Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tradisi Meugang Masih Kental Di Aceh

Selasa, 13 April 2021, 08:07 WIB
Tradisi Meugang Masih Kental Di Aceh
Suasana hari meugang ketiga di Keutapang Aceh Besar/Ist
LAIN lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya.
Sepenggal bait pantun ini mencerminkan, betapa bangsa di Republik ini ini satu sama lain memiliki perbedaan suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan budaya, serta tradisinya.

Atas dasar inilah mungkin pendahulu Republik nusantara ini, memberi simbol "Bhinneka Tunggal Ika". Artinya bercerai berai penduduknya di banyak nusa, tapi bersatu dalam NKRI.

Bersatu dalam keberagaman entitas, tapi bersatu di bawah payung berlambang burung Garuda.

Apa yang menjadi tradisi tiga hari belakangan di Tanah Rencong ini sungguh beda dengan provinsi lain di Nusantara ini.

Aktivitas warganya tiga hari belakangan sibuk dengan tradisi hari meugang (Uroe Makmeugang). Orang Sunda menyebutnya hari munggahan (makan enak bersama di atas hamparan daun pisang).

Uroe Makmeugang bagi orang Aceh boleh disebut hari khusus "pestapora santapan daging" secara besar-besaran. Tradisi ini seperti perhelaan ritual yang sangat mengental dan dianggap tradisi sakral dalam kehidupan sosial budaya warga provinsi bagian utara di ujung barat Nusantara ini.

Sakral artinya suatu tradisi seperti sangat bersahaja dalam pesta santapan daging multirasa. Padahal kari Aceh resep nenek monyangnya ini, juga bagian daripada santapan populer keseharian warga di sini. Begitupun, terkesan suasana hari meugang ini tak boleh dilewati setiap menjelang bulan suci Ramadhan tiba.

Suasana tiga hari menyambut bulan suci lagi mulia, bulan agung dan bulan yang lebih baik dari sebulan ini, ditamsilkan sebagai hari dan bulan terbaik di jagad ini.

Sebagai bagian kekentalannya, orang Aceh menyebutnya: "Uroe got buleuen got, beumeutume pajoh leupek Mak peugot". Maksudnya pada suasana hari baik bulan baik seperti ini setiap orang harus bisa mencicipi makanan dan gulai khas hasil buatan tangan ibunya sendiri.

Andai dalam suasana menjelang Ramadhan seperti ini, terdapat anak, menantu, dan cucu yang tidak pulang menyinggahi rumah ortunya, ini dianggap sudah tak beradat, walau statusnya sudah menjadi pejabat sekalipun.

Tak heran, pada masa suasana seperti ini warga Aceh di luar provinsi maupun di luar kabupaten berbondong-bondong mendatangi para ortunya di tanah kelahiran. Hari sakral ini diadatkan sebagai hari sungkeman menyongsong tibanya masa puasa satu bulan penuh.

Kita tahu, di Republik kita ini hanya mengenal adanya tradisi mudik pada setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri saja. Namun berbeda sangat di Aceh.

Musim mudiknya justru berlangsung dua kali. Menjelang puasa dan menjelang Idul Fitri, saban tahunnya. Kiranya jika disensus pekan ini, jumlah warga Aceh dipastikan bertambah.

Dalam suasana kebatinan seperti ini, puncaknya adalah meugang (makan daging) bersama sanak keluarga. Suasana ini memberikan simbol keakraban dan riang gembira dan saling bercanda. Anak, cucu, dan menantu dilarang saling membentak dan mencaki maki.

Pada suasana ini, kucing dan anjing pun kebagian bongkahan daging. Tulang besar yang kurang bermanfaat diletakkan pada akar pohon sekitarnya sehingga menjadi santapan keong dan serangga.

Dalam kehidupan orang Aceh, pada Hari Meugang dan bulan puasa dilarang keras melakukan proses perceraian pasangan suami isteri.

Dalam suasana meugang, seperti daging setumpuk lebih bernilai daripada sejuta uang. Artinya, jika anaknya tidak pulang untuk mencium tangan orang tuanya, namun hanya mengirim satu tentengan tumpukan dagingnya saja, maka anaknya itu dianggap melanggar adat dan melanggar adab sekaligus.

Begitu sakralnya ritual meugang di Aceh sudah terpatri dan mendarah daging dalam jiwanya secara turun temurun.

Pada era Aceh sebagai Negara Kerajaan Darussalam tempo doeloe, maka sang rajalah yang menalangi kebutuhan daging meugang. Kaum fakir miskin, orang sakit, cacat dan tunanetra, hanya menanti kiriman dari Daulat Tuwanku Raja.

Sayangnya penguasa dan orang kaya sekarang ini sudah tak berhati mulia menyantuni hamba laeh (tak mampu) seperti itu.

Kaum duafa sekarang ini terpaksa berjibaku mencari setumpuk daging meugang, jika tidak ingin muncul "peperangan" di rumah.

Bagi pria Aceh, jika tak mampu membawa pulang setumpuk daging walau harus berutang ke sana ke mari untuk mendapatkannya, maka akan nerasa hina dinalah dia di tengah kehidupan sosialnya.

Sebaliknya jika seorang pria berstatus pengantin baru, bagi yang mampu, harus menggotong kepala kerbau atau sapi sebagai persembahannya. rmol news logo article

Adnan NS

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA