari Makassar, Sulawsi Selatan.

Terduga pelaku, SA sudah bercerai dengan isteri, RA. Terpisah rumah. Empat anak mereka (3 perempua, 1 lelaki) ikut ibu. Tapi, SA sering menjemput anak-anaknya, membawanya tinggal di rumah.

Kasus ini sudah heboh sejak 2019 di Sulawesi Selatan. Heboh - tenggelam. Setelah heboh, tenggelam, heboh lagi, tenggelam lagi.

Heboh membesar, sejak dimuat di media online Project Multatuli, Jumat 8 Oktober 2021. Karena di situ dimuat rinci. Sampai mengungkap kondidi vagina dan dubur korban. Tiga anak wanita usia 4, 8 dan 10 tahun.

Dari situ kemudian muncul tagar #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Kurawal Foundation. Tagar itu menggerogoti kredibilitas Polri.

Dikutip dari Project Multatuli, Jumat (8/10/21), kronologi kasus (diringkas), begini:

2019, RA membiarkan empat anaknya, sering dijemput dari sekolah oleh SA. Karena, SA adalah ayah kandung anak-anak itu, walau SA-RA sudah bercerai. Anak-anak dijemput, dibawa tinggal bersama SA.

Sore, awal Oktober 2019, RA memandikan salah satu anak wanita. RA melihat, ada lebam di paha anaknya. Lalu dia bertanya ke anak, dijawab si anak, itu akibat jatuh saat main.

Malam, masih di awal Oktober 2019, RA mencuci piring setelah makan bersama anak-anak. Mendadak, anak bungsu (wanita) mengeluh sakit pada bagian vagina.

RA segera memeluk si bungsu. Tapi, ia kurang begitu jelas mendengar keluhan si bungsu. Lalu dia bertanya kepada anak yang lebih besar:

“Nak, apa dibilang adek tadi?”

“Tidak ji, Mamak,” jawab anak sulung (wanita).

“Mamak sayang sekali. Sayang sekali. Kalau ada masalah, ceritakan sama Mamak. Mamak jadi penolong dan pelindung ta. Masak sama Mamak tidak berani?”

Anak-anak RA terdiam. RA masih penasaran. Mendesak begini:

“Bilang, Nak. Kalau anak ada sakit, Mamak tidak tahu. Sakit kah, Nak?”

Si sulung terdiam lama. Kemudian menangis. RA kaget, panik. Si sulung, dengan suara pelan seperti tercekik, berkata:

“Mamak… Ayah na anu pepe’ ku.” (Ayah melakukan sesuatu ke vagina saya).

RA kaget. Panik. Menangis. Merebahkan badan ke sandaran sofa, lalu berkata:

“Jangan main-main, Nak. Jangan ki main-main.”

“Iye, Mamak. Iye.”

Situasi kemudian hening. Semua terdiam. RA kembali bertanya, ke semua anak:

“Benarkah ini, Nak?”

“Iya, Mamak. Saya juga dianu pantatku,” kata anak yang lain lagi.

“Saya juga Mamak,” jawab anak bungsu.

Spontan, RA meraih ketiga anak wanita. Merangkul. Mereka menangis bersama.

Tak lama, RA membuka semua pakaian anak-anak wanita itu. Memeriksa dengan teliti. Tangis RA menjadi-jadi. Malam itu dia tak bisa tidur.

Esok pagi, RA membawa ketiga anak wanita, pergi ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur.

Kepala Bidang Pusat Pelayanan, Firawati, menerima RA di ruangan kecil bersekat. Sementara ketiga anaknyi berada di fasilitas permainan di unit itu.

RA menceritakan kepada Firawati, kronologi tersebut. Firawati kepada RA mengaku kenal baik dengan SA (mantan suami RA). Firawati-SA teman sesama ASN di kabupaten itu.

Firawati langsung menelepon SA, memberitahu, bahwa RA dan tiga anak-anak melaporkan semua detil. Cepat, SA tiba-tiba sudah tiba di kantor Pelayanan itu. Ketemu bekas isteri, dan tiga anak wanitanya.

Firawati ditanya wartawan, mengapa mempertemukan SA dengan pelapor? Dijawab: “Kan, kami teman sesama ASN. Mau dikonfirmasi."

Firawati: “Tahu, tidak? Semua anaknya berburu ke bapaknya. Justru mamaknya ditinggalkan. Bahkan anak-anak agak berat meninggalkan bapaknya waktu dipanggil sama Mamaknya."

Sebaliknya, RA kepada wartawan mengatakan: “Setelah dia (Firawati) menelepon mantan suami saya (SA), dia bilang ke saya, bahwa saya mengajari anak-anak memfitnah ayahnya.”

SA, begitu tiba di kantor Pelayanan itu, langsung mendamprat eks isterinya, RA. Sehingga terjadi adu mulut keras. Bantah-membantah.

Firawati lalu menyuruh RA pulang bersama anak-anak. Meminta, agar mereka datang ke situ lagi besok. Karena saat itu situasi kacau.

Esoknya RA dan tiga anak, datang ke situ lagi. Tiga anak diperiksa psikologis oleh seorang petugas dari Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Hasilnya: Ketiga anak RA “tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma” dan menyebut “hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis” serta “keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat.”

9 Oktober 2019 RA mendatangi Mapolres Luwu Timur, melapor. RA mengajak serta Firawati, tapi Firawati menolak. Juga, tidak mewakilkan petugas lain. Jadilah RA melapor bersama tiga anak.

Polisi menerima laporan RA. Seorang Polwan mengantarkan ketiga anaknyi ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan. Kemudian, tiga anak dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi tanpa didampingi siapa pun, termasuk ibu mereka.

14 Oktober 2019, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.

RA mendatangi kantor Polres, menanyakan hasil visum ketiga anaknyi. Ia juga sekaligus memberikan bukti hukum. Satu celana dalam berwarna pink milik anak yang terdapat bercak darah.

18 Oktober 2019, polisi mengabarkan hasil visum dari Puskesmas dan menurut seorang penyidik “tidak ditemukan apa-apa.” Pada hari yang sama, RA diinterogasi penyidik tanpa didampingi penasihat hukum.

RA ke wartawan: “Saya hanya ditanya masalah sehari-hari. Terus, penyidik bilang nanti dilanjutkan. Dia yang akan isi bagian lainnya karena alasan akan salat Jumat."

Dilanjut: “Saya disuruh tanda tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang, nanti saya tanda tangan setelah ini selesai. Tapi, penyidik memaksa saya. Dan saya ikut tanda tangan. Karena sudah siang dan saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak.”

“Nah, saya pikir sekarang, saya jadi bego kenapa saya tanda tangan,” kata Lydia.

28 Oktober 2019, salah seorang anak RA mengeluhkan sakit pada bagian dubur. RA memotret beberapa luka itu.

1 November 2019, RA membawa satu celana dalam yang terdapat cairan hijau dan satu celana legging yang terdapat bercak darah ke Polres Luwu Timur.

Sehari kemudian, penyidik kepolisian menghubungi RA, mengatakan, akan ada pemeriksaan di Biddokkes Polda Sulsel pada 6 November 2019.

Saat itu RA menerima ancaman dari mantan suaminya, terduga pemerkosa. Ancamannya terduga pelaku akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anak mereka jika RA meneruskan proses pemeriksaan ke Makassar.

RA tak peduli ancaman mantan suami. Dia bersama ketiga anak, ditemani salah satu saudara, pergi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Di sini RA dan ketiga anak dibawa ke ruang tunggu klinik jiwa. Saudaranya yang mengantar ikut diperiksa.

Di dalam ruangan pemeriksaan ada dua dokter, penyidik, dan seorang staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur.

RA dan saudaranyi, diperiksa kondisi kesehatan mental keluarga. Saudaranyi ditanya soal kondisi psikologis RA sejak kecil dan sewaktu menikah, apakah ada anggota keluarga memiliki riwayat gangguan jiwa?

11 November 2019 hasil pemeriksaan psikiatri, diberikan: RA punya “gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap.”     

15 November 2019, terbit surat visum fisik ketiga anak oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak RA.

19 Desember 2019 Polres Luwu Timur menyatakan, menghentikan penyidikan kasus tersebut. Karena, tidak terbukti.

25 Desember 2019, RA menyetir mobil, bersama ketiga anak berangkat dari Luwu Timur ke Kota Makassar. RA mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Makassar.

Lembaga tersebut mendampingi psikologis tiga naka. RA dianjurkan melapor ke LBH Makassar. RA mendatangi LBH Makassar. Sejak itu perkara tersebut dikawal LBH Makassar, selaku kuasa hukum RA.

26 Desember 2019, LBH Makassar bersama RA mendatangi Polda Sulawesi Selatan. Meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur. Dalam surat itu dilampirkan foto-foto luka pada anus dan vagina ketiga anak. Laporan diterima Polda.

10 dan 13 Februari 2020, tim hukum melayangkan surat Polda Sulawesi Selatan,  meminta gelar perkara, tapi tak ada jawaban.

19 Februari 2020, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol Ibrahim Tompo menyampaikan ke pers, Polda telah “melaksanakan gelar perkara internal” dan penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah, dan sesuai prosedur.

5 Maret 2020 Polda Sulawesi Selatan mengabarkan ke LBH Makassar jika gelar perkara khusus akan dilakukan pada 6 Maret 2020, pukul 13.00, di kantor Polda Sulawesi Selatan.

Kabar serba mendadak itu membuat penasihat hukum serba tidak siap.

“Waktunya sangat singkat untuk persiapan,” kata Rezky Pratiwi dari LBH Makassar. “Psikolog anak yang mendampingi korban sejak awal tidak dapat hadir karena benturan kegiatan.”

14 April 2020, hasil gelar perkara itu menyebut Polda Sulsel merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan kasus itu.

Tanggap Terduga Pelaku Perkosaan

SA, diwawancarai wartawan di Makassar pada Jumat (8/10/21). Ia membantah memperkosa anak-anaknya. Katanya: “Mamanya (RA), mantan istri saya itu, memaksakan kehendak."

SA, menegaskan tidak ada yang melindunginya dalam kasus itu. “Secara logika, saya ini siapa memengaruhi (kasus) ini. Sampai tuduhannya bisa memengaruhi penyidik dan aparat hukum,” ucapnya.

Dilanjut: “Bupati, ketua DPRD saja ditangkap polisi (jika melanggar hukum), apalagi semacam saya ini, kalau memang melakukan kesalahan pasti ditangkap."

SA mengaku, sejak kasus itu heboh, dua tahun lalu, ia tidak pernah menjemput anak-anaknya lagi.


SA: “Takutnya saya dilaporkan dengan masalah baru lagi. Itu saya jaga. Karena tahu karakter mamanya (RA). Jadi, saya tidak mau. Cukup saya kirimkan uang makannya tiap bulan, itu rutin."

Kasus ini kelihatan pelik. Meskipun sebenarnya sederhana. Pembaca bisa menyimpulkan, mana yang benar.

Tapi, polisi kini sedang mendalami lagi. Entah, apa yang terjadi selanjutnya. Kita tunggu saja.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA