Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masa Depan Homo Digitalis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Selasa, 05 Januari 2021, 19:52 WIB
Masa Depan Homo Digitalis
Ilustrasi Media sosial/Net
REMANG. Dalam keremangan antara terang dan gelap, kehidupan manusia masa depan disusun melalui rutinitas yang semakin terkoneksi dengan jejaring digital.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Berbagai perangkat teknologi, tidak hanya memudahkan aktivitas keseharian manusia, tetapi juga menjadi perangkap baru dari hal-hal buruk di kemudian hari.

Sebutan homo digitalis memberikan ilustrasi tentang interkoneksi yang saling terhubung serta tidak terpisahkan, antara manusia dan berbagai instrumen alat modern.

Dalam perspektif suram, media sosial sebagai aplikasi dari kemajuan teknologi telah berubah menjadi sebuah budaya baru yang mencekam.

Melalui film semi dokumenter, The Social Dillema, 2020 seolah ada alarm yang mengingatkan kita akan dampak buruk dari pengaruh teknologi jejaring sosial.

Makna sosial yang dibentuk melalui kemampuan teknologi dalam media sosial, ternyata tidak sepenuhnya positif secara sosial, karena juga memuat potensi konflik dan polarisasi.

Hal yang seringkali dibahas dalam konteks pencerahan di dunia media sosial, lebih dominan berbicara mengenai literasi dalam kerangka pengguna -user dan kumpulan aturan regulasi.

Sementara itu, yang sering terlupakan mengenai peran perusahaan digital sebagai penyedia platform, serta bertindak sebagai pemangku kepentingan.

Salah satu catatan penting dari tanggung jawab berbagai perusahaan teknologi adalah menghilangnya realitas dan kebenaran, atau dalam bahasa populer dikenal sebagai post truth. Berbagai informasi yang berlimpah, mencampur aduk antara narasi bermuatan kebenaran dengan berbagai kebohongan -hoaks.

Sedangkan, mata uang dari motif penggerak perusahaan teknologi adalah valuasi nilai saham dan profitabilitas alias keuntungan nominal.

Dengan begitu terdapat ruang yang bersinggungan dalam conflict of interest. Kebenaran yang diharapkan menjadi asupan konsumsi publik, berhadapan dengan realitas akumulasi laba per klik bagi korporasi.

Dengan begitu, ruang digital mengalami kerentanan dalam kerangka manipulasi bagi kepentingan bisnis perusahaan platform, dimana para pengguna menjadi produk yang diperjualbelikan untuk mengejar pendapatan iklan.

Psikologi digital menjadi ilmu yang dikembangkan untuk dapat memahami respons publik atas stimulasi digital.

Jadi, sudah saatnya Anda perlu memahami bila tindakan scroll up layar gadget untuk mendapatkan update merupakan hasil analisis perilaku manusia yang tidak ingin ketinggalan informasi.
Begitu pula scroll down untuk melihat file history di media sosial sudah dibentuk menjadi perangkap agar semakin dalam berselancar di dunia maya.

Sehingga tidak mengherankan bila media sosial dan produk teknologi informasi yang pada mulanya bersifat positif bagi kehidupan manusia, kemudian berubah dan memiliki dampak kelam yang bersifat mengancam.

Polarisasi dan konflik sangat mudah terjadi karena kecepatan distribusi informasi palsu. Senjata makan tuan, sulit dihindari.

Keterhubungan dalam jejaring sosial, justru berubah menjadi keterpisahan sosial (disconnection).

Tombol file rekomendasi di media sosial untuk melakukan pengelompokan justru semakin menjadikan proses keterputusan relasi sosial itu mengental, karena masing-masing pihak meyakini perspektif kebenarannya sendiri.

Tentu kita tidak hendak menjadi luddite yang destruktif menghancurkan sarana pemintalan karena penemuan mesin tenun yang menghilangkan secara dramatis fungsi kerja para pemintal manual di Inggris pada awal abad 19. Harus terdapat upaya menghindari kehancuran -distopia dari dampak kemajuan meski menolak teknofobia.

Lagi-lagi, masa depan homo digitalis akan sangat bergantung dari upayanya yang serius untuk melihat potensi aktual dari kerusakan yang dapat ditimbulkan melalui modernitas teknologi media sosial.

Dalam film dokumenter The Great Hack, 2019 kita menyimpulkan proses eksploitasi data untuk kepentingan bisnis dan politik terjadi.

Skandal Facebook dan Cambridge Analytica terjadi dengan melibatkan kepentingan politik di Amerika yang bertalian dengan transaksi ekonomi yang menyertainya dalam jejaring global di seputar proses kontestasi elektoral Pemilu Paman Sam.

Manusia hanya menjadi data bagi logika kerja dari fungsi algoritma mesin artificial intelligence.

Bayangkan bila para pemilik modal kemudian bertindak menjadi penentu masa depan umat manusia, dengan menggunakan basis dukungan finansial dan teknologi yang dimiliki, untuk dapat mengatur pola pikir dan perilaku manusia dalam seluruh kerangka dimensi kehidupan kesehariannya. Manusia kembali terpenjara dalam ilusi kebebasan.

Sudah sepatutnya nilai moralitas dan etika menjadi dasar penting bagi kepentingan pengembangan teknologi, termasuk dalam konteks yang aktual.

Publik menjadi elemen seimbang yang dapat memaksa raksasa digital memperbaharui dirinya, mendorong regulasi yang lebih rigid dalam mengatur keberadaan perusahaan teknologi.

Sebagai homo ludens -makhluk yang bermain, kita memang tengah bermain di arena ruang simulasi digital yang bisa jadi menjadi ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri.

Bila manusia tidak mampu menyusun serta membentuk upaya mitigasi, bisa jadi masa depan homo digitalis tidak hanya remang sekaligus suram nan muram.rmol news logo article

Yudhi Hertanto

Penulis adalah Dosen program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA