Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menyongsong HPN 2021 dan Menyoal Konferensi PWI Sulsel

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Minggu, 31 Januari 2021, 10:20 WIB
Menyongsong HPN 2021 dan Menyoal Konferensi PWI Sulsel
Aksi penolakan terhadap Ketua PWI Pusat Atal S. Depari di Makassar/Net
KALAU cinta sudah dibuang
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Bongkar, Iwan Fals

Lagu itu diciptakan Iwan Fals tahun 1989. Pada masanya seperti oase yang memberi oksigen pada masyarakat yang frustrasi di tengah cengkeraman kekuasaan Orde Baru. Lagu itu sangat populer, biasa dinyanyikan bocah-bocah di jalanan, para pengamen jalanan hingga  perhelatan di rumah-rumah para pejabat  dan dengan suka ria dilantukan para pejabat itu sendiri. Belum lama lagu itu beredar kembali di media sosial menjelang pergantian Kapolri Jendral  Idham Azis oleh Jendral  Lystio Sigit Prabowo.

Idham Azis memang pernah menyanyikan lagu itu  tidak lama setelah dilantik menjadi Kapolri. Ia berduet dengan Pasha Ungu ketika menyanyikan lagu “Bongkar” di depan korps Bhayangkara. Suaranya merdu, dan dibawakan dengan sangat ekspresif, Idham sampai jongkok segala. Dinyanyikan Idham lagu “Bongkar” seperti mendapatkan daya dorong yang kuat menyemangati rakyat karena dinyanyikan oleh otoritas keamanan tertinggi di negeri ini.

Saya tidak akan menilai apakah harapan yang dinyanyikan Kapolri RI itu berbanding lurus dengan realitas yang ada selama Idham Azis memimpin Polri.

Saya tiba-tiba  mengingat lagu “Bongkar” kembali ketika dikontak beberapa teman wartawan baru-baru ini. Ditanya apakah benar cara wartawan Sulsel memprotes beberapa hal yang diduga menyimpang dari penyelenggaraan Konferensi PWI Provinsi Sulsel yang dilaksanakan pagi ini di Makassar?

Terus terang sudah hampir sebulan saya cukup “diganggu” kemelut  internal PWI Sulsel. Dua perangkat smartphone menjadi sasaran pengaduan teman-teman di PWI Sulsel, juga teman-teman dari daerah daerah lain, dan di Jakarta sendiri.

Bayangkan! Di tengah pandemi ini, mestinya konsentrasi pada upaya kita meningkatkan imunitas, datang pula urusan PWI Sulsel yang sebenarnya sangat elementer. Padahal, cukup meluangkan waktu membaca semua aturan organisasi, kode etik, dan kode perilaku PWI,  niscaya semua masalah yang timbul bisa ketemu duduk perkaranya.

Tapi memang sulit menghindar, Kongres PWI bulan September 2018 memilih saya secara aklamasi untuk posisi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Naik Perahu


Dalam catatan saya dua priode memimpin DK PWI,  PWI Sulsel memang paling sering bergejolak. Jejak digital PWI Sulsel paling sering memecat anggotanya, bahkan anggota pengurusnya sendiri. Pernah ada 27 anggota diusulkan dipecat, tetapi saya tolak karena syaratnya tidak terpenuhi. Yang paling parah, ada anggotanya yang diadukan ke polisi dan sempat beberapa bulan di penjara. Dalam  berbagai diskusi, DK PWI pernah menyimpulkan masalah PWI akan selau timbul jika pengurus bukan dari “darah daging wartawan”, meminjam istilah Harmoko, mantan Ketua PWI Pusat.

Dalam sejarah PWI, yang tampil memimpin memang para pemilik media, namun mereka adalah wartawan, terlebih dahulu merasakan melakoni profesi wartawan kemudian sukses menerbitkan media sebagai usahanya. Begitupun, mereka semua mematuhi apa yang dikenal dalam dunia pers yaitu “fire wall”, batas kewenangan dan pendelegasian kewenangan, khususnya bidang redaksi yang harus steril. Sebutlah beberapa nama tokoh penting untuk golongan ini: Jakob Oetama, Harmoko, BM Diah, Manai Sophiaan, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan banyak lagi. Sebagian dari mereka malah tercatat ikut mendirikan PWI 9 Februari 1946  di Solo.

Kalau saja ada waktu membuka sejarah pembentukan PWI, niscaya Anda akan lebih takjub. Peristiwa itu menyatukan puluhan organisasi wartawan yang bertebaran di seluruh Tanah Air. Mereka bersatu untuk melindungi RI dari gangguan kekuasaan penjajah Belanda. Mereka dari berbagai daerah berkumpul di Solo pada momen itu. Manai Sophiaan  memerlukan 35 hari perjalanan dari Makassar untuk sampai di Solo dengan menumpang perahu. Situasi masa itu amat mencekam, maklum Indonesia baru satu tahun memproklamirkan kemerdekaan.

Cengkeraman Belanda dan sekutunya masih sangat mengancam Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Maka, tahun 1985 pemerintah tepat mengabadikan peristiwa itu dengan menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional yang setiap tahun diperingati oleh masyarakat pers bersama Presiden RI.

PWI Sulsel


PWI Sulsel merupakan Cabang PWI penting. Reputasinya  di masa lalu membanggakan anak cucu. Memberi kontribusi besar bagi perkembangan demokrasi di Sulsel. Penghargaan masyarakat kepada wartawan setara penghormatan kepada perahu Phinisi dan klub sepakbola PSM.

Tokoh-tokohnya yang merupakan generasi awal, seperti LE Manuhua, M Basir, Syamsuddin Mangawing, Harun Rasyid Djibe membuat professi wartawan terhormat di mata masyarakat. Mengilhami generasi penerusnya untuk menekuni professi kewartawan. Saya salah satunya. Kepemimpinan PWI Sulsel yang paling berkesan ialah ketika di tangan Rahman Arge, wartawan, seniman, dan budayawan yang amat produktif. Hingga akhir hayatnya masih terus menyumbangkan pemikiran lewat esainya di berbagai media nasional. Wartawan di Sulsel mengenangnya sebagai sosok pemimpin wartawan yang egaliter. Tokoh-tokoh pers di masa Arge, seperti Arsal Alhabsy, Rahman dan Ramiz Parengrengi, Zainal Bintang, Alwi Hamu, Syamsu Nur, Husni Djamaluddin, bahu membahu menjaga dan membesarkan PWI Sulsel.

Histori itu bisa menjelaskan mengapa  saya punya perhatian lebih  pada PWI Sulsel. Sebaliknya ada perasaan malu (dipermalukan) tiap kali timbul gejolak di PWI Sulsel hanya karena persoalan ketidakcakapan pemimpinnya mengelola organisasi.
             
Demo Wartawan


Kembali ke pertanyaan: apakah layak wartawan anggota PWI berunjuk rasa memprotes pemimpin organisasinya? Pertanyaan ini sebenarnya menempati urutan ketiga yang masuk di WA saya.

Pertanyaan yang menempati urutan pertama dari ukuran kuantitas adalah: layakkah pengurus PWI Sulsel membuat begitu banyak aturan untuk membekap aspirasi anggota di forum konferensi ?

Pertanyaan kedua: apa sikap Dewan Kehormatan PWI Pusat merespon masalah yang pertama itu?

Era Digitalisasi


Saya kilas balik sedikit kisah  menjelang Kongres PWI di Solo September 2018. Suatu siang, Atal Depari yang akan mencalonkan diri menemui saya di kantor. Ada dua kandidat yang memiliki kekuatan pendukung sama. Hendry Ch. Bangun, Sekjen PWI Pusat, adalah kompetitornya. Dua-dua saya kenal baik, dua-duanya sahabat dalam pengertian sesungguhnya.

Terbukti, dalam kongres Solo dukungan yang mereka peroleh hampir  sama banyaknya, cuma selisih sedikit, kalau tidak salah dua suara yang dimenangkan Atal

Di kantor, Atal memaparkan programnya. Yang mengesankan rencana era digitalisasi dalam kepengurusan PWI Pusat lima tahun ke depan. Saya menilai hanya itu yang baru. Program lain, normatif saja. Semua komunikasi dengan sesama pengurus serta pengurus dengan anggota di seluruh Indonesia dijanjikan Atal  melalui media digital. Itu yang membuat saya kepincut dan langsung menyatakan dukungan. Memang itu menjadi janji utama kampanye Atal. Dia malah sempat memperagakan program itu di depan kongres yang disambut dengan tepuk tangan gempita semua peserta.

Era digitalisasi pada hakekatnya adalah era keterbukaan, organisasi dikelola secara transparan. Dengan media digital, akan terdeteksi kesalahan sekecil apapun, dan semua anggota bisa ikut mengoreksi, ikut berpartisipasi dan berinteraksi. Betapa indahnya. Era digitalisasi Atal bukan sekadar urusan tehnis.

Kalau saya menulis catatan ini secara  terbuka untuk dipublish itu adalah kehendak kongres pada komitmen ketebukaan PWI di era digitalisasi. Dengan kata lain, sebenarnya saya tidak terganggu kalau wartawan di Makassar berunjuk rasa menyampaikan protes lewat poster kepada pengurus PWI, yang notabene protes itu ditujukan kepada DK PWI juga yang tupoksinya memang melakukan pengawasan.

Sejauh penelusuran, aksi itu muncul karena salurannya tersumbat. Konferensi PWI Sulsel yang berlangsung sekarang memang tidak dilaksakan sesuai fungsinya: menjadi forum seluruh anggota mengevaluasi kinerja pengurus setiap lima tahun sekali. Panitia membatasi kehadiran anggota dengan alasan pandemi.

Padahal, alasan pandemi sebenarnya bisa diatasi secara kreatif dengan penyelengaraan konferensi secara virtual. Malah dengan teknologi bisa melibatkan kesertaan seluruh anggota dari berbagai kabupaten, pun dengan anggota yang sedang berada di luar negeri. Seperti halnya dilakukan dalam rapat kabinet dan bahkan sidang pengadilan tindak pidana. Sesuatu yang sudah diprediksi bakal terjadi oleh Atal pada 2018 dengan program digitalnya.

SK PWI Pusat


Seminggu ini saya cukup aktif berkomunikasi dengan Ketua Umum PWI Atal Depari. Saya menyampaikan beberapa fakta yang patut diduga pengurus PWI Sulsel dan bahkan PWI Pusat sendiri melanggar PD/ PRT organisasi.

PWI Pusat menerbitkan SK PWI Pusat No 164/- PLP/PP-PWI/2020 tertanggal  11 Agustus 2020, yang ditandatangani Ketum, Sekjen, dan Ketua Bidang Organisasi sebagai pedoman penyelenggaraan konferensi bagi Provinsi dan Kabupaten/ Kota di masa pandemi. Tampaknya kekisruhan di beberapa konferensi PWI, termasuk di  PWI Sulsel sekarang karena menjadikan SK PWI 164 itu sebagai pedoman.

Kongres/ konferensi pada dasarnya adalah forum tertinggi anggota untuk mengevaluasi pengurus dalam satu priode.  Kita sering menyebutnya pesta demokrasi anggota. Sebaik-baik kongres/konferensi adalah yang dihadiri sebanyak-banyaknya anggota.

PRT yang mengatur konferensi terdapat pada pasal  33 ayat 2. Pasal itu tegas memerintahkan: Konferensi  sah jika dihadiri oleh sekurang- kurangnya 2/3 jumlah anggota Biasa dengan ketentuan: “Jika anggota biasa yang hadir kurang dari dua pertiga, konferensi harus ditunda selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan".

Jelas sekali semangat dari pasal itu  menginginkan kehadiran seluruh anggota. Sekali lagi, "sekurang-kurangnya duapertiga anggota biasa" mestinya dibaca idealnya adalah seluruh anggota.

SK PWI Pusat 164 tanggal 11 Agustus telah mereduksi Pasal 33 ayat 2 PRT itu, karena membuat keputusan begini:  “Konferensi atau pemilihan langsung hanya diikuti lebih kurang 50 persen”. Ini jelas mengubah fondasi konferensi yang diperintahkan kongres.

Kemungkinan besar  yang merangcang SK itu tidak membaca PD pasal 33 ayat 2  yang isinya begini:  Perubahan Peraturan Dasar. Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Jurnalistik, Kode Perilaku Wartawan, lambang, panji, lencana, mars, hymne, dan kartu anggota ditetapkan oleh Kongres.   

Terkait dengan keadaan di masa pandemi, PWI Pusat memang boleh  menunda (diskresi) penyelenggaraan konferensi bahkan sampai pandemi terkendali.

Dengan alasan sama pemerintah pernah membuat diskresi untuk Pilkada 2020 yang jadwalnya ditunda  dari September menjadi Desember 2020. Namun, penyelenggara pilkada tidak mereduksi hak rakyat / pemilih.

Sedangkan SK PWI 164 jelas mereduksi hak anggota yang diatur dalam pasal 33 ayat 2. Perubahan  pasal apapun di PD/PRT harus melalui Kongres.

Dengan fakta-fakta itu wartawan anggota PWI Sulsel memang  bisa menyoal keabsahan konferensi PWI Sulsel sekarang ini.

Ada juga pengaduan dari Soppeng. Ketua PWI Kabupaten Soppeng Rachmat  memberitahukan, dia digeser (diksi  bahasa digital: "diremoved") sebagai Ketua PWI Soppeng oleh Ketua PWI Provinsi Sulsel. Padahal Rachmat  dipilih dalam suatu pemilihan yang berlansung demokratis  di Soppeng pada tahun 2017. Pengangkatannya pun sebagai ketua PWI Soppeng  disahkan oleh SK Pengurus PWI Pusat. Bagaimana bisa sebuah SK PWI Pusat diabaikan dan dikalahkan begitu saja oleh keputusan PWI Sulsel?

PWI Sulsel mengganti Rachmat dengan ketua baru, Agus Wittiri, tanpa SK pemberhentian untuk Rachmat. Yang menggantikannya dikenal sebagai pengurus PAN Soppeng. Belakangan setelah diprotes, PWI Sulsel meralat keputusannya itu. Tanpa memberhentikan Agus Wiitri, SK PWI Sulsel kemudian mengangkat seorang pengurus PWI di Sulsel menjadi koordinator di Soppeng. “Sekarang, di PWI Soppeng ada tiga ketuanya Pak," Rachmat menyindir.

Tapi, "damage has been done". Keputusan PWI Sulsel itu, jelas merupakan pelanggaran butir 2, pasal 26 PD PWI. Pasal ini  sejak  reformasi sudah diberlakukan. PWI  mengharamkan semua pengurusnya di pusat dan daerah merangkap jabatan atau duduk sebagai pengurus partai politik.

Nah, dari kasus Soppeng saja setidaknya ada dua pelanggaran PD/PRT PWI dilakukan pengurus PWI Sulsel.

Saya juga menelusuri  surat keputusan PWI Pusat yang meralat skorsing anggota PWI Sulsel tanpa mematuhi prosedur yang berlaku. Ada yang dibatalkan sanksinya, ada yang semula skorsing penuh melalui sebuah surat biasa kepada PWI Sulsel.

Pemberhentian penuh Sekretaris PWI Sulsel atas nama Anwar Sanusi lebih parah lagi. Waktu diskorsing pakai SK, tetapi waktu diberhentikan secara penuh hanya berupa  surat pemberitahuan biasa kepada Ketua PWI Sulsel. Tidak ada penjelasan pula, apakah yang bersangkutan diberhentikan keanggotaannya atau sebagai sekretaris PWI. Surat pemberhentiannya  tanpa pula mencantumkan pokok kesalahan yang bersangkutan.

Lagu “ Bongkar” Iwan Fals yang dinyanyikan Idham Azis mengalun kembali. Saya sudahi catatan sampai di sini. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA