Begitulah penilaian epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (3/5).
"Pengabaian terhadap prosedur untuk menjaga kualitas suatu intervensi, mau itu testing, tracing, isolasi, karantina, vaksinasi, adalah adanya
quality control. Itu yang selama ini kita lalai," ujar Dicky Budiman.
"Kenapa lalai? Karena pertama adanya kasus atau masalah karantina maupun kasus Rapid Test Antigen. Itu bukti adanya kelalaian," sambungnya.
Maka dari itu, Dicky Budiman menganggap dua kasus tersebut seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki fungsi monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan penanganan Covid-19.
Utamanya, yang terkait dengan testing yang dia lihat jumlahnya tidak berubah signifikan, melainkan stagnan.
"Performa testing kita masih segitu-segitu saja. Itu juga kelalaian dari fungsi monitoring evaluasi itu. Karena kita tidak melakukan itu, atau tidak menemukan kendala-kendala di lapangan, karena tidak ada monitoring evaluasi yang kuat itu," tuturnya.
"Nah, kalau itu ada maka itu dilakukan," demikian Dicky Budiman.
Hingga kini, Polisi tengah menangani kasus penggunaan Rapid Test Antigen bekas yang dilakukan oleh lima orang oknum PT Kimia farma Diagnostik yang menjadi petugas pelayanan Rapid Test Antigen di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, yang statusnya kini sudah menjadi tersangka.
Sementara itu, untuk kasus mafia karantina ditemukan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Di mana, Polisi menangkap tiga orang yang berinisial RW, S dan GC yang membantu warga negara Indonesia (WNI) inisial JD dari India untuk tidak mengikuti proses karantina selama 14 hari.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.