Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

UU ITE, UU Salah Penerapan

Rabu, 17 Februari 2021, 11:04 WIB
UU ITE, UU Salah Penerapan
Ilustrasi/Repro
ANDA pernah menerima SMS atau WA yang bunyinya “mama minta pulsa”, “suami kecelakaan, di rumah sakit”, “anak di kantor polisi diduga bawa narkoba”, dan berbagai tipuan sejenis itu? Pernah juga pesan sesuatu di penjual online, lalu yang datang barangnya tidak sesuai pesanan? Atau, kiriman uang melalui transfer bank, uangnya enggak masuk-masuk?

Hal-hal itulah yang mendasari dibuatnya UU ITE pada 2008, di era Menteri Kominfo, M Nuh. UU ITE ini dimaksudkan untuk menangkal kejahatan dan penipuan melalui elektronik. Namanya saja Undang-undang Informasi dan Transaksi melalui Elektronik.

Tragisnya, UU ITE ini, khususnya di era pemerintahan Jokowi, sering digunakan untuk menangkap atau mempermasalahkan secara hukum kasus-kasus ujaran kebencian dan berita bohong. Padahal pasal ujaran kebencian dan kabar bohong itu hanya beberapa pasal saja dibanding seluruh pasal yang ada di UU tersebut.

Tragisnya lagi, yang disebut “ujaran kebencian” belum tentu ujaran kebencian, mungkin hanya kritik. Yang disebut kabar bohong atau hoax, mungkin kabar faktual namun fakta pahit.

Tragis yang ketiga, pasal-pasal ini kerap digunakan secara keliru. Misalnya, seorang guru di NTB yang curhat lewat WA pada temannya atas tindak pelecehan dari kepala sekolah, malah diperkarakan dengan UU ITE pasal pencemaran nama baik. Pelaku pelecehan yang melaporkan, dan laporan diterima polisi.

Di Medan, seorang perempuan kesulitan menagih utang pada seorang istri polisi, mencuit di media sosial tentang piutangnya itu. Bukannya dibayar, dia malah dilaporkan dengan UU ITE pasal pencemaran nama baik.

Kesalahan penerapan UU ITE ini tidak saja membuktikan kurangnya sosialisasi dan edukasi pada masyarakat, utamanya aparat penegak hukum, tetapi juga menjadi tidak adil bagi para korban UU ITE.

Kejahatan keuangan melalui perbankan dan provider telekomunikasi (yang memberikan kode PIN Bintang pada orang tak dikenal) dialami Ilham Bintang, jurnalis senior dan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Ketika sedang di Australia, dana di rekeningnya hilang sekitar Rp 500 juta. Kerugian material dan non-material (liburan yang terganggu, urusan hukumnya selama berbulan-bulan), diabaikan oleh sistem hukum: gugatannya ditolak oleh pengadilan. Hakim menganggap pihak bank dan lembaga provider tidak bertanggungjawab. Lalu, siapa yang bertangggung jawab?

Tragis yang keempat adalah UU ITE ini seringkali menyasar wartawan. Wartawan, terutama dari media online, harus ekstra hati-hati menulis berita.

Kabar tidak menyenangkan bisa dianggap mencemarkan nama baik. Kabar fakta pahit yang tak diakui pemerintah bisa dianggap hoax atau kabar bohong, bahkan fitnah. Ekspresi yang kritis bisa dituding mengujar kebencian.

Penerapan keliru atas UU ITE ini juga bisa dipicu kekurangpahaman aparat terhadap makna setiap pasal dan kurangnya pemahaman bahasa Indonesia. Aparat tak dapat membedakan “kritik” dan/atau “ujaran kebencian”, “fitnah” dan “pencemaran nama baik”. Dalam dunia jurnalistik, seorang tokoh publik bisa saja diberitakan yang menyebabkan tercemar nama baiknya.

Namun, sejauh itu fakta, itu tak bisa disebut fitnah. Sang tokoh berhak mengajukan keberatan karena privasinya terganggu. Namun, tokoh publik, apalagi pejabat pemerintah, tak bisa memproteksi privasinya. Dia punya istri kedua boleh saja, karena itu ranah privat, tetapi rumah yang dibelinya untuk istri kedua uangnya darimana, itu publik berhak tahu. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan wajib disoroti.

Salah satu risiko menjadi pejabat publik ya disoroti, dikritik. Kalau tak tahan kritik, jangan jadi tokoh/pejabat. Kovach dan Rosenthiel menyebut elemen kelima jurnalisme sebagai “wajib mengontrol kekuasaan”.

Lebih mengejutkan, seperti suatu hal ajaib, ketika Kantor Staf Presiden membentuk tim untuk mulai menggagas revisi UU ITE.
Pertama, apa tujuan revisi? Kedua, apa urusannya Kantor Kepresidenan dengan produk Undang-undang? Bukannya Kantor Staf itu mengurusi staf? Revisi UU ITE seharusnya menjadi urusan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kominfo, dan DPR.

Sebagai pengajar Etika dan Hukum Media dan pengamat perilaku media selama belasan tahun, saya menganggap UU ITE tidak perlu direvisi. Yang perlu: diluruskan penerapannya, khususnya diperkuat penerapan pasal untuk kejahatan perdagangan dan keuangan melalui elektronik.

Sudah banyak korbannya. Laporan kerugian material dan psikis (siapa tak kaget ada telepon suami di rumah sakit atau anak di kantor polisi diduga bawa narkoba?) yang datang dari masyarakat tidak pernah ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian. Warga negara sekelas Ilham Bintang saja (yang kerap bertemu Presiden) dipatahkan gugatannya.

UU ITE selama ini seperti momok bagi para jurnalis dan warganet. Ketika UU Pers menjadi perlindungan yang kokoh terhadap kebebasan pers, UU ITE mematahkannya. Jurnalis dan warganet dibayang-bayangi kecemasan tulisan atau laporannya terjaring UU ITE.

Stop kecemasan ini. Pada para jurnalis dan warganet, jangan mundur. Sampaikan fakta, gunakan bahasa yang baik. Ingat elemen pertama Kovach & Rosenthiel: kewajiban utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Atau setidaknya menelusuri kebenaran. rmol news logo article

Dr. Sirikit Syah, MA

Wartawan senior dan pengajar Jurnalistik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA