Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dari Buntu Kabobong Memandang PWI

Jumat, 19 Februari 2021, 21:44 WIB
Dari Buntu Kabobong Memandang PWI
Buntu Kabobong/Net
MEMBACA  judul catatan ini pembaca pasti bertanya. Apa hubungan “Buntu Kabobong” dengan PWI.

“Buntu Kabobong” adalah sebuah pemandangan eksotik yang sayang kalau dilewatkan begitu saja oleh mereka yang ke Enrekang atau pun ke Tana Toraja. Lereng dua bukit ini sepintas lalu membawa alam khayal seseorang “berpiktor” (berpikiran kotor). Tetapi di dalam tulisan ini, saya meminjam “buntu” ini sekadar majas “pas pratoto”,  yang menyimbolkan  sebagian untuk yang lebih besar (Enrekang).

Mengapa “Buntu Kabobong” atau Enrekang yang saya pilih dikaitkan dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)? Jika merujuk pada tiga tulisan saya sebelumnya, para pembaca akan maklum.  Betapa dari kasus Enrekang itu kita yang menyatakan diri sebagai wartawan tulen baru  sadar betapa banyak permasalahan yang melingkupi kerja-kerja jurnalistik dan organisasi profesi kita ini.

Betapa, semrawutnya banyak orang yang latah menge-cap (menstempelkan) seseorang dengan profesi wartawan tanpa terlebih dahulu melakukan cek dan ricek.  Betapa orang-orang yang terlibat di dalam organisasi profesi ini semakin tidak paham akan tata kelola “job description” berorganisasi, sehingga tanpa sadar mengumbar statemen yang bertentangan dengan realitas permasalahan sebenarnya.

Saya sebenarnya sudah tak bernafsu lagi menulis tentang “Kasus Enrekang”. Semua sudah jelas. WN  yang ditangkap polisi tidak memiliki kartu identitas sebagai wartawan.  Media tempat dia menulis pun tidak ditemukan di database Dewan Pers.  Kantornya juga, menurut Kapolres Enrekang Andi Sinjaya tidak ditemukan  sesuai alamat  yang diklaim sebagai kantornya.

Secara singkat duduk perkaranya WN begini. Bupati Enrekang melaporkan yang bersangkutan  ke polisi karena kasus pencemaran nama baik. Polisi sudah melaksanakan tugasnya sesuai prosedur seperti dijelaskan Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E.Sulpan yang dilansir media.

Akan tetapi di balik “Kasus Enrekang” ini banyak hal yang dititipkan kepada kita dan menjadi bahan pembelajaran yang positif. Bahan pelajaran penting bagi sosok wartawan dan juga organisasi profesi yang bernama PWI khususnya. Yang terjebak dalam tindakan salah ini kebanyakan mereka yang  mengaku wartawan dan tidak berada di bawah naungan organisasi profesi wartawan yang diakui  Dewan Pers.

Organisasi wartawan yang terdaftar di Dewan Pers hingga saat ini adalah PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Data Dewan Pers menyebutkan, jumlah wartawan yang telah lulus uji kompetensi saat ini mencapai 12.000 orang, hasil 27 lembaga uji kompetensi. Mereka yang lulus uji kompetensi ini tersebar juga pada berbagai media siber yang juga sudah lolos verifikasi Dewan Pers.

Pembelajaran pertama dari “Buntu Kabobong”, perlunya kita melakukan pengecekan terhadap ikhwal suatu kasus, terutama status seseorang jika menemukan kasus seperti ini. Kedua, muncul praktik seolah terjadi “disfungsi” peran dari petinggi organisasi profesi wartawan. Ketiga, jangan sampai terjadi penyalahgunaan profesi. Keempat, perlunya kita kian sadar akan pentingnya taat asas terhadap etika profesi.

Tanpa Ricek

Saya mencatat, begitu cepat sejumlah pihak langsung bereaksi dengan mengeluarkan berbagai pernyataan setelah mendengar kasus penangkapan WN yang disebut wartawan. Ketua PWI Pusat Atal S. Depari langsung meminta kepada aparat kepolisian melepaskan yang bersangkutan.

Datang pula Ketua Bidang Organisasi Zulkifli Gani Ottoh meminta Bupati Enrekang menggunakan hak jawab tanpa mengecek terlebih dahulu konten dan substansi berita (cerita) yang dibuat yang bersangkutan.

Salah seorang wartawan di Makassar pun meminta komentar anggota Komisi III DPR RI Supriansa, S.H. yang kemudian memberi pernyataan.  Mantan Wakil Bupati Soppeng ini pada awalnya masih menganggap yang ditangkap itu adalah benar seorang wartawan, sehingga meminta kepada pihak terkait, dalam hal ini Bupati Enrekang menghindari penangkapan yang bersangkutan, tetapi menggunakan proses sesuai UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Supriansa kemudian meluruskan komentarnya itu dengan mengatakan  dia memberi statemen berkaitan pada hal-hal yang umum saja.

Munculnya pernyataan seperti ini karena media tidak melakukan pengecekan terhadap pihak berwajib dan Bupati Enrekang tentang alasan penangkapan terhadap WN. Wartawan hanya mengetahui bahwa yang bersangkutan pernah menjadi wartawan, tetapi sama sekali tidak mengetahui rekam jejak yang bersangkutan hingga menimbulkan rasa tidak nyaman Bupati Enrekang. Sebab ternyata, setelah persoalan status WN jelas, muncul sejumlah “screenshot” yang memperlihatkan perilaku  yang pernah dilakukan yang bersangkutan.

Yang juga membuat saya merasa lucu dengan kemunculan kasus ini adalah   pernyataan Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Zulkifli Gani Ottoh. Berdasarkan kewenangan di organisasi profesi, bukankah ada Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan yang memiliki kompetensi dan kewenangan berkomentar terhadap kasus seperti ini?

Ataukah memang PWI Pusat sudah membuat “job desciption” bahwa Bidang Organisasi boleh menyoal kasus seperti ini. Saya berharap mudah-mudahan tindakan proaktif seperti ini bukan sebagai upaya yang bersangkutan sedang mencari “panggung baru” baru untuk kepentingan tertentu.

Saya sengaja menyinggung masalah ini karena teman-teman wartawan di grup whatsapp (WA) bertanya-tanya perihal kewenangan yang aneh tersebut. Padahal, Ketua Bidang Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat adalah Ocktaf Riady. Boleh jadi Ocktaf Riady memerlukan informasi lengkap dan akurat apakah yang bersangkutan benar-benar orang yang harus dibela atau tidak.

Zulkifli Gani Ottoh sendiri dalam laman PWI Pusat masih tercatat ditempatkan sebagai Ketua Bidang Kerja Sama dan Kemitraan. Saya kemudian memperoleh informasi tidak jelas ABC-nya, Zugito kemudian diangkat sebagai  Ketua Bidang Organisasi.

Bidang ini sesuai Peraturan Rumah Tangga PWI tugasnya (a) melaksanakan program dan keputusan organisasi yang berkaitan dengan aspek keorganisasian, keanggotaan, baik yang bersifat pembinaan, maupun pengawasan administrasi. (b) berkoordinasi dengan Ketua Bidang bersangkutan dan Sekretaris Jenderal dalam melaksanakan hal-hal sesuai butir (a); (c) berkoordinasi dengan Ketua Bidang Daerah menghadiri Konferensi Provinsi dan Konferensi Kerja Provinsi; dan (d) melaksanakan hal-hal yang dilimpahkan oleh ketua umum.

Butir (d) tersebut tampaknya termasuk dalam “pasal karet” sebagaimana yang ditudingkan pada pasal yang ada pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Jika butir (d) ini dilaksanakan berarti merebut kewenangan Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan yang lebih berkompeten.  Sangat boleh jadi, bidang organisasi ingin memperlihatkan kerja-kerja “proaktif” apalagi sebagai orang Sulawesi Selatan langsung terpanggil untuk bertindak.

Zugito sendiri mengakui pada pembukaan Konfercab PWI Sulsel 28 Januari 2021 adanya 4-5 pelanggaran di bidang organisasi di lingkungan PWI Sulsel. Pertanyaan saya, mengapa sampai 5 kali pelanggaran harus terjadi.

Mengapa ketika terjadi pelanggaran pertama atau kedua tidak segera dihentikan. Kalau saja  ini sebuah permainan sepakbola, pemain yang melakukan pelanggaran sudah harus diganjar dengan kartu merah dan diusir ke luar lapangan. Langsung atau tidak langsung, saya melihat adanya pembiaran dan ini merusak kinerja organisasi.

Ketua PWI Pusat pun melakukan “blunder” besar. Seharusnya, PWI Pusat menghindari kehadiran Zugito pada Konfercab PWI Sulsel lalu karena sangat berpotensi tidak netral dan memiliki kepentingan yang sangat transparan. Rekam jejak kepemimpinannya hampir tidak ada yang dapat dijadikan pembelajaran yang baik Petinggi organisasi seharusnya memiliki “sence of crisis” menyikapi masalah seperti ini. Ini penting menjadi pembelajaran  berorganisasi kita di kemudian hari.

Kepengurusan PWI Sulsel selama 15 tahun terakhir telah melahirkan produk “revance” demokrasi yang bernama “segregasi”  (pengasingan, pengucilan) sekelompok wartawan yang tidak sejalan dengan rezim yang berkuasa (memimpin). Sebagai organisasi yang dihuni oleh orang-orang yang sering mengkritik tiga pilar lain (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), pers dengan PWI sebagai organisasi tempat berhimpun, harus memberi contoh berdemokrasi yang rekonsiliatif, santun, dan beretika. Artinya, selesai pesta demokrasi, yang  sudah, sudahlah. Selesai. Nyatanya, justru segregasi ini makin menganga. Dan tampaknya tidak akan berujung.

Ketika memberikan sambutan pada pembukaan Konfercab tanpa laporan Ketua PWI Cabang Sulsel (sebagai empunya hajat lazimnya harus menyampaikan laporan), Zugito menekankan pentingnya merangkul semua teman. Yang sudah-sudahlah. Berikan kesempatan anggota-anggota wartawan muda agar bisa bersatu.

Setelah mendengar sambutan itu, saya menaruh harapan besar bahwa praktik segregasi yang dilakukan selama ini akan segera tamat. Tetapi boro- boro sambutan itu akan berwujud dalam bentuk saling rangkul, malah kepengurusan PWI Sulsel makin mendinasti.

Pada tahun 2005 saya pernah mengirim SMS pada Zugito agar jangan sampai ada praktik dinasti dalam kepengurusan PWI. Dia menjawab, “saya paling anti dinasti”. Ternyata, dia kurang mampu memaknai diksi “dinasti” karena terbukti di dalam kepengurusan PWI pimpinannya, semua posisi penting dan vital diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan institusional dengan dirinya. Jadi, sambutan “merangkul semua” pada pembukaan Konfercab tidak lebih dari wacana gombal strategi belaka.

Praktik dan “budaya dinasti” ini berlanjut lagi pada periode 2010-2015, 2015-2020, dan kini 2021-2026. Pada kepengurusan yang terakhir ini sebagaimana ditetapkan oleh formatur tercantum ketua, wakil ketua bidang pendidikan, sekretaris, dan bendahara, dari satu dinasti media. Jadi, boleh jadi keputusan organisasi yang prinsipil akan ditetapkan dan ditetapkan serta berputar-putar pada “persekutuan” ketiga posisi strategis ini.

Cabang Batalkan SK Pusat


Saya tidak tahu dari mana belajar beroganisasi, PWI Cabang bisa membatalkan surat keputusan (SK) PWI Pusat. Ini benar-benar gila. Bayangkan saja, PWI Cabang Sulsel melalui SK Nomor:323/PWI-SS/I/2021 tanggal 21 Januari 2021 mengangkat pelaksana tugas PWI Cabang Soppeng dengan menunjuk Drs. H. Ismail Asnawi sebagai Koordinator PWI Soppeng.  Susunan PWI Soppeng sesuai SK tersebut adalah Ketua: Agus Wittri, Sekretaris: Buhari Abu, dan Bendahara: Lukman Sulaeman. Pengangkatan pelaksana tugas PWI Soppeng ini berlatar belakang “politis” guna memuluskan jalannya suksesi Ketua PWI Sulsel 31 Januari 2021, sehingga dengan berani melanggar tata krama dan etika berorganisasi.

FAS Rahmat Kami S.Sos yang menjabat Ketua PWI Soppeng periode 2017-2020 bersama pejabat Sekretaris dan Bendahara dikukuhkan melalui SK PWI Pusat No. 474/PKU/PD-PWI/2016 tanggal 20 Februari 2016 yang ditandatangani Plt Ketua Umum Sasongko Tedjo dan Sekjen Hendry Ch. Bangun, bukan berdasarkan SK PWI Cabang.

Tidak etis  organisasi yang lebih rendah membatalkan keputusan dan penetapan organisasi yang lebih tinggi. Dalam hal ini Pengurus Cabang tidak berhak dan tidak memiliki kewenangan membatalkan SK yang dikeluarkan oleh Pengurus PWI Pusat. Juga melanggar Kode Perilaku Wartawan Bab III pasal 5.

Kemudian, PWI Cabang mengangkat Pelaksana Tugas PWI Soppeng dengan ketua atas nama Agus Wittiri. Yang bersangkutan diketahui juga sebagai Keua DPD II Partai Amanat Nasional (PAN) Soppeng. Langkah PWI Cabang ini jelas bertentangan dengan PD/PRT PWI  Bab V pasal 26 (2) yang berbunyi, Pengurus PWI di pusat maupun di provinsi dan kabupaten/kota tidak boleh merangkap jabatan pengurus partai politik dan organisasi terafiliasi serta lembaga pemerintah. Juga melanggar Kode Perilaku Wartawan sesuai Bab III Pasal 5 (3), melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI dan Kode Etik Jurnalistik.

Begitu pun pada  pasal 14 (1) Kode Perilaku Wartawan jelas disebut, Pengurus PWI yang memilih pengurus partai politik atau organisasi partai politik yang memiliki afiliasi dengan partai politik harus mengundurkan diri selambat-lambatnya 14 hari setelah dilantik sebagai pengurus partai politik dan atau organisasi yang memiliki afiliasi dengan partai politik.

Belum beres masalah yang satu, PWI Cabang Sulsel meluncurkan lagi SK No. 325/PWI.SS/I/2021 tanggal 25 Januari 2021, seolah mengejar masa bakti sebelum demisioner 31 Januari 2021, saat pemilihan ketua PWI Sulsel periode berikutnya. SK ini memutuskan mengangkat kembali Drs. H. Ismail Asnawi, Ketua Bidang Organisasi PWI Provinsi sebagai koordinator PWI Soppeng. Begitu kacau dan kocar-kacirnya  organisasi, dua SK “diganjarkan” pada sosok yang sama dalam rentang waktu tidak cukup satu minggu (tepatnya 4 hari).

Inilah potret sengkarut dan karut-marut kehidupan berorganiasi di PWI Sulawesi Selatan saat ini. Hanya satu sukses besar tapi tidak layak diingat dari kepengurusan PWI Cabang Sulsel dalam 15 tahun terakhir ini  yaitu berhasilnya sosok yang bukan wartawan menjadi ketua PWI cabang. Ini sebenarnya kesalahan sejarah masa lalu yang tak terampuni bagi organiasi profesi ini dan tidak boleh dibiarkan.

Rasa-rasanya sebuah organisasi yang dibangun dengan “nawaitu” ketidakbersamaan beginilah hasil yang tidak "diberkati”. Sengkarut dan karut-marut. Pengelolaan organisasi dalam persekutuan dinasti dan tidak dapat membedakan lagi yang mana yang benar dan salah.

Oleh sebab itu, saya menyampaikan kepada Dewan Kehormatan PWI Pusat agar Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI harus direvisi pada kongres PWI mendatang. Perlu dicantumkan bahwa yang dapat dicalonkan sebagai ketua PWI adalah mereka yang benar-benar wartawan, bukan karena pemilik penerbitan media, bukan gara-gara lulus uji kompetensi wartawan (UKW) yang hasilnya dapat dimanipulasi dan para petinggi media dapat main mata dengan penguji UKW. Jika tidak, PWI Sulawesi Selatan akan terjerumus dipimpin oleh orang-orang yang tidak berlatar belakang wartawan.

Dan, saya melihat tanda-tanda itu mulai tampak dalam kepengurusan PWI Sulsel periode yang masih menunggu SK ini. Mulai tampak ada sosok yang diketahui hanya sebagai karyawan administrasi dan bukan wartawan dari salah satu  media mulai “ditanam” untuk kepentingan kelanjutan dinasti masa depan organiasi.

“Ya, Allah, semoga saja organisasi ini tidak “dirampok” lagi oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas, kompetensi, keterampilan, dan latar belakang kerja-kerja jurnalistik,” saya membatin.

Perubahan PD/PRT PWI sesuatu yang sangat mendesak agar organisasi ini mengikuti perkembangan zaman.  Untuk menjadi Ketua PWI Provinsi sesuai pasal 24 ayat 3 harus mencantumkan syarat profesionalitas. Organisasi ini sebuah lembaga profesi yang anggotanya bekerja berdasarkan kemampuan profesional, bukan profesionalitas abal-abal yang dapat distempeli dengan hasil UKW yang dapat diatur.

Syarat menjadi ketua yang tercantum dalam Peraturan Dasar: sudah menjadi Anggota Biasa sekurang-kurangnya 3 tahun; pernah menjadi pengurus PWI Provinsi, bersertifikat wartawan utama, dan sudah menjadi anggota sekurang-kurangnya satu tahun. Ini satu kelalaian dan kealpaan terstruktur yang tidak terpikirkan, sehingga organisasi ini dimasuki oleh “pendatang gelap”, mereka yang bukan wartawan.

Akibat kelalaian ini, Sulawesi Selatan menjadi salah satu provinsi yang menjadi “korban”. Ke depan, saya hanya khawatir, jangan sampai organisasi profesi ini secara kasatmata digiring untuk kepentingan bisnis satu pihak.
Lihat saja sang ketua yang segan tampil merepresentasikan organisasi dalam acara-acara resmi organisasi atau pun dengan lembaga atau institusi mitra lainnya. Kalau begini terus, organisasi ini akan melempem. Bagaikan televisi rusak, ada gambar tidak ada suara. Ada suara tidak ada gambar. Salam sehat. Wassalam. rmol news logo article

M. Dahlan Abubakar
Tokoh Pers versi Dewan Pers

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA