Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hidup Itu Berjuang: Mengenang Zaini Ibrohim

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Selasa, 09 Maret 2021, 10:41 WIB
Hidup Itu Berjuang: Mengenang Zaini Ibrohim
Sudarnoto Abdul Hakim/Net
ZAINI Ibrohim tidak banyak dikenal karena memang bukan tokoh nasional. Akan tetapi kiprah dan kehadiran di lingkungan masyarakat terdekatnya terasa dan mengesankan.

Apalagi, tidak sedikit karya yang ditinggalkannya mengedapankan banyak nilai luhur yang sesungguhnya sangat kontekstual untuk kehidupan saat ini yang semakin syarat dengan kompleksitas  tantangan dan masalah.

Seakan, melalui karya-karyanya, dia ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa perjuangan menegakkan keluhuran itu belum selesai, bahkan harus diperkuat.

Keluarga Priayi

Ibrohim adalah putra kelima dari 8 bersaudara dari KH Aboe Soeóed bin KH Mansur Ghozali, seorang ulama yang sangat dihormati di Banjarnegara. Ibu Ibrohim, Hindun, adalah putri KH Muhammad Ichsan yang dikenal juga dengan panggilan Mas Kaji Ichsan atau mbah Ichsan. Terkadang disebut juga dengan Mbah Temanggung.

Seperti besannya, Kiai Ichsan adalah seorang ulama dan priayi berasal dari Kebumen, bermukim di Banjarnegara, dan kemudian Temanggung.

Kiai Ichsan secara politik beraviliasi ke SI yang saat pertama kalinya didirikan dan dikembangkan di Banjarnegara. Dikenal sangat dekat dengan pemimpin SI dan khususnya pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Karena aktivitas politiknya ini, membuat tidak nyaman pemerintah Belanda dan kemudian ditugaskan di Temanggung dengan syarat tidak boleh berpolitik apalagi mengembangkan SI. Tugas ini diterima, dan di Temanggunglah Kiai Ichsan mengembangkan Muhammadiyah.

Bersama KH Ahmad Dahlan, Kiai Ichsan menjadi anggota Priesterraden Commisiie yaitu sebuah komite yang diberi tugas oleh pemerintah  Belanda untuk melakukan perbaikan Peradilan Agama.
Di komite ini ada ahli hukum Islam dan adat antara lain, selain Snouck Hugronje, Ter Haar, dan Van Vollen Hoven. Ada juga beberapa bupati dan tokoh-tokoh umat yaitu KH Ahmad Dahlan yang kemudian posisinya diganti oleh Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Haji Ichsan.

KH Aboe Soe’oed adalah seorang priayi-santri yang cerdas terpelajar, ilmu agamanya mendalam dan pengetahuan umumnya luas. Dia adalah murid dari Kiai Ichsan yang belakangan menjadi menantunya.

Seperti ayah dan mertuanya, Aboe Soe’oed sangat dihormati oleh masyarakat karena ilmu, akhlaq dan kepedulian besarnya kepada masyarakat. Dalam vokabulari Jawa, dia dikenal sebagai “Priayi Lomo” (generous, baik hati, suka menolong).

Salah satu bentuk konkret sifat kepeduliannya kepada masyarakat adalah menyediakan sebagian ruang yang cukup luas dari dua rumahnya yang besar di Kampung Suronatan, Temanggung, untuk digunakan sebagai kelas-kelas SD Muhammadiyah.

Sebagaimana kiprah mertuanya yang telah merintis Muhammadiyah di Temanggung, kontribusi dan peran Aboe Soe’oed pun dalam mengembangkan dan memajukan Muhammadiyah sangatlah penting.

Di samping SD Muhammadiyah, rumahnya sering juga digunakan untuk  pertemuan-pertemuan Muhammadiyah. Rumah Aboe Soe’oed dikenal tidak pernah sepi bukan saja karena kehadiran para tamu, akan tetapi juga dari sebanyak orang yang menghuni rumah itu.

Ada sekitar 50-an orang yang tinggal di rumah Aboe Soéoed, terdiri anggota keluarga juga para asisten atau pegawainya. Benar-benar sebuah gambaran extended family.

Kecukupan ekonominya sangat memungkinkan untuk melakukan hal ini. Hasil dari kebon dan sawah yang luas dan kolam ikan yang dimiliki, sangatlah menopang. Ini juga yang dilakukan oleh ayah mertunya baik saat tinggal dan menjadi Pengulu di Banjarnegara maupun Temanggung.

Sebagaimana kalangan priayi Jawa lainnya, sejumlah simbol dan tradisi kepriayian KH Aboe Soe’oed tampak dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya saja dalam berbusana, berkomunikasi, dan penggunaan bahasa dengan berbagai lapisan masyarakat, berhubungan dengan seluruh anggota keluarga dan para pegawainya di rumah.

Bahkan table manner diberlakukan secara ketat, misalnya saat makan bersama dengan keluarga. Harus rapi, disiplin, menjaga etika dan etiket. Baginya, relasi sosial dan kemanusiaan dan menjaga marwah haruslah diberi perhatian karena ini mencerminkan kemuliaan Akhlaq. Itulah juga sebabnya, tradisi dan pendidikan nilai-nilai Islam dihidupkan dalam keluarga.

Yang juga menarik, Aboe Soe’oed adalah penggemar seni dan bahkan memainkan sejumlah alat musik. Tidak saja lagu-lagu keagamaan sebagaimana yang lazimnya berkembang di kalangan kaum Santri, musik klasik barat pun menjadi koleksi keluarga.

Piringan Hitam untuk memutar musik-musik klasik di saat-saat tertentu tersedia di rumah. Seluruh putra putrinya dan bahkan para cucu dan cicitnya telah terbiasa, menyenangi seni, dan sebagian memainkan alat musik dan menekuni berbagai bidang seni.

Gambaran tentang berkesenian keluarga KH Aboe Soeóed ini juga terlihat di banyak keluarga priayi-santri lainnya di Jogya dan Jawa. Contohnya adalah keluarga Ki Bagus Hadikusumo di Kauman Yogyakarta. Salah satu kebiasaan keluarga ini ialah memainkan Tunil atau Sandiwara Setambul yang disaksikan oleh anggota keluarga dan masyarakat. Tunil ini juga dimainkan oleh keluarga Mas Kaji Ichsan yang dikenal dengan “Trek Dung Cer.”

Pendidikan dan Afiliasi Politik

Ibrohim berasal dari keluarga terpandang secara sosial dan keagamaan, generous, berhalus budi, pencinta seni, muslim yang taat, berdisiplin tinggi, dan terbuka serta penggerak Muhammadiyah.
Lingkungan keluarga menjadi bagian penting dan mempengaruhi Ibrohim. Ibrohim kecil dididik oleh orang tua, mbahnya (Kiai Ichsan kakung dan putri) dan beberapa paman baik di Temanggung maupun Banjarnegara.

Didikan agamanya antara lain diperoleh dari salah seorang ulama yang tinggal di Kauman Banjarnegara, yaitu KH Muhammad Ya’qub. Bahkan Ibrohim menjadi anak angkat Kiai Ya’qub.

Sementara pengetahuan umum antara diperoleh dari salah seorang pamannya yang dikenal sangat cerdas dan berpengetahuan luas yang konon kemudian menjadi salah seorang tokoh penting Ahmadiyah di Banjarnegara.

Pendidikan formal tingkat dasar diawali di sekolah Arab al-Irsyad kemudian melanjutkan di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) di Yogyakarta mengikuti jejak kakak-kakaknya Zaini Syis, Zaini Mahmud, dan Zaini Noeh.

Yogyakarta memang menjadi destinasi pendidikan penting saat itu. Di Yogyakarta lah Ibrohim tidak saja mengalami mobilitas yang cukup tinggi secara sosial dan keilmuan, akan tetapi juga secara keagamaan.

Dia mengenal lebih dalam tentang Muhammadiyah, organisasi yang dikembangkan oleh mbah dan ayahnya di Temanggung. Ibrohim memilih aktif di kepanduan Hizbul Wathon (HW) dan melalui kepanduan inilah wawasan keislaman dan kebangsaan dan kepedulian social kemanusiaan Ibrohim tertempa dengan baik. Kecintaan Ibrohim kepada HW dan kepanduan/kepramukaan masih ditunjukkan hingga akhir hayatnya.

Masa muda Ibrohim juga ditempa dengan patriotisme, heroisme, dan nasionalisme yang ditunjukkan oleh banyak tokoh bangsa, tokoh umat Islam dan juga keluarganya dalam menghadapi penjajah Belanda, Jepang dan era revolusi pertengahan kedua tahun 1940.

Di antara tokoh/pemimpin umat Islam yang sangat mengesankan Ibrohim dan sering disebut-sebut ialah KH Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan, A Hassan, Muhammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, A Hassan.

Ada sejumlah tokoh muslim lokal Banjarnegara yang juga sering Ibrohim sebut baik dalam karya tulisnya maupun cerita lisannya, antara lain Kiai Busyro Syuhada (nama aslinya Ibrahim putra KH Syuhada), pendiri Pencak Silat Tapak Suci. Ibrohim sebut mbah Busyro adalah seorang pendekar ulung.

Melihat tokoh dan pemimpin yang disebut-sebut, tampak jelas afiliasi kultural keagamaan Ibrohim ialah Muhammadiyah dan Persis dan secara politik adalah Masyumi. Ini benar-benar ditunjukkan secara nyata dalam perjalanan hidupnya.

Di Muhammadiyah, tidak saja terus menggiatkan kepanduan HW dan kemudian Pramuka, Ibrohim aktif dan pernah dipecaya menjadi ketua umum PD Pemuda Muhammadiyah Temanggung dan pengurus PD Muhammadiyah di daerah yang sama.

Rumah yang dihuni bersama istri dan semua putra-putrinya dari tahun 1958 hingga pertengahan awal tahun 1970 adalah rumah yang dibangun dan dihuni oleh Kiai Ichsan sejak akhir tahun 1920-an.

Rumah itulah yang oleh Kiai Ichsan dan Aboe Soeóed dan kemudian dilanjutkan oleh Ibrohim sering digunakan sebagai tempat pertemuan pengurus dan aktivis Muhammadiyah dan bahkan tidak jarang juga menjadi tempat pertemuan politik tokoh-tokoh umat di Temanggung.
Setelah Masyumi bubar, meskipun tidak pernah menjadi anggauta dan apalagi pengurus partai politik Islam, akan tetapi Ibrohim memberikan dukungan penuh kepada partai Islam Parmusi. Rumah Temanggung kembali menjadi tempat pertemuan Muhammadiyah dan Parmusi.

Artikel-artikelnya yang dipublikasikan di Generata Islamica, sebuah bulletin stensilan Muhammadiyah Temanggung yang Ibrohim inisiasi dan pimpin, memberikan gambaran yang sangat jelas sikap dan pandangan politik Ibrohim.

Ia bela Masyumi dan Parmusi dan lancarkan kritik terhadap NASAKOM dan terhadap pemerintah Orbe Baru Soeharto. Apalagi sejak Soeharto menerapkan politik Fusi dan cenderung otoriter.

Kekecewaannya kepada rezim Soeharto tidak bisa ditutupi antara lain karena sikap permusuhan rezim kepada (aspirasi) politik Islam. Banyak tokoh Muhammadiyah dan kantong-kantong pergerakan umat Islam di berbagai level, misalnya, yang ditangkap dan dihukum karena dianggap melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dan anti Pancasila.

“Politik berangus” yang dilakukan oleh rezim Soekarno kepada tokoh dan pemimpin umat Islam kembali dilakukan oleh rezim Soeharto dan korbannyapun sudah banyak.

Salah satu pintu masuk penangkapan ialah isu “Komando Jihad.” Ibrohim adalah salah seorang yang menjadi target projek politik berangus kantong Islam, meskipun lolos dari penangkapan dan hukuman siksaan. Tapi sejumlah sahabat Ibrohim di Magelang, misalnya, sempat ditahan dan mengalami perlakuan yang tidak manusiawi.

Selama pemerintahan Orde Baru hingga akhir hayatnya, Ibrohim dengan caranya sendiri melalui karya-karya tulisnya, lukisan-lukisannya, cergam-cergamnya, dan karya karikaturalnya tidak jarang melakukan sindiran tajam terhadap praktik politik yang dia yakini mengalami anomali dan sekaligus mendorong masyarakat untuk tetap bersemangat melancarkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar agar kepemimpinan bangsa menjadi lurus.

Semangat perjuangan Ibrohim harus ia tularkan karena Indonesia memang didirikan oleh tokoh, pemimpin dan umat Islam yang telah menyediakan diri untuk berjuang atau berjihad dengan ketulusan dan dedikasi besar.

Cergam serialnya di Generata Islamica yang berjudul “Tulukabesi” (tokoh di Ambon), misalnya, memberikan gambaran yang gamblang bahwa yang ingin disampaikan oleh Ibrohim ialah perjuangan membela kebenaran, melawan ketidak adilan dan otoritarianisme penguasa.
Karikatur serialnya di buletin yang sama dengan tokoh utama “Dul Genis” juga menggambarkan narasi kuatnya untuk hancurkan kebatilan dan tegakkan kebenaran. Pikiran-pikiran Ibrohim terus disampaikan saat dia memimpin sebuah majalah yang diterbitkan oleh Kanwil Kemenag Jawa Tengah ”Rindang.”

PKI dan Korupsi       

Di antara musuh penting umat Islam dan masyarakat Indonesia yang besar adalah PKI dan Korupsi. Dua-duanya riil tumbuh dan berkembang di Indonesia dan perlawanan yang dilakukan terhadap keduanya juga riil dilakukan.

Di Temanggung, Ibrohim memimpin perlawanan terhadap PKI melalui KOKAM. Ibrohim bersama sejumlah sahabatnya antara lain Prawoto, Romdono, Abu Ubaidah, Sudarminto, Fathurrahman melalui KOKAM daerah Karisiden Kedu ini melaksanakan berbagai training ideologis, fisik, dan mental bagi pemuda di berbagai tempat secara intensif untuk menghadapi dan melawan PKI.

Dalam keyakinannya, kebangkitan PKI selain sebagai ekses politik NASAKOM Soekarno juga dinilai melawan Pancasila dan agama Islam. Karena itu berjuang melawan PKI adalah jihad politik, ideologis dan juga keagamaan.

Ibrohim menyusun pokok-pokok pikiran ideologis yang bersumber kepada ajaran Islam dan pandangan dasar Muhammadiyah sebagai bekal perjuangan melawan PKI. Ibrohim juga menggerakkan dan memimpin aksi KAMI-KAPI di Temanggung, dimulai dari kompleks sekolah Muhammadiyah dan bekeliling Kota Temanggung.

Patriotisme dan heroisme KOKAM ini, seperti yang juga dilakukan di mana-mana secara nasional oleh Muhammadiyah, adalah catatan penting tentang bagaimana nasionalisme ini tumbuh, memperoleh penguatan dan dihidupkan dalam tradisi umat Islam. Dan Ibrohim menjadi satu bagian dari spirit pejuangan ini.

Bagi Ibrohim, bangsa dan negara memang harus dijaga supaya tidak runtuh dan maju. Itulah sebabnya, Ibrohim bersemangat memberantas praktik koruspi yang terjadi di lingkungan Dertemen (sekarang Kementerian) Agama saat dia diberi amanah menjadi Kepala Seksi  Pendidikan di Banjarnegara.

Dia saksikan dengan kasat mata bagaimana korupsi dilakukan secara berjamaah antara lain melalui penerbitan SK pengangkatan guru dan pegawai fiktif.

Ibrohim dengan gigih berjuang melawan koruspi ini meskipun harus menangung banyak risiko. Bagi Ibrohim amanah yang telah diberikan kepadanya harus ia tunaikan semampu yang ia lakukan, begitu keyakinan agama yang ia pegang.

Ibrohim sepertinya mengikuti jejak mbah kakungnya, Kiai Ichsan atau Mas Kaji Ichsan saat bersama dengan KH Ahmad Dahlan menjadi anggauta Priestarreaden Commissie tahun 1922 memberantas korupsi di Peradilan Agama.

Hidup memang berjuang tegakkan kebenaran hancurkan kebatilan. Wallahu a’lam. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat sosial politik, tinggal di Tangerang

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA