Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menata Masa Depan USU

Senin, 08 Februari 2021, 23:58 WIB
Menata Masa Depan USU
Kampus Universitas Sumatera Utara/Net
PEMILIHAN dan pelantikan Rektor USU telah usai. Akan tetapi di sana sini masih tersisa perbincangan sebagai akibat dari isu plagiarism terhadap rektor terpilih.

Ada yang mengatakan intervensi politik terlalu kuat dalam pertarungan pemilihan rektor kali ini. Walaupun dari tahun ke tahun faktor politis tak terhindarkan.

Hal itu, karena sejak awal suara 35 persen yang dimiliki oleh pihak Kementerian Dikbud dalam kedudukannya sebagai anggota MWA pada  pemberian suara dalam pemilihan rektor. Ketentuan ini tak bisa lagi diutak-atik karena ketentuan itu telah tertuang dalam PP 16/2014 Tentang Statuta USU.

Akan tetapi dampak dari itu semua, kerap kali menimbulkan sisa-sisa konflik yang suka atau tidak suka pihak Kementerian menjadi pihak yang terkena dampak.Jika kebijakan yang diambil salah langkah atau setidak-tidaknya melihatkan keberrpihakan pada kelompok tertentu.

Dalam beberapa kasus Kementerian kerap kali "kehilangan muka" jika Rektor yang ia dukung ternyata tak terpilih atau setelah terpilih kemudian dipersoalka karena "cacat" pada persyaratan mnateril dan formil. Untuk kasus USU di sinilah letak "persengketaannya".

Akankan persengketaan ini dibiarkan berkepanjangan? Sebagai institusi yang mengelola pendidikan tampakanya, kearifan para stake holder USU hari ini dituntut. Dituntut karena hal ini menyangkut nasib 50.000 mahasiswa USU yang sedang dan akan menyelesaikan studinya.

Jangan sampai karena "keangkuhan"  kita dalam mencari penyelesaian kasus ini menumbulkan warisan yang kurang baik buat USU ke depan.

Tulisan berikut ini ingin mengajak kita semua, Rektor terpilih, Ketua dan Anggota MWA, Senat Akademik, Dewan Guru Besar, para dosen dan mahasiswa agar merenung sejenak dan menurunkan frekuensi "permainan" sembari mencari solusi terbaik bagi USU ke depan.

MWA Segera Menggelar Rapat

Pasca Pelantikan Rektor, tak ada salahnya MWA menggelar rapat, dengan agenda Menghimpun Masukan dan Menatap  Masa Depan USU.
Rapat ini sangat penting, karena USU adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang memiliki kewenangan yang otonom di bidang akademik dan non-akademik,  sebagaimana ditegaskan dalam PP 16 Tahun 2014 Tentang Statuta USU, Pasal  asal 2 ayat (1).

Itulah sebabnya  USU memiliki kewenangan antara lain untuk menetapkan organisasi, tatakelola dan mekanisme pengambilan keputusan secara mandiri, vide Pasal 23 ayat (2) butir a.

MWA memainkan fungsi sentral dan strategis dalam pengelolaan USU, sebab lembaga ini seumpama Perseroan Terbatas, ia adalah owner.

Itulah sebabnya keanggotaan MWA harus memiliki keterwakilan yang terdiri dari unsur; wakil masyarakat, wakil pemerintah serta wakil Dosen dan Guru Besar (yang sebelumnya keterwakilannya dititipkan kepada Senat Akademiki).

Dalam kapasitasnya yang demikian menurut ketentuan Pasal 27,  PP 16 Tahun 2014 tentang Statuta USU  diaturlah secara rinci tugas dan wewenang MWA yang antara lain; mengangkat dan memberhentikan rektor, melaksanakan pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan USU, menangani penyelelesaian tertinggi atas permasalahan di USU.

Khusus untuk menangani penyelelesaian atas permasalahan di USU, jika MWA tidak dapat menyelesaikannya, barulah masalah tersebut diselesaikan oleh Menteri.

Hari ini, meskipun Rektor telah dilantik, janganlah kita mengira semua persoalan sudah selesai. Banyak opersoalan yang masih tersisa yang perlu didiskuysikan kembali, pasca pelantiukan rektor.

Persoalan ini ibarat "api dalam sekam" tak terlihat tapi panasnya bisa membuat tumbuhan di sekitarnya terbakar.

Semua kita harus paham bahwa oposisi, kalau boleh dikatakan demikian dalam kepemimpinan rektor terpilih hari ini berbanding 52:37:11. Inilah yang harus dikelola oleh MWA dengan hati-hati.

Pencerminan oposisi itu itu terjelma dalam komposisi Senat Akademi dan Komposisi MWA, walaupun hari ini sudah memiliki kecenderungan bergeser.

Pengakuan Rendah Hati Ikhlas

Semua sivitas akademika USU harus mengakui dengan hati yang lapang bahwa, USU sudah memiliki pucuk pimpinan yang secara hukum memiliki kewenangan yang sah untuk bertindak dan berbuat sesuai tugas dan fungsinya sebagai Rektor.

Setelah pelantikan Dr. Muryanto Amin, S. Sos.,M.Si, menjadi Rektor USU Periode Tahun 2021-2026, Tanggal 28 Desember 2020, di Jakarta dan diiringi dengan terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebiudayaan-RI Nomor 6169/MPK.A/KP/2021 Tentang Pencabutan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 82/UN5.1.2/SK/KPM/2021 Tentang Penetapan Sanksi Pelanggaran Norma, Etika Akademik/Etika Keilmuan dan Moral Sivitas Akademika Atas Nama Dr. Muryanto Amin, S.So., M. Si dalam Kasus Plagiarisme, Tanggal 27 Januari 2021, yang ditanda tangani oleh Nadiem Anwar Makarim.

Tak ada yang boleh dan yang bisa menyalahkan Dr. Muryanto Amin, S.So., M. Si. Sebab beliau sudah memenuhi semua rangkaian proses untuk duduk sampai ke puncak jabatan itu.

Beliau sudah mengikuti rangkaian proses mulai dari pencalonan sampai pada pemilihan. Setelah terplih menyeruak kasus self-plagiarism yang dipersangkakan padanya.

Beliaupun mengikuti semua proses terkait penyelesaian peristiwa itu. Mulai dari memberikan pembelaan di depan Sidang Komisi I DGB sampai pada memberikan keterangan dalam rangkai pemeriksaan pada Komisi Etik.

Rektorpun telah menerbitkan Keputusan, karena itu rektorpun tak bisa dipersalahkan, karena Rektor telah menegakkan aturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Sebab jika Rektor tidak melakukan itu, Rektor juga dapat dijatuhi sanksi hukum.

Dewan Guru Besar dan Komisi Etik juga tidak dapat dipersalahkan, mereka telah menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai aturan yang berlaku di lingkungan USU (OK.Saidin, https://fnn.co.id/2021/02/07/usu-pasca-pelantikan-rektor-muryanto-amin-bagian=4--enutup/)

Sisa konflik yang belum selesai kalaupun ada pihak yang harus kita minta pertanggung jawabannya hari ini, maka pertanggungjawaban itu ada pada;

Pertama, Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara. Seberapa jauh badan ini menjalankan amanah rakyat Sumatera Utara, amanah Rakyat Indonesia dalam menyikapi dan menangani kasus ini?

Apakah MWA dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan Universitas Sumatera Utara sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum?

Kedua, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pertanyaannya sama. Seberapa jauh lembaga ini menjalankan tugas dan fungsi dalam menyikapi dan menangani kasus ini?

Apakah pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan Universitas Sumatera Utara?

Apakah telah menempatkan dengan semestinya bahwa Universitas Sumatera Utara sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang otonom?

Jawaban atas pertanyaan itu ada pada kedua institusi ini dan itu akan menentukan jalannya Universitas Sumatera Utara ini ke depan.

Upaya Hukum dan Rekonsiliasi

Jika upaya kompromi melalui Rapat MWA tidak tercapai, maka upaya yang dapat dilakukan adalah melalui upaya hukum.

Hasilnya bisa digunakan untuk menyembuhkan siapa yang terluka dalam waktu singkat atau justeru keduanya memperpanjang luka, atau menambah luka baru.

Tak ada yang bisa memperkirakan USU ke depan akan jadi seperti apa? Penyelesaian yang terakhir ini tentu tidak kita inginkan, karena pada akhir nya kita akan mempertaruhkan nasib 53.000 mahasiswa dan keberadaan USU ke depan.

Penyelesaian melalui upaya hukum ini baik juga dilakukan, untuk menjamin adanya keopastian hukum bahwa persyaratan materilk untuk bisa diangkat menjadi rektor tak boleh ditawar-tawar.

Plagiat adalah musuh bersama civitas akademika di Perguruan Tinggi. Kalau lembaga peradilan obyektif, dan kebenaran materil bisa berpihak ini adalah bentuk oenyelesaian yang adil.

Walaupun ini juga akan meninggalkan luka. Apapun juga USU memang sedang terluka.


Oleh karena itu mungkin ada jalan tengah, jalan rekonsiliasi, jalan kompromi melalui perundingan yang diprakarsai oleh MWA dan mereka-mereka yang dipandang memilkiki kredibilitas untuk mennjembastani persoalan ini.

Misalnya Gubernur Sumatera Utara dan beberapa tokoh senior USU dngan melibatkan Menteri, Perwakilan Senat Akademik, Perwakilan Dwwan Guru  Besar dan MWA.  

Dengan begitu, mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari kasusu ini dan kemudian bersama kita kubur semua persoalan, kita buka lembaran baru.

Caranya kita benahi kembali apa yang keliru dan tersilap. Hukum tertinggi adalah hati nurani dan kebenaran Ilahiyah.

Jika Tuhan dapat memaafkan hambanya, dan Presiden-pun bisa memberikan ampunan terhadap rakyatnya yang diatuhi hukuman, mengapa kita tidak.

Cari jalan penyelesaian yang arif dengan penuh kebijaksanaan. Yang pekak kita minta menghembus lesung, yang tuli kita minta menembakkan meriam.

Jadikan semuanya berguna dan hargai semua potensi akademik yang kita miliki.

Persoalan hukum yang menanti di depan, jika diselesaikan melalui pengadilan bukanlah solusi yang baik.

Hukum mungkin bisa memberi rasa kepastian, tapi tak bisa memulihkan keadaan yang telah tercabik-cabik. Akan terjadi perdebatan di Pengadilan.

Mulai dari perdebatan istilah tentang self-plagiarism yang tak dikenal dalam Permendiknas No. 17 Tahun 2010, sampai dengan penggunaan istilah yang keliru atau nama yang salah (misnomer).

Tapi inti permasalahannya bukan di situ, perbuatan itu ada, apakah namanya salami publication, double publication, publikasi ganda, menjadi tak penting lagi ketika hal itu termasuk pada kualifikasi pelanggaran Etika  Publikasi menurut Perkep LIPI N0.5 Tahun 2014.

Tapi dengan duduk bersama akan bisa dihapuskan dan dihilangkan hal-hal yang mendera perasaan selama "pertarungan" ini, dengan satu kata yakni "maaf".

Bukankah hukum tertinggi adalah hati nurani? Dengan hati nurani kita hargai Keputusan Rektor tentang penjatuhan sanksi, agar tidak terulang kejadian yang sama.

Toh Keputusan Rektor hanya menjatuhkan sanksi etik, yang bisa dihapus dengan kata ma'af. Dengan begitu Rektor dan Komisi Etik tidak kehilangan "muka".

Mungkin pertanyaannya, mengapa tidak Rektor saja yang mencabut Keputusannya? Rektor yang menerbitkan keputusan itu telah berakhir masa tugasnya.

Sangat tak etis pula kalau Rektor yang sekarang mencabutnya, apalagi hal itu menyangkut dirinya sendiri.

Bagaimana dengan Keputusan Menteri yang telah mencabut SK Rektor?  

Berdasarkan hasil kesepakatan yang diputus dalam rapat MWA,  Menteri bisa meninjau kembali Keputusannya tentang pembatalan SK Rektor USU terkait penjatuhan sanksi.

Dasar pertimbangan Surat Keputusan Menteri tentang Pembatalan Keputusan Rektor USU sangat banyak kekurangannya, tidak menyebutkan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2014 tentang Statuta USU dalam Konsideransnya, dan tidak ditujukan kepada siapa keputusan itu dialamatkan.

Keputusan itu terbit tanggal 27 Januari Tahun 2021, sedangkan undangan pelantikan rektor telah beredar tanggal 26 Januari 2021.
Artinya lebih dulu Keputusan untuk pelaksanaan pelantikan daripada Keputusan Pencabutan Keputusan Rektor USU.

Ini tentu akan menjadi perdebatan baru jika ini di bawa ke ranah hukum. Apalagi dalam perspektif Hukum Administrasi Negara yang dapat membatalkan Keputusan Rektor sebagai keputusan Pejabat Negara adalah pihak yang menerbitkannya, yakni Rektor USU sendiri.
Atau pembatalannya dilakukan atas perintah pengadilan yakni keptusan lembaga Peradilann Tata Usaha Negara, bukan melalui Keputusan Menteri.

Sekali lagi sengketa ini jangan diperpanjang, jika kita hendak mencari penyelesaian yang arif dan nenyeluruh.

Melalui "urun rembuk" ada banyak yang bisa terselamatkan. Paling tidak ini bisa menyelamatkan MWA dan Kementerian dari gugatan yang mungkin akan muncul bertubi-tubi.

Jangan ada lagi pihak yang nengatakan, jika digugat di Pengadilan kita hadapi saja, kita, "biarkan saja" anjing menggonggog kafilah berlalu.

Tapi itu akan meninggalkan banyak luka dan oreseden yang buruk bagi kampus ini di kemudian hari dan  berpotensi untuk semakin merusak kredibilitas USU di masa datang.

Jika ini terus dibiarkan tak ada yang mengambil inisiatif untuk meredahkannya, maka "keterbelahan" ini akan berkepanjangan dan mungkin akan diwariskan selama bertahun-tahun, yang menang jadi arang yang kalah jadi abu, telungkup makan pasir, terlentang makan debu.

Mari masing-masing kita menurunkan "tensi" permainan menuju keseimbangan mental dan spiritual agar energi kita tidak terbuang sia-sia.

Begitupun terpulang kepada seluruh Sivitas Akademika Universitas Sumatera Utara, saya hanya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip E.F. Schumacher, "Seorang Ilmuwan sejati tugasnya adalah menyelesaikan hal-hal yang rumit menjadi sederhana, bukan membuat hal-hal yang sederhana menjadi rumit." (Schumacher, Small is Beautiful, 1973).rmol news logo article

Ok Saidiin

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU 2020-2025

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA