Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto berpandangan, keinginan Presiden untuk meminta masyarakat aktif untuk mengkritik kebijakan jadi seperti absurd dan ambigu. Sebab, di sisi lainnya masyarakat menjadi ketakutan dalam melakukan kritik baik secara langsung maupun melalui media sosial lantaran kerap disasar buzzer dan dilaporkan ke Polisi dengan jerat UU ITE.
"Pemerintah mestinya memiliki inisiatif untuk merevisi UU ITE," kata Satyo kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (13/2).
Tidak cukup mervisi UU ITE, Satyo berharap Presiden juga memulai untuk merubah kultur Kepolisian dalam fungsi pengayoman tertib sipil. Sebab selama ini, kata Satyo, pemerintah cenderung diam melihat pemidanaan sehingga muncul dugaan kuat bahwasanya pemerintah seolah merestui aparat Kepolisian menangkapi para aktivis yang melakukan kritik kepada kebijakan pemerintah.
"Selain itu, untuk tanda keseriusan Presiden menerima kritik perlu diuji dengan mulai memberikan Abolisi, Grasi, Amnesti dan Rehabilitasi terhadap semua orang yang sedang menghadapi persidangan, penahanan dan yang terlanjur menjadi terdakwa yang dijerat oleh UU ITE akibat mengkritik kebijakan pemerintah," tandas Satyo.
Mantan Sekjen jaringan aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) ini kemudian menyoroti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akhir-akhir ini mengkritik pemerintah khususnya wacana pemerintah membuka ruang bagi pengkritik. Menurut Satyo, sikap Jusuf Kalla ini ibarat pahlawan kesiangan, sebab sejak menjabat sebagai Wapres sudah banyak aktivis yang dipidana akibat melakukan kritik terhadap pemerintah.
"Mengapa baru berkomentar sekarang pak? Sebab dimasa beliau menjabat Wapres pun sudah banyak pengkritik yang menjadi korban penerapan UU ITE ini," demikian Satyo Purwanto.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: