Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelajaran Dari Pilpres AS 2020

Jumat, 06 November 2020, 20:12 WIB
Pelajaran Dari Pilpres AS 2020
Calon presiden AS Joe Biden dan Calon presiden AS petahana Donald Trump/Repro
PILPRES Amerika Serikat (AS) 2020 berlangsung ketat antara kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden, dan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.

Sungguh unik melihat petahana Presiden Trump akan mengajukan tuntutan hukum dan penghitungan suara ulang, seperti di Wisconsin dan Michigan. Trump mempermasalahkan surat suara absen (absentee ballot) atau surat suara yang dikirim lewat pos oleh orang yang tidak hadir di tempat pemungutan suara.

Trump dan kuasa hukumnya mengkritik integritas proses pemungutan suara yang mencurigakan, mengingat Wisconsin dan Michigan menjadi pembalikan kekuatan Partai Demokrat atas Partai Republik. Wilayah yang dulu di Pilpres 2016 menjadi basis suara Republik, ternyata berbalik dimenangkan Demokrat.

Tak hanya itu, tim kampanye Donald Trump juga mengajukan gugatan di Nevada atas dugaan penipuan pemilih.

Fair Election

Ini berbeda dengan pelaksanaan Pilkada/Pemilu di Indonesia yang kontennya melulu diwarnai temuan adanya ASN (Aparatur Sipil Negera) yang tidak netral karena mendukung petahana. Temuan itu biasanya berlanjut pada persoalan tuntutan hukum terkait sengketa Pilkada/Pemilu di pengadilan.

Di Indonesia, umumnya petahana yang selalu dituntut oleh kompetitornya karena melanggar aturan netralitas ASN atau terkait masalah penghitungan suara. Di Pilpres AS 2020, justru petahana yang mengajukan gugatan hukum karena merasa ada kecurangan dalam proses demokrasi.

Mustahil kita bisa membayangkan jika pemilu di Indonesia, petahana (Presiden) yang mengajukan tuntutan terhadap KPU, Bawaslu, dan DKPP karena temuan bukti kecurangan pihak lawan.

'Fair Election' adalah spirit dan fondasi demokrasi -walaupun di AS, Presiden tidak dipilih langsung oleh para pemilih seperti di Indonesia (popular vote). Di negeri Paman Sam, para kandidat presiden AS bertarung untuk memperebutkan suara elektoral yang mewakili masing-masing negara bagian di AS.

Partisipasi Politik

Pilpres AS 2020 memang berbeda dari sebelumnya lantaran banyak negara bagian yang harus berjuang menghitung kiriman surat suara yang tidak diberikan secara langsung akibat pandemi Covid-19. Namun uniknya lagi, pandemi justru meningkatkan jumlah partisipasi pemilih mencapai 66,9 persen yang menunjukkan tingkat partisipasi tertinggi sejak tahun 1900 sebesar 73,7 persen. Menurut Situs data pemilu US Elections Project, hampir 160 juta warga berpartisipasi dalam Pilpres AS 2020.

Ini jumlah pemilih tertinggi AS dalam 120 tahun terakhir. Di Indonesia, KPU malah menurunkan target pemilih di Pilkada 2020 menjadi 77,5 persen. Padahal, partisipasi Pemilu 2019 mencapai 81 persen. Di Indonesia, Pilkada Serentak 2020 disepakati pemerintah tidak diundur pelaksanaannya pada bulan Desember 2020.

Pilkada 2020 dipandang bisa menggerakkan ekonomi Indonesia yang sedang lemah saat ini. Putaran uang bisa mencapai lebih dari 35 triliun. Bisa diasumsikan politik uang di Pilkada 2020 equivalen atau bahkan lebih tinggi dari tingkat partisipasi politik masyarakat. Dengan kata lain, politik uang masih jadi faktor penting meningkatnya partisipasi politik, bukan karena kesadaran politik.

Penyelenggara pemilu pun dianggap sukses karena mampu mencapai atau melebihi tingkat partisipasi politik yang ditargetkan, meskipun sudah ribuan kali melaknat praktik politik uang.

Pandemi Covid-19 Dan Survei Bias
 
Salah satu kritik keras terhadap Presiden Donald Trump adalah masalah penanganan Covid-19 yang dinilai publik AS sangat buruk. Covid-19 telah menewaskan lebih dari 232.000 warga AS. Paman Sam memimpin dunia dalam tingkat infeksi dan kematian per kapita.

Faktanya hal ini tidak menyurutkan partisipasi politik warga AS untuk menggunakan hak pilihnya. Exit Pool di AS ternyata menunjukkan bahwa problem ekonomi, bukan masalah kesehatan, sebagai faktor signifikan yang memengaruhi suara dalam pemilihan AS 2020.

Hasil jajak pendapat Edison Research, misalnya, menemukan bahwa isu ekonomi dinilai paling penting bagi pemilih di AS (34%). Disusul masalah kesetaraan rasial dan toleransi berada di urutan kedua (21%). Sementara soal pandemi Covid-19 ternyata berada di peringkat ketiga (18%), dan masalah keamanan (11%).

Dengan menjadikan pandemi sebagai masalah utama dalam kampanyenya, Joe Biden (Demokrat) optimis bahwa hal itu bisa menyoroti kegagalan Trump dengan opsi dan jargon kampanye ekonominya. Tetapi pendukung Trump terbukti lebih mempertimbangkan rekam jejak ekonomi presiden sebelum pandemi Covid-19 melanda AS.

Ini salah satu sebab mengapa pemilihan Presiden AS 2020 berlangsung sangat ketat sampai akhir perhitungan suara. Ini mengaburkan prediksi survei yang mengatakan bahwa Joe Biden akan mengalahkan Donald Trump secara telak.

Bagaimana pun, Biden tetap bisa menang, atau sebaliknya. Tetapi kemenangan yang akan diraih oleh salah satu kandidat akan sangat tipis, bahkan kontroversial. Bahkan jika Joe Biden terpilih sebagai Presiden AS juga diprediksi akan kesulitan saat memimpin nanti. Sebab Partai Republik di ramal akan kembali memegang mayoritas Senat. Jumlah kursi mayoritas yang didapat Demokrat di DPR AS pun diproyeksikan tidak akan terlalu jauh selisihnya dari Republik.

Pertama, Lembaga survei Trafalgar Group pimpinan Robert Cahaly, yang berafiliasi dengan Partai Republik mengungkapkan bahwa pemilih Trump itu dikenal sebagai pemilih pemalu. Mereka tidak suka menyampaikan pendapatnya karena takut dihakimi publik AS karena prilaku Trump yang racis dan mata keranjang. Padahal sesungguhnya mereka lebih suka kepada Trump karena dianggap efektif terkait kebijakan ekonominya, ketimbang kebijakan pajak dari Biden.

Kinerja dan kompetensi Trump di bidang ekonomi lebih diakui daripada tindak prilaku dan omongannya yang kasar. Jadi tidak aneh jika mereka berbicara bohong dalam survei.

Apalagi jika survei mewancarai responden di masa pandemi Covid-19 dilakukan dengan tehnik wawancara melalui telepon yang diakui lebih aman dan sesuai asas protokol kesehatan. Padahal mengandalkan jawaban via telepon bisa sangat bias.

Ketika seseorang ditanya pendapat soal Trump oleh orang yang tidak dikenal, maka orang tersebut cenderung akan memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan surveyor, dengan harapan bahwa itu akan memberikan kesan yang baik bagi dirinya. Tidak peduli di lingkungan manapun baik itu teman, keluarga maupun tempat kerja, sebagian orang tidak suka membicarakan politik, terutama saat mereka merasa pendapatnya adalah minoritas.

Dalam kondisi seperti itu, orang cenderung berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya atau preferensi politiknya. Terutama jika mereka merasa dan memahami bahwa seluruh lingkungannya punya pendapat yang berbeda dengan dirinya.

Dalam komunikasi hal ini dikenal sebagai spiral of silence, yaitu  bagaimana dalam sebuah komunitas, seseorang yang memiliki suara berbeda dengan kebanyakan orang di komunitas tersebut cenderung untuk diam dan memilih untuk setuju (berbohong) dibanding melawan atau menyatakan jujur yang diinginkan.

Survei bisa meleset karena "spiral of silence" pada responden yang memang ragu-ragu untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan apa yang terbentuk sebagai opini publik.

Kasus klasik dari fenomena ini pernah terjadi pada figur Tom Bradley, kandidat berkulit hitam yang bertarung dalam pemilihan Gubernur California tahun 1982. Bradley diprediksi sangat kuat akan memenangkan kursi gubernur, karena semua survei menunjukkan hal tersebut.

Kenyataannya dia kalah. Pemenangnya adalah kandidat berkulit putih. Diduga kuat penyebabnya adalah para pemilih kulit putih dalam survei mengaku tidak mempersoalkan warna kulit kandidat, padahal mereka mempersoalkannya. Dalam survei, mereka tidak ingin dianggap rasis.

Ini mirip apa yang penulis temukan di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam survei warga DKI Jakarta kala itu menilai Ahok punya popularitas dan kinerja yang positif dan berpotensi besar terpilih. Tetapi kenyataannya, Ahok game over. rmol news logo article

Igor Dirgantara
Dosen Fisip Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling Indonesia (SPIN)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA