Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sjahrir Laonggo Menolak Pensiun Walaupun Hidupnya Akan Dibiayai Pemerintah Australia

Catatan Ilham Bintang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Senin, 02 November 2020, 10:11 WIB
Sjahrir Laonggo Menolak Pensiun Walaupun Hidupnya Akan Dibiayai Pemerintah Australia
Sjahrir Laonggo dan Ilham Bintang/Istimewa
HARI ini, Senin 2 November 2020, Pak Sjahrir Laonggo, pria Bugis yang tinggal di Perth, Australia Barat, menginjak usia 70 tahun.

Di Australia, bagi warga yang mau pensiun (berusia 66 tahun ke atas) Pemerintah Australia akan menyantuni hidup mereka. Tapi, Sjahrir menolak pensiun dari pekerjaannya sebagai pedagang daging halal di Perth.

“Saya masih berpenghasilan dan malah sakit kalau tidak bekerja,” kata Sjahrir memberi alasan.

Pelopor Daging Halal

Sjahrir dikenal di Perth sebagai pelopor daging halal. Dari toko dagingnya “Langford Halal Butchers” yang berdiri tahun 2002 itulah dia mengenalkan daging halal kepada masyarakat Australia.

Kini daging berlabel halal menjadi tren di Australi Barat. Delapan puluh persen pelanggan butchernya adalah warga Perth, yang memang menkonsumsi daging yang bersertifikat halal. Salah satu kriteria daging disebut halal, adalah cara pemotongan hewan yang sesuai syariah Islam.

Klop dengan kultur warga Perth dan peraturan pemerintah Australia yang peduli pada kebersihan hewan ternak.

Aturan ini ketat. Australia bahkan melarang ekspor ternaknya ke negara yang dianggap tidak mempedulikan tata cara pemeliharaan dan pemotongan hewan ternak asal Australia. Indonesia pernah mendapat sanksi ini.

Sjahrir pertama kali ke Perth pada 1974. Semula untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi di sana. Namun, selesai kuliah dia memutuskan untuk menetap seterusnya di Perth.

Pertimbangannya waktu itu, kans mencari penghidupan layak lebih terbuka dan lebih menantang di Ibukota Australia Barat itu. Penduduk tak banyak, memungkinkan pemerintah leluasa mengatur ekosistem, keseimbangan alam, dan lingkungan hidup.

Sjahrir termasuk orang Bugis pertama yang menetap di Perth. Membuat dia “dituakan” oleh pendatang dari etnis sama yang ke Perth untuk belajar maupun bekerja.

Sjahrir menjadi ketua pertama paguyuban warga etnis Bugis di Perth, yaitu Kerukunan Warga Sulawesi Selatan (KKSS-WA). Tapi 5 tahun lalu KKSS ditinggalkan Sjahrir dan warga bugis di Perth karena KKSS diserobot oleh seseorang yang memanfaatkan paguyuban itu tidak sesuai dengan tujuan pembentukannya.

Sjahrir kemudian membentuk PKSS -perhimpunan keluarga Sulawesi Selatan- wadah baru berhimpun warga Sulsel. Sejak terbentuk, PKSS aktif menyelenggarakan kegiatan sosial kemasyarakatan di sana.

Belum lama ini Sjahrir diwawancara oleh wartawan media Australia ABC  Indonesia. Menarik mengikuti wawancaranya termasuk alasan kenapa dia menolak untuk pensiun meski sudah berusia 70 tahun. Padahal, usia pensiun bagi seseorang di sana: 66 tahun.

Sesuai ketentuan pemerintah Australia, warga pensiun berhak mendapatkan tunjangan hidup dari pemerintah. Ibaratnya warga seperti Sjahrir tinggal duduk manis saja. Biaya hidupnya ditanggung pemerintah. Tapi Sjahrir menolak.

"Belum pernah terpikir (untuk pensiun) sampai saat ini karena terus terang, kebetulan pekerjaan saya ini bertemu banyak orang. Nah saya suka itu," kata Sjahrir kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

"Jadi saya hampir 20 tahun di butcher (toko daging) ini, pelanggannya hampir 80 persen keluarga yang sama,” tambahnya.

Walau memenuhi syarat untuk pensiun dan menikmati tunjangan pemerintah, suami Niniek dan kakek dari 7 orang cucu ini merasa masih punya pendapatan yang cukup. Karena itu belum mau menempuh pilihan tersebut.

Kini, satu-satunya layanan bagi warga senior Australia yang ia manfaatkan adalah 'WA Seniors Card', yang memberinya potongan harga untuk tagihan air hingga tiket menonton di bioskop.

"Saya enjoy my work (menikmati kerja) dan istri tidak keberatan, karena kalau hari Minggu, waktu saya full (penuh) untuk keluarga," ungkap Sjahrir.

Fleksibilitas sebagai seorang pemilik bisnis juga menjadi alasan lain mengapa Syahrir tetap mau bekerja selama hampir 40 jam setiap minggunya.

"Artinya saya bisa keluar anytime (kapanpun). Jadi saya tidak ada beban tidak bisa kemana-mana," tutur pria Bugis ini.

"Mungkin kalau saya pegawai orang, saya sudah lama pensiun karena mungkin harus minta izin kalau berlibur. Kalau ini saya merasa tidak ada beban," jelasnya.

Sjahrir mengaku, sebagai warga senior, ia memang sering merasa lelah ketika hendak berangkat kerja. Namun, terbukti semangatnya yang besar bisa mengalahkan kondisi alamiah tersebut.

"Sering saya pergi agak sakit dari rumah, begitu sampai di butcher (toko daging) kok hilang sakitnya?" papar Sjahrir sambil tertawa kepada ABC Indonesia.

Saya mengenal Pak Sjahrir pada 2015 saat saya sering ke Perth menengok putri bungsu yang kuliah di Curtin University. Memang begitu adanya Sjahrir. Sosok pekerja keras. Bekerja baginya adalah ibadah. Dia pun aktif melakukan berbagai kegiatan sosial.

Sejak perkenalan pertama itu kami langsung akrab, dan bersahabat: saling berbagi cerita dan pandangan-pandangan. Setiap kali ke Perth, Pak Sjahrir dan Ibu Niniek Sjahrir menyambut kami. Kadang menjemput dan mengantar kami di bandara. Tak lupa membuat acara gathering dengan seluruh warga PKSS di Perth.

Begitupun jika pasangan itu berada di Jakarta. Saya bilang, jangan masuk ke Jakarta, kalau tak mampir dan menginap di rumah. Dan, orangtua ini patuh. Selama masa pandemi kontak kami berlanjut melalui komunikasi telpon selular maupun WhatsApp (WA).

Selamat ulang tahun Pak Sjahrir. Berkah di usia yang baru. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA