Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Proyeksi Pemilu Serentak 2024

Sabtu, 20 Februari 2021, 00:03 WIB
Proyeksi Pemilu Serentak 2024
Ilustrasi Pemilu/Net
KETUA Komisi II DPR RI Doli Kurnia memastikan tak akan melanjutkan pembahasan revisi Undang Undang 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Keputusan tersebut diambil berdasarkan rapat ketua kelompok fraksi atau Kapoksi yang berada di Komisi II DPR RI pada 11 Februari 2021.

Selanjutnya, Komisi II akan memberikan laporan hasil rapat tersebut kepada pimpinan DPR RI. Hal ini sejalan dengan kepentingan pemerintah yang sejak akhir Januari 2021 memastikan sikapnya menolak revisi UU Pemilu yang ketika itu sedang ramai pembahasannya di DPR RI.

Pada pembahasan sebelumnya, menurut Doli Kurnia, ada lima isu klasik yang meliputi, sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, presidential threshold, sistem konversi penghitungan suara ke kursi, serta district magnitude jumlah besaran kursi/dapil.

Selanjutnya, ada empat isu kontemporer, pertama, konsep keserentakan pemilu nasional dan pemilu daerah. Kedua, bagaimana mendorong pemilu bersih menghilangkan atau meminimalkan money politics dan politik transaksional. Ketiga, pengembangan digitalisasi pemilu, soal e-rekap KPU.

Keempat, penguatan tugas dan fungsi penyelenggara pemilu, terutama terkait kewenangan menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu dan mendorong lahirnya peradilan khusus pemilu.

Polemik pembahasan RUU Pemilu sempat memanas, pada saat isu normalisasi Pilkada agar dilaksanakan pada 2022 dan 2023 masuk dalam pembahasan. Sebelumnya sudah diatur dalam UU 10/2016 bahwa pasca Pilkada serentak 2020, maka selanjutnya akan dilaksanakan pilkada serentak nasional pada 2024.

Sisa masa jabatan kepala daerah di 2022 dan 2023 akan dijabat oleh Penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota hingga hasil pilkada 2024 dilantik. Apa konsekuensi dari putusan ini?

Dapat dipastikan akan dilaksanakan pemilu dan pilkada serentak nasional pada 2024 mendatang berdasarkan UU  7/2017 dan UU 10/2016.

Anggota KPU, Hasyim Asy’ari dalam keterangannya di media pada 12 Februari 2021, mendeskripsikan bahwa dengan UU Pemilu dan UU Pilkada yang masih berlaku, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, dapat diperoleh gambaran simulasi tahapan yang saling bersinggungan atau beririsan.

Tahapan Pilpres dan Pileg dimulai 20 bulan sebelum pencoblosan (Juli 2022) dengan jadwal pencoblosan pada Maret 2024, hasil pileg DPRD sudah ditetapkan pada Agustus 2024 untuk memastikan prasyarat pencalonan kepala daerah, sedangkan tahapan pilkada dimulai 11 bulan sebelum pencoblosan (Oktober 2023).

Pencalonannya pada Agustus 2024 dari hasil penghitungan kursi hasil pemilu DPRD 2024 dan pencoblosan pilkada serentak pada November 2024.

Persinggungan jadwal tahapan ini tentunya membawa sederet masalah teknis yang mesti diantisipasi baik oleh penyelenggara maupun peserta pemilu dan pemilihan.

Yang pasti, akan kembali diselenggarakan pemilu 5 kotak seperti pada pemilu 2019 di Maret 2024, dengan asumsi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK sudah selesai pada Agustus 2024, sehingga hasil pemilu DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota dapat menjadi hitungan dalam pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota pada Agustus 2024.

Selanjutnya, pada November juga akan diselenggarakan pemilihan 2 kotak di seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Jika kita flasback berbagai isu dari evaluasi pemilu 2019, tentu penting untuk kita pastikan, bagaimana nanti pelaksanan pesta rakyat di 2024 dapat menjadi sebuah pesta yang membahagiakan.

Tidak ada lagi petugas yang meninggal dunia dan sakit karena kelelahan, tidak ada lagi politik identitas yang membuat suasana perhelatan politik memanas, bahkan berpotensi memecah belah persatuan anak bangsa hanya karena berbeda pilihan politik.

Dan yang lebih penting dalam pemilihan adalah bagaimana rakyat mengenal siapa wakilnya dan siapa pemimpinnya yang akan dipilih.

Ya, ini tidak lepas dari semangat awal bagaimana MK mendorong pemilu serentak. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 itu didasari pada beberapa asumsi yang dibangun oleh MK dengan beberapa penilaian untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial dan meningkatkan kecerdasan pemilih (political efficacy).

Juga mendorong efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, manajemen konflik dan waktu.

Pertanyaannya, apakah asumsi-asumsi dasar dari putusan MK tersebut terbukti pada pemilu 2019 lalu? Bagaimana untuk merealisasikan hal ini pada pemilu 2024 nanti?
Dalam laman lipi.go.id bertajuk, “Evaluasi Pemilu Serentak dalam Temuan Survei LIPI”, didapati bahwa harapan Pemilu serentak dapat meningkatkan kecerdasan pemilih, tidak terpenuhi. Sebab 74 persen responden survei publik dan 86 persen responden survei tokoh, merasa disulitkan oleh hal-hal teknis selama Pemilu Serentak 2019.

Pemilu serentak ini rumit. Jangankan memilih secara rasional, pemilih merasa dipusingkan oleh jumlah surat suara yang terlalu banyak. Bahkan, hasil survei menunjukkan, 82 persen responden tokoh menganggap skema pemilu serentak harus diubah atau ditinjau kembali.

Selain masalah teknis terkait dengan pemberian hak suara di TPS, yang tidak kalah penting adalah bagaimana menghadirkan suasana kampanye yang mencerdaskan. Adu program, gagasan, visi misi dan terobosan menjawab masalah.

Pada pemilu 2019, marak kampanye yang lebih mengedepankan sentimen politik identitas pada pilpres. Kampanye pileg seolah tidak terasa. Catatan evaluasi pemilu 2019 terkait kampanye adalah panjangnya masa kampanye. Karena memang tidak diatur di UU, tentu bisa direvisi dalam PKPU tentang tahapan pemilu terkait masa kampanye. Selain itu, metode kampanye di media sosial pun penting untuk diantisipasi pengaturannya.

Data hasil pemilu 2019 dari KPU menunjukan, jumlah suara sah dan tidak sah pada Pilpres adalah 158.012.506. Suara tidak sah mencapai 3.754.905. Kemudian, suara sah Pemilihan Anggota DPR RI yakni 139.971.260. Suara tidak sah Pileg mencapai 17.503.953, hampir 4 kali lipat dari suara tidak sah di Pilpres.

Mengapa lebih banyak suara tidak sah pada Pileg?

Secara teknis, sebagai pemilu yang pertama kali dengan 5 kotak hal ini memang membingungkan pemilih, ketika mendapatkan 5 surat suara, lalu masuk ke bilik suara, pemilih harus membuka satu persatu lipatan surat suara, lalu mencari logo partai politik dengan lampiran nama-nama caleg dibawahnya yang mau dipilih.

Tidak sedikit pemilih yang belum membuka secara utuh lipatan surat suara lalu mencoblos logo partai yang dilihatnya, sehingga hasilnya tercoblos gambar partai atau nama caleg lebih dari satu. Bahkan ada kertas suara yang menjadi rusak. Ketika dihitung, maka dinyatakan tidak sah.

Pada pilpres lebih kecil suara tidak sah kerena lembaran surat suaranya memang lebih kecil dan simple. Menyikapi hal ini, tentu catatan pentingnya adalah perlu sosialisasi optimal kepada pemilih.

Surat suara tertukar terjadi pada pemilu 2019 di berbagai daerah, sekalipun persentasenya kecil, hal ini menyebabkan pemungutan suara tidak bisa dilanjutkan setelah dibuka oleh KPPS.

Tentu ini menggambarkan, bahwa masih ada “PR” dalam pengelolaan logistik. Sepertinya penting diupayakan untuk mendorong manajemen logistik khususnya surat suara yang berbasis pada Dapil, agar tidak terjadi lagi surat suara yang tertukar.

Beban kerja petugas KPPS pada saat pemungutan dan penghitungan suara sangat berat, dengan volume yang tinggi dan dengan waktu yang sempit. Misal, surat untuk pileg dan pilpres dinyatakan sah apabila surat suara ditandatangani oleh ketua KPPS. Jika ada 300 pemilih dalam satu TPS, berarti ketua KPPS harus menandatangani 5x300 surat suara, minimal.

Ini beban kerja teknis yang sudah tertulis di UU yang saat ini tidak direvisi. Belum lagi pengisian formulir dan BA hasil rekap penghitungan suara. Sepertinya perlu ada penyederhanaan terkait hal ini.

Perlu ada penanganan khusus terkait dengan petugas ad hoc. Sebagaimana telah disinggung di atas, beban tugasnya berat. Karena bersifat ad hoc, akhirnya sulit mendapatkan personil yang mumpuni.

Menjadi petugas dalam tempo sebulan sebelum pemungutan suara, setelah perekrutan, maksimal hanya dua kali diberikan bimbingan teknis. Itupun dalam kondisi ruang kelas yang kurang mendukung. Menggunakan aula kelurahan, berhimpitan, tidak fokus.

Dengan honor yang seadanya, sulit menuntut kinerja yang optimal. Karena dalam keseharian, mereka memiliki kesibukannya masing-masing, dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Dengan ketentuan syarat usia minimal 17 tahun bagi petugas KPPS, ini memudahkan KPU untuk merekrut petugas yang lebih energik, dapat memaksimalkan kerjasama dengan perguruan tinggi, mendorong mahasiswa dan seluruh civitas akademik yang punya orientasi belajar dan memiliki idealisme menegakan demokrasi di negeri ini untuk turut berpartisipasi aktif.

Akan tetapi, kampus-kampus yang biasanya ada dipusat kota, mahasiswanya dari daerah dan ber-KTP daerah. Sementara salah satu syarat menjadi petugas ad hoc, berdomisili dalam wilayah kerja PPK, PPS, dan KPPS. Berdomisili, diartikan tinggal dan ber-KTP di wilayah setempat.

Jika hal ini menjadi hambatan, diperlukan terobosan perumusan aturan terkait hal ini. Bisa saja dibuat, ada 30 persen komposisi petugas yang tidak mesti ber-KTP setempat.

Terkait petugas ad hoc, ada tantangan tersendiri bagi Bawaslu, karena syarat usia minimal 25 tahun untuk menjadi PTPS pada pemilu 2019 lalu, terbukti menyulitkan. Karena biasanya mahasiswa lulus pada usia 23-24 tahun, pada usia 25 tahun adalah awal mereka berkarir di dunia pekerjaan, khususnya di Jakarta dan mungkin kota-kota lainnya, mereka akan lebih fokus pada pekerjaannya.

Akhirnya untuk memenuhi amanat UU, petugas yang bergabung lebih banyak yang sudah berumur. Pada pemilu 2024 nanti, jika tidak ada Perppu, maka tantangan yang sama akan terulang.

Jika kita pahami bahwa sebagian besar dari petugas Pemilu 2019 lalu yang jatuh sakit dan meninggal dunia karena kelelahan adalah petugas yang sudah berumur, tentu hal ini penting kita antisipasi.

Hal lain dalam Peraturan KPU no 36 tahun 2018 yang mengatur tentang petugas ad hoc, pada pasal 36 ayat (1) huruf (k) belum pernah menjabat 2 (dua) periode dalam jabatan yang sama sebagai anggota PPK, PPS dan KPPS, perlu sedikit mendapat perhatian.

Dalam konteks kaderisasi hal ini baik, agar ada penyegaran. Akan tetapi, jika di satu daerah sulit mendapatkan petugas yang paham dan berpengalaman, sepertinya perlu ada afirmasi khusus. Karena kerja-kerja petugas ad-hoc secara umum lebih berorientasi pada voluntary.

Hal lain yang mungkin menjadi catatan penting dalam praktek Pemilu dan Pilkada serentak ini adalah, adanya potensi menurunkan ketegangan politik seperti yang pernah terjadi pada Pemilu 2019, terutama dalam suksesi pilpres.

Bisa jadi perhelatan politik 2024 nanti akan lebih soft, karena semua parpol pengusung presiden akan membangun sinergi lintas partai yang tidak sejalan dalam pemilu. Tujuannya untuk memastikan bahwa nantinya dalam konteks Pilkada mereka bisa sejalan.

Pilkada serentak 2020 membuktikan hal itu, semua parpol berdiaspora dalam suksesi kepala daerah. Kubu koalisi Pilpres yang diharapkan menjadi permanen agar ada “oposisi” ternyata langsung bersinergi sesuai dengan kepentingan politik dan potensi yang berbeda-beda di daerah.rmol news logo article

Munandar Nugraha
Penulis merupakan pegiat Pemilu

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA