Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Rizal Ramli?

Kamis, 01 April 2021, 23:08 WIB
Mengapa Rizal Ramli?
Rizal Ramli dan Megawati Soekarnoputri/Net
BUNTUT dari tulisan Penulis di Kantor Berita Politik RMOL pada 31 Maret 2021 yang memuat keyakinan bahwa Ibu Megawati akan mengajukan Rizal Ramli sebagai capres 2024 dari PDI Perjuangan menuai kontra dari sejumlah kerabat.

Sepertinya mereka mempertanyakan kewarasan Penulis mengajukan nama RR sang tokoh kontroversial itu.

Dari sudut kesukuan, menurut mereka, RR bukan berdarah Jawa, meski istri pertama beliau almarhumah Herawati Moelyono adalah seorang putri Jawa. Sepengetahuan Penulis yang sedikit tentang beliau, RR berdarah Minang tulen. Meski orang Minang menempati suku terbesar ketiga, jumlahnya jauh kalah dari suku Sunda yang berada di posisi kedua.

Namun, Majalah Tempo edisi khusus tahun 2000 mencatat, 6 dari 10 tokoh penting Indonesia pada abad ke-20 merupakan orang Minang. RR tentu termasuk tokoh penting itu.

Walau penulis mengajukan nama RR, fokus Penulis mengarah ke Ibu Megawati. Sama seperti pengetahuan Penulis perihal RR, hanya sedikit pengetahuan Penulis mengenai Presiden RI V ini. Meski sering bersua hingga 2009 sejak beliau masuk PDI 1986, tidak satu kali pun Penulis pernah berbincang dengan beliau barang sejenak.  

Beda dengan almarhum Bapak Taufik Kiemas (TK). Sekitar sebulan sebelum almarhum menjadi anggota DPR RI pada 1987, Penulis pernah berbincang berdua selama sekira dua jam di Bogor saat almarhum bertamu ke rumah kakak almarhum Bapak Aberson Marle Sihaloho (AMS).

Penulis beruntung, almarhum AMS membuat Penulis mengenal lebih dekat Ibu Megawati, bukan semata lantaran beliau anak biologis Bung Karno (BK), melainkan menyatunya anak biologis dan ideologis Sang Proklamator itu dalam diri beliau. Penulis pertama kali mengakui kebenaran cerita AMS soal menyatunya anak biologis dan ideologis dalam diri Ibu Mega saat KLB PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya 2-6 Desember 1993.

Karena AMS sering mengulang-ulang kisah heroik KLB di atas, ini membuat Penulis hapal betul aneka peristiwa yang terjadi sebelum hingga sesudah KLB itu. Itu pula sebabnya sampai Penulis “memberanikan diri” menyunting Wikipedia yang semula menyebutkan Ibu Mega “memenangkan” kursi Ketua Umum PDI secara aklamasi.

Seperti kita ketahui, Ibu  Mega kala itu terpilih dengan suara terbanyak (meraih 256 dari 305 suara cabang) sebagai Ketua Umum PDI mengalahkan Budi Hardjono.

Sejujurnya, ada banyak kisah AMS mengenai sosok nasionalis Ibu Megawati yang begitu kuat yang lahir dari menyatunya darah biologis dan ideologis BK dalam dirinya. Pada 2009, di depan Pak Panda Nababan dan Penulis, Pak TK menyimpulkan sosok Ibu Mega dengan satu kalimat, “Tidak mungkin orang Batak bisa demikian banyak di sekitar Ibu, bila Ibu bukan anak biologis dan ideologis BK".
 
Pak TK benar. Sebagai contoh, di tangan Ibu Mega pengusungan sejumlah calon kepala daerah tidak lagi dengan memakai alasan primordial. Pada 2008, PDIP mengusung Mayjen TNI Purn. Tri Tamtomo dan Benny Pasaribu untuk Sumut. Di Sumut ini 10 tahun kemudian (2018) Ibu Mega menunjuk Djarot Saiful Hidayat (DSH) dan Sihar Sitorus ikut dalam Pilgub.  

Dengan menggandeng Partai Gerindra, mungkin yang fenomenal itu penunjukan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) untuk DKI 2012. Lebih fenomenal lagi, BTP dan DSH untuk DKI 5 tahun kemudian (2017).

Menurut hemat Penulis, salah satu keunggulan Ibu Mega adalah kalkulasinya yang jitu. Ambil contoh pemilukada DKI 2012. Seorang Ketua DPP PDIP mengatakan kepada Penulis bahwa untuk putaran pertama petinggi PDIP dan Gerindra hanya berharap keduanya lolos meski di urutan kedua sehingga memiliki kesempatan memenangkannya di putaran kedua. Kenyataannya, pada putaran pertama pasangan Jokowi-BTP meraih 42,60 persen dan Foke-Nara 34,05 persen dan di putaran kedua 53,82 persen yang membuat Jokowi-BTP menang.

Bagi Penulis, kalkulasi yang jitu ini berlaku untuk pemilukada DKI 2017 dan Sumut 2018 bila tanpa politik identitas. Kalkulasi yang luar biasa jitu itu tampak jelas pada Pilpres 2014 meski saat itu pasangan Jokowi-JK diusung oleh partai-partai di Senayan yang kursinya kurang dari 37 persen.

Kembali ke soal pengajuan RR sebagai capres. Penulis menyadari betul, karena ini menyangkut calon RI 1, pengajuan RR tidak hanya menimbulkan pro-kontra di internal pengurus DPP PDIP (dan di tengah loyalis dan simpatisan PDIP), juga di tengah percaturan politik global. Mengingat pengetahuan Penulis tentang yang terakhir ini minim, Penulis tidak berani berspekulasi pengaruh konstelasi (baca: intervensi) politik global pada elektabilitas RR.

Penulis meyakini, ada intervensi tangan-tangan asing dalam perhelatan pemilu presiden (Pilpres). Keyakinan ini bukan Penulis dasarkan pada perhelatan Pilpres 5 tahun yang lalu di AS. Penulis harus mengakui, Penulis terinspirasi soal dugaan keterlibatan asing itu setelah Penulis membaca tesis ketergantungan yang dikemukakan sejumlah ilmuwan di pertengahan abad 20 semacam Raul Prebisch, Andre Gunder Frank, Samir Amin, dan Paul Baran dan di awal abad ke-21 dari tulisan John Perkins yang seakan mengonfirmasi kebenaran tesis ketergantungan dari ilmuwan yang penulis sebutkan lebih dulu sebelum Perkins itu.  

Bahkan, terang-terangan Perkins menyebutkan soal ini dalam bukunya yang pertama (2004) “Confessions of An Economic Hit Man”.

Hipotesis Penulis dari sejumlah bacaan di atas, “BK bisa jatuh usai John F. Kennedy sahabatnya meninggal akibat ditembak di Dallas 22 November 1963.”

Hipotesis ini tidak bisa disebut sangat spekulatif. Melalui tulisan Perkins kita mengetahui, proses penjatuhan BK mulai semakin digencarkan usai beliau menentukan ulang pembagian keuntungan kita dengan perusahaan asing dari tambang minyak di masa Kennedy masih berkuasa.

Pertanyaan terakhir, sesuai dengan judul tulisan ini, kalau begitu “Mengapa Rizal Ramli?” Kita harus ingat, sebagai ekonom lulusan Universitas Boston, RR juga memiliki jaringan internasional. RR adalah salah satu ekonom Indonesia yang dipercaya menjadi penasihat ekonomi PBB bersama ekonom internasional lainnya seperti peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen dari Universitas Harvard, peraih Nobel lainnya, Sir James Mirrlees Alexander dari Inggris dan Rajendra K. Pachuri dari Universitas Yale, Helen Hunt dari UNDP, Francis Stewart dari Universitas Oxford, Gustave Ranis dari Universitas Yale, Patrick Guillaumont dari Prancis, Nora Lustig dari Argentina, dan Buarque dari Brasil.  

Jangan lupa, kehadiran MRT yang sekarang menghiasi Jakarta tidak lepas dari jalinan persahabatan RR dengan Presiden Japan International Cooperation Agency Profesor Akihiko Tanaka.  Jangan lupa pula, di dalam negeri pun RR memiliki jaringan persahabatan yang luas. Kedua jaringan yang luas bisa jadi semacam benteng sekaligus pendongkrak elektabilitas RR, dan Ibu Mega tahu itu.

Benang merah dari tulisan ini adalah: sebagai seorang Soekarno muda, yang meski hanya anak ideologis BK, melihat kekuatan di atas, Ibu Mega ingin melihat di tangan RR Indonesia yang diimpikan oleh BK menemukan arah yang benar. Bila dulu BK, dengan menjalin persahabatan dengan pemimpin-pemimpin mancanegara berhasil memimpin Indonesia memiliki arah yang benar sebagai negara berdaulat dan menginspirasi negara-negara di Asia dan Afrika merdeka dan selanjutnya membangun kedaulatannya di segala bidang, RR pun bisa.  

Sekarang, Penulis memang hanya dapat menggantungkan harapan penulis (dan mudah-mudahan juga harapan masyarakat Indonesia yang berkehendak baik) kepada Ibu Mega. rmol news logo article

Henrykus Sihaloho
Dosen Universitas Katolik Santo Thomas

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA