Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gejolak Indonesia Emas

Kamis, 18 Februari 2021, 14:44 WIB
Gejolak Indonesia Emas
Muhammad Rafsanjani/Net
SUATU kesempatan saya diskusi dengan para sahabat. Tengah asyik membahas kondisi kekinian, kita masuk pada bahasan mimpi Indonesia dan anak muda. Dua istilah yang marak diperbincangkan ketika menjawab persoalan bangsa ke depan.

Bukan tanpa sebab, negeri ini lahir dari sejarah panjang kemerdekaan. Akui saja, sejatinya anak muda berperan strategis dalam proses tersebut. Bahkan sampai kita kenal gerakan pada saat itu: golongan tua dan golongan muda.

Dari sana romantisme historis dimulai. Dari sana pula, dinamika harapan perubahan menumpuk pada generasi muda. Meski sejak lama pula gelombang globalisasi mewarnai pikiran dan tindakan dalam ragam wajah ideologi.

Dilema tren kekinian

Periode pembentukan Indonesia, gerakan pengorganisiran massa sangatlah kental mengubah keadaan. Kolonialisme yang mencengkeram kehidupan masyarakat berhasil memicu persatuan nasional dengan narasi kemerdekaan: Sumpah Pemuda, bercita-cita mengubah watak kolonial yang harus lenyap dari Indonesia.
Semangat kemerdekaan melandasi anak muda guna meningkatkan kapasitas diri. Mulai giat belajar, baca buku, sampai ikut organisasi massa dalam ragam warna ideologi di zamannya. Semua dilakukan demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka.

Konsistensi perlawanan melahirkan banyak tokoh bangsa, mulai dari Sukarno muda, Tan Malaka muda, Agus Salim muda, sampai Hatta muda, Wachid Hasjim, Wahab Chasbullah, Mas Manysur, dst lahir atas kesamaan narasi kemerdekaan.

Secara individu mereka memiliki ideologi, strategi berbeda-beda. Walaupun beda ideologi, partai politik, sampai orientasi bernegara, namun hakikat kemunculan anak muda Indonesia pada dasarnya sama: sama-sama didasarkan pada kapasitas intelektual dan tajamnya visi kemanusiaan. Perubahan tidak hadir dalam wadah cangkang kepala yang kosong dan jiwa yang kering.

Pengalaman tersebut adalah refleksi. Gerakan pemuda saat itu harus dijadikan rujukan, bukan terbatas jargon “anak muda.” Kita perlu rekonstruksi ulang makna pemuda sebagai harapan. Kita menjawab mimpi negeri ini. Lebih dari itu, fenomena dan trend belakangan ini—di mana anak muda dipertontonkan kehidupan sukses para influencer media sosial, boleh jadi orientasi masa depan anak muda menjadi kian sesak pada narasi kesuksesan, glamor, dan miskin penghormatan pada kondisi masyarakat kita.

Data Bappenas menunjukkan, akhir tahun 2019 tercatat Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Indonesia masih sangat rendah, atau setara dengan skor 51,50. Artinya, di antara negara ASEAN, kita hanya setingkat lebih tinggi dari Thailand, Kamboja, dan Laos.

Lebih jauh lagi, jika diukur melalui penilaian Global Youth Development Indeks, Indonesia menduduki peringkat 138 dari 183 negara seluruh dunia. Penilaian ini didasarkan pada 5 variabel utama, yakni pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta diskriminasi dan gender.

Itu jelas bukan berita baik. Tentu skor buruk ini menjadi gambaran besar kualitas anak muda Indonesia yang hanya berkutat pada mimpi-mimpi individual. Semangat perubahan anak muda Indonesia mampu menggetarkan lebih dari separuh bola dunia ini seolah tenggelam terbawa arus modernisasi semu dan gaya hidup medioker.

Saatnya kita mengubah trend, dari sekedar bergaya di berbagai platform media sosial, seks bebas, dan narkoba. Menjadi anak muda produktif, aktif bermasyarakat dan gerakan pengorganisiran massa. Semata-mata demi masa depan Indonesia. Sosial media adalah alat perjuangan, bukan memperalat kita dengan konsumerisme.

Wabah dan bonus demografi

Sepanjang 2020 dunia mengalami wabah Covid-19. Wabah berimplikasi pada mati surinya gerak ekonomi dunia. Virus ini menular hingga mampu memaksa seluruh aktivitas ekonomi menurunkan kuantitas produksi—bahkan tidak sedikit menghentikan produksi alias bangkrut. Matinya aktivitas usaha berimplikasi langsung pada ekonomi masyarakat grassroot. Naiknya tingkat kemiskinan sebesar 1,63 juta orang pada Maret 2020. Artinya penduduk miskin negara kita pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang (money.kompas.com, 2020).

Meningkatnya kemiskinan nasional karena wabah Covid-19, dalam kurun satu bulan pasca kasus pertama covid-19 muncul di Depok, memperburuk keadaan anak muda yang gemar kerumunan. Bahayanya, apabila terjadi kerumunan terkadang abai pada protokol kesehatan. Dengan aktivitas anak muda yang jauh dari produktivitas, upaya pemerintah menjaga masifnya penyebaran virus tentu jadi terhambat.

Melihat krisis yang terjadi hari ini, anak muda perlu berbenah. Kondisi ini menciptakan banyak tekanan ekonomi hingga mengancam nasib jutaan fresh graduate. Begitu banyak PHK serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Mindset hidup glamor pasca lulus pendidikan formal tentu tidak lagi berlaku: anak muda harus beradaptasi pada gejolak dunia yang semakin mencekik.

Lebih dari itu, jika kita tidak bisa menahan diri aktivitas tidak berguna di luar rumah, bonus demografi Indonesia emas 2045 bisa terancam. Bagaimana tidak, lapangan pekerjaan semakin sesak selagi angka usia produktif menumpuk.

Dari sinilah kita perlu menciptakan alam kompetisi pada level angkatan kerja muda yang sehat. Membangun ekosistem gerakan anak muda yang konsisten dan produktif. Perlu diantisipasi secepat mungkin, anak muda harus kembali pada hakikat historisnya: sebagai pendobrak zaman yang terus menerus belajar.

Kita semua harus optimistis. Anak muda selamanya garda masa depan. Namun, masa depan bagaimana yang mau kita tuju?

Semua gejolak sepenuhnya tergantung kita. rmol news logo article

Muhammad Rafsanjani
Calon Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA