Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Urgensi Revisi UU ITE

Senin, 15 Maret 2021, 15:53 WIB
Urgensi Revisi UU ITE
Farih Ihdal Umam/RMOL
REVISI Undang Undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang diminta oleh Presiden Jokowi memberi angin segar bagi publik. Dimana revisi pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE tersebut dirasa tidak adil dan sangat meresahkan bagi publik, khsusnya pengguna internet atau media elektronik.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Setiap hari masyarakat Indonesia bahkan dunia menggunakan media elektronik sebagai bagian dari kehidupan. Di zaman modern, media elektronik adalah sebuah kebutuhan pokok bagi Sebagian besar manusia, dari bangun tidur sampai tidur lagi penggunaan media elektronik sangat mempengaruhi kehidupan insan manusia.
 
Terlepas dari peran media elektronik yang menjadi kebutuhan primer manusia, ada persoalan yang sangat mendasar dan kompleks di masyarakat, apakah mengkritik atau mengomentari pemerintah atau kalangan orang terpandang yang berbeda pandangan adalah sebuah penghinaan atau pencemaran nama baik?

Undang Undang 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi landasan dan Batasan untuk pengguna media elektronik supaya lebih bijak untuk menggunakan media elektronik.

Terbitnya Undang-undang tersebut diharapkan mampu mengakomodir setiap perilaku dan etika masyarakat dalam penggunaan media elektronik. Pembuatan undang- undang tersebut memiliki tujuan yang baik.

Akan tetapi, pada kenyataannya sering terjadi ketidakadilan dalam setiap pelaksanaan undang-undang tersebut. Meskipun tidak semua pasal di dalam UU ITE bermasalah.

Undang  Undang 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat 3 menyebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransaksikan dan/atau membuat dapat diaksesnya indormasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Muatan pasal dalam Undang-undang ITE tersebut menjadi persoalan bagi Sebagian besar masyarakat Indonesia. Pasal tersebut menjadi momok mengerikan yang setiap saat menyergap tanpa memandang dan mendengarkan apa yang sebenarnya diniatkan untuk mengutarakan sebuah kebenaran.

Fakta Lapangan

Media Sosial (Medsos) adalah sebuah media daring yang digunakan satu sama lain yang para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berinteraksi, berbagi dan menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pengguna medsos mengalami perkembang pesat dari tahun ke tahun. Medsos adalah panggung bagi siapapun untuk mengekspresikan apa yang sedang dialami lewat pemberitaan atau postingan.

Sebab itu, medsos menjadi hutan belantara yang siapa saja boleh masuk dan menebang apa saja yang ada didalamnya. Karena medsos bukanlah buku diary yang tidak semua orang bisa masuk dan mengintervensi apa yang sedang dialami.

Konsekuensi penggunaan medsos adalah informasi pribadi dapat diakses dan bahkan bisa saja menjadi bahan untuk obrolan, karena medsos bersifat publik. Oleh karenanya, sering terjadi problem yang berawal dari sebuah postingan di medsos.

Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi bahwa medsos merupakan ranah public yang bisa diakses bahkan dapat memicu sebuah problem. Karena, siapa saja boleh berpendapat untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda dari suatu problem.

Kebebasan berpendapat adalah salah satu unsur demokrasi yang harus dilindungi dan kebebasan berpendapat di medsos pun wajib dilindungi karena medsos adalah ranah publik yang siapa saja boleh untuk menyampaikan pendapat meskipun hal tersebut bersifat kritik.

Kritik tersebut memiliki unsur yakni, niat. Niat baik atau buruk hanya bisa nilai oleh pribadi pengguna masing-masing, sebab niat tidak bisa dimaterilkan. Pembahasan terkait unsur didalam KUHP merupakan alibi seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Didalamnya memuat sebuah kausalitas yang dapat dilihat sebagai duduk perkara.

Penafsiran Hukum

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menjadi sorotan publik khususnya pengguna media elektronik. Akibatnya partisipasi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya menjadi terhambat dan takut dengan adanya pasal tersebut.

Kebebasan berpendapat dilindungi dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 28 huruf i "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun"

Kebebasan berpendapat berdasarkan pasal tersebut diatas menjadi landasan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum atau di media elektronik. Hal tersebut menunjukkan bahwa demokrasi di dalam suatu negara ada dan berfungsi untuk keseimbangan antara masyarakat dan pemerintahan ataupun sesama pengguna media elektronik.

Kebebasan berpendapat berwujud kritik bahkan sindirian, supaya apa yang disuarakan didengar dan bisa segera di perbaiki. Namun, belakangan ini kritik menjadi salah penafsiran yang dianggap sebagai pencemaran nama baik karena hal tersebut ditujukan kepada seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan atau menyerang kehormatan seseorang.

Kritik dan pencemaran nama baik sangat berbeda, kritik merupakan sebuah ungakapan atau pernyataan dengan perbedaan pandangan sesuai fakta yang bersifat membangun sedangkan pencemaran nama baik ada unsur menjatuhkan atau menyerang kehormatan seseorang dengan cara memfitnah atau fakta yang belum terjadi.

Adanya pencemaran nama baik jika korban tersebut mengadukan ke pihak yang berwajib, karena pencemaran nama baik merupakan delik aduan menurut KUHP.
 
Penafsiran pada pasal 27 ayat 3 UU ITE kabur secara hukum. Karena, tidak menyebutkan secara spesifik mengenai unsur yang bagaimana sehingga perbuatan tersebut melawan pasal 27 ayat 3 dan tolok ukur seseorang bisa dikenakan pasal 27 ayat 3.

Oleh karenanya, perlu adanya revisi terkait pasal tersebut supaya jelas dan tidak menjadi momok menakutkan bagi masyarakat untuk menyampaikan atau menyuarakan pendapat di muka umum maupun media elektronik.

Urgensi Revisi UU ITE

Presiden mengajukan dan meminta ke DPR untuk selanjutnya di masukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas untuk merevisi UU ITE terkait beberapa pasal yang menurut publik sangat meresahkan.

Pengajuan presiden tersebut merupakan sebuah desakan dari publik mengingat pentingnya sebuah kebebasan berpendapat yang telah menjadi asas Demokrasi.

Akan tetapi, mengacu keputusan DPR bersama Pemerintah yang diwakili Kemenkumham, agenda revisi UU ITE ternyata tidak masuk dalam Prolegnas prioritas Tahun 2021 dan lebih memprioritaskan pembahasan terkait RKUHP.

Artinya intervensi dan keseriusan pemerintah dalam merevisi pasal tersebut dipertanyakan. Sebab, pasal-pasal tersebut kabur menurut hukum dan lebih memihak kepada pihak yang memiliki kedudukan dan kekuasaan.

Jika serius untuk menindaklanjuti desakan tersebut Pemerintah dan DPR dapat mengatur mengenai ketentuan mencabut delik-delik yang ada dalam UU ITE pasca direvisi nanti dan memindahkannya ke dalam RKUHP atau KUHP baru.

Hal tersebut adalah solusi yang sangat sederhana yang dapat dilakukan Pemerintah tanpa perlu mengorbankan urgensi Revisi UU ITE, mengingat korban UU ITE terus berjatuhan dan presiden pun sudah berjanji dan harus ditepati.

Seyogyanya, permasalahan kompleks ini menjadi perhatian bersama dan harus kita sadari dan benahi tentang penggunaan media elektronik secara bijak. Selain itu untuk melindungi kebebasan berpendapat supaya tidak multitafsir yang mengakibatkan kesalahpahaman antara pemerintah dengan masyarakat dan sesama pengguna media elektronik.

Dengan demikian akan terciptanya sebuah negara demokratis yang harmonis sesuai sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. rmol news logo article

Farih Ihdal Umam
Penulis adalah Internship HICON Law & Policy Strategies

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA