"Seharusnya, dievaluasi dan diaudit dulu dong. Iya diaudit bisa oleh auditor negara, seperti BPKP atau BPK," kata Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (3/2).
Jelas Uchok, alasan untuk diaudit karena pemerintah harus berkaca pada Survei Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, yang menunjukkan indikasi program Kartu Prakerja memang salah sasaran.
Sebanyak 66,47 persen penerima program ini statusnya masih 'bekerja', sementara penerima dengan status 'pengangguran' hanya 22,24 persen, dan sisanya 11,29 persen diisi Bukan Angkatan Kerja (BAK).
Menurutnya, kalau pemerintah tetap ngotot menaikkan anggaran dua kali lipat, maka anggaran negara bisa tidak tetap sasaran alias mubajir.
"Dan kedua, ada dugaan korupsi dalam realisasi kartu pekerjaan ini karena datanya tidak diperbaiki dulu. Berpeluang munculnya lahan korupsi," demikian Uchok Sky Khadafi.
Pemerintah menambah anggaran untuk program Kartu Prakerja pada 2021, dengan jumlah menyentuh Rp 20 triliun dari rencana awal Rp 10 triliun. Dalam bahan paparan Kementerian Keuangan, tambahan anggaran disebut "mendesak" untuk menangani dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Kenaikan anggaran ini seolah mengulang kejadian serupa tahun lalu. Awalnya anggaran Kartu Prakerja ditetapkan Rp 10 triliun untuk menjangkau dua juta pencari kerja yang membutuhkan pelatihan. Pada Maret 2020, pemerintah tiba-tiba menaikkan anggarannya menjadi Rp 20 triliun dengan dalih ingin memberi bantuan sekaligus melatih para korban PHK akibat pandemi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: