Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Palu Paku

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dahlan-iskan-5'>DAHLAN ISKAN</a>
OLEH: DAHLAN ISKAN
  • Minggu, 22 Agustus 2021, 05:10 WIB
Palu Paku
Ilustrasi/Net
"ORANG yang memiliki palu akan menganggap orang lain hanya seperti paku".

Itulah Amerika. Yang merasa paling kuat sedunia. Yang bisa menghancurkan siapa saja dengan mudah. Lewat kehebatan senjatanya.

Palu itu pula yang membuat Iraq, Libya, Syria, dan kini Afghanistan hanya ibarat paku. Hal yang sama dilakukan si pemegang palu di Amerika Tengah.

Yang mengucapkan semua itu bukan saya. Tapi seorang ahli dari Amerika sendiri: Prof Jeffrey Sachs. Ia ahli pengentasan kemiskinan dari Columbia University, New York. Ia mengucapkan semua itu tiga hari lalu. Yakni tiga hari setelah Afghanistan jatuh sepenuhnya ke tangan Taliban.

Setelah ini Amerika digambarkan tidak akan peduli lagi pada Afghanistan. Seperti juga tidak peduli lagi pada Iraq, Libya, maupun Syria –setelah mereka hancur.

Jeffrey, si penulis buku best seller dunia "The End of Poverty", menggambarkan betapa Afghanistan semakin miskin setelah 20 tahun dalam penaklukan Amerika.

Kemiskinan itulah yang membuat mengapa begitu mudah Taliban kembali menguasai Afghanistan. Terutama setelah diberi tahu secara resmi oleh Amerika sendiri bahwa Amerika segera menarik seluruh tentaranya.

Tanggal penarikannya pun sudah dipastikan: 11 September 2021. Yang menetapkan jadwal itu Presiden Donald Trump. Yang oleh Presiden Joe Biden dimajukan menjadi 31 Agustus 2021.

Tapi mengapa tentara Afghanistan –yang sudah 20 tahun dilatih dan diberi senjata sangat modern oleh Amerika– begitu mudah menyerah? Tanpa perlawanan sama sekali seperti itu? Pun satu tembakan saja tidak?

Ternyata kian dekat ke tanggal penarikan tentara Amerika itu keadaan memang kian tidak menentu. Termasuk perekonomiannya. Media di Pakistan bahkan mengungkapkan sudah dua bulan gaji pegawai pemerintah belum dibayarkan. Termasuk gaji tentara. Maka mereka pun ibarat sepeda motor yang kehabisan bensin.

Kondisi ekonomi yang begitu buruk itulah yang dibicarakan oleh delegasi resmi Taliban saat berkunjung ke Tiongkok. Yakni satu minggu sebelum Taliban menguasai sepenuhnya Afghanistan.

Sikap Tiongkok pun kian jelas. Saat negara-negara lain kini menekan Afghanistan, Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang berbeda. "Seharusnya semua negara sekarang membantu Afghanistan. Bukan menekan," ujar jurubicara Kemenlu Tiongkok dua hari lalu.

Komentar Prof Jeffrey Sachs tadi pun dianggap pro Tiongkok. Komentar tadi diucapkan saat Prof Jeffrey diwawancarai CGTN TV. Itulah jaringan TV kabel berbahasa Inggris milik Tiongkok. Oleh Amerika, CGTN dianggap bagian dari corong propaganda komunis Tiongkok.

CGTN TV diizinkan punya jaringan di Amerika. Yakni sebagai imbal diizinkannya Bloomberg punya jaringan di Tiongkok. Ternyata CGTN juga sudah punya channel di Afghanistan. Namanya Oqaab Channel 31.

Kemiskinan itulah –bercampur dengan sikap beragama yang puritan– yang membahayakan. Apalagi kalau tidak ada harapan lagi dari mana dapat biaya untuk APBN mereka. Afghanistan dikelilingi negara miskin. Tidak punya laut. Dari mana Afghanistan bisa mendapat daya untuk keluar dari kemiskinan.

Pada 2015, Prof Jeffrey pernah meramalkan bahwa dunia akan bisa menghapuskan kemiskinan ekstrem di tahun 2025.

Kelihatannya ramalan itu meleset. Kecuali di Tiongkok.

Prof Jeffrey pernah merumuskan konsep pengentasan kemiskinan lewat bantuan pembangunan yang terencana. "Begitu negara miskin itu bisa mencapai anak tangga terbawa, mereka akan bisa naik tangga sendiri," katanya.

Memang, katanya, begitu banyak hambatan untuk mengentas kemiskinan. Termasuk di dalamnya budaya korupsi.

Prof Sachs adalah ahli yang ikut merumuskan program PBB yang terkenal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia: MDGs –Millennium Development Goals.

Menurut Jeffrey negara maju sebenarnya mampu mengentas kemiskinan ekstrem di seluruh dunia. Yakni dengan hanya menyisihkan 0,7 persen kekayaan mereka.

Tapi negara kaya adalah para pemilik palu. Dengan sikap kebatinan mereka itu tadi: negara lain hanyalah seulir paku.

Sudah seminggu Taliban memegang kekuasaan. Tapi belum juga bisa menyusun pemerintahan. Saya sangat khawatir jalur komando pusat-daerah putus. Daerah dan kelompok pun bergerak sendiri-sendiri.

Sampai 31 Agustus mungkin masih tetap aman. Amerika masih terus bisa melakukan koordinasi dengan para pimpinan Taliban.

Koordinasi Amerika-Taliban itu diperlukan sampai seluruh pasukan dan warga Amerika meninggalkan Afghanistan.

Negara seperti Qatar dan Uni Emirat Arab sudah menyediakan diri sebagai tempat transit. Mereka diterbangkan dulu selama 2 jam ke tempat transit tersebut.

Sampai semua keluar dari Afghanistan.

Bagaimana setelah itu? rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA