Hal itu disampaikan Paduka Yang Mulia Tengku Malik Muhammad Mahmud Al Haytar usai menjamu pimpinan dan anggota DPR RI yang membahas otonomi khusus Provinsi Aceh, di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar, Senin (23/11).
Wali Nanggroe Aceh sempat meminta Azis Syamsuddin sebagai perwakilan rakyat untuk memperhatikan nasib rakyat asli Aceh, terutama dalam hal ekonomi serta butir-butir MoU Helsinki.
“Masalah ekonomi dan termasuk juga butir-butir Mou yang belum diselesaikan, saya harap segera diselesaikan. Karena sudah lama, sudah 15 tahun kita menunggu, kita menahan,†ucap Wali Nanggroe Aceh di lokasi.
Ia berharap pimpinan DPR RI bisa mendorong pemerintah pusat untuk memperhatikan dan mengambil langkah tepat dan cepat mengenai kesepakatan Helsinki.
“Dengan kedatangan beliau (Azis Syamsuddin) dan rombongan, saya sudah beri masukan yaitu harus diperhatikan Aceh ini. Tadi beliau juga mengatakan menaruh perhatian besar ke Aceh,†tutupnya.
Perjanjian Helsinki menjadi akhir konflik Aceh dengan Indonesia yang berlangsung selama hampir 30 tahun. Butir-butir Mou dituangkan dalam UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dalam MoU tersebut, Aceh memiliki wewenang untuk menjalankan semua sektor publiknya, kecuali urusan hubungan luar negeri, pertahanan, urusan fiskal, dan hukum yang masih jadi wewenang Indonesia.
Dokumen perjanjian Helsinki juga memuat enam pokok butir kesepakatan, yakni penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, hak asasi manusia (HAM), amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring Aceh dan penyelesaian perselisihan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: