Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pandemi Covid-19 Dan Perbandingan Pemilu Indonesia-Korea Selatan

Sabtu, 31 Oktober 2020, 21:22 WIB
Pandemi Covid-19 Dan Perbandingan Pemilu Indonesia-Korea Selatan
Moh. Iqbal Alam Islami/RMOL
MELAKSANAKAN Pemilu di tengah pandemi virus corona baru (Covid-19) menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi negara yang tetap memutuskan melanjutkan kontestasi demokrasi tanpa menundanya hingga pandemi reda.

Banyak negara-negara di dunia tetap melangsungkan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di tengah wabah pandemi Covid-19 diantaranya: Korea Selatan, Singapura, Myanmar dan Amerika Serikat.

Korea Selatan adalah negara pertama yang menyelenggarakan Pemilu di tengah wabah dalam pemilihan legislatif pada tanggal 15 april 2020 dengan mencatat partisipasi lebih dari 29 juta pemilih, atau mencakup 66,2 persen dari total pemilih yang terdaftar.

Sangat menarik pelaksanaan Pemilu di Korea Selatan apabila dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di dalam negeri. Indonesia sendiri baru akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang yaitu sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Pemilu di tengah merebaknya wabah Covid-19 merupakan fenomena baru di dunia, bukan hanya rutinitas demokrasi semata tetapi bagaimana pergantian kekuasaan tersebut berjalan dengan menjaga keselamatan warga negaranya.

Penulis mencoba mengulas kajian komparatif politik pelaksananaan pemilu di Indonesia dengan Korea Selatan melalui kajian pendekatan kelembagaan atau institusional yang memfokuskan pada pemerintah. Kajian ini melihat bagaimana lembaga pemerintah dalam hal ini negara sebagai pemangku kepentingan melihat situasi yang abnormal tetapi tetap mengharuskan menjalankan agenda politik negara.

Ada tiga hal yang perlu diurai dalam menganalisa penyelengaraan Pemilu di tengah pandemi Covid-19, pertama: aspek legal formal (hukum), kedua: tata cara dan proses pelaksanaan pemilihan umum dan yang ketiga adalah partisipasi politik masyarakat dalam pemilu.

Aspek Legal Formal

Dalam sejarahnya, Korea Selatan tidak pernah menunda pelaksanaan pemilu. Bahkan selama Perang Korea pada tahun 1952, pemilihan presiden terus berlangsung.

Pemilu 2020 untuk memilih anggota Majelis Nasional Korea Selatan tersebut diadakan pada 15 April, sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Pemilu Pejabat Publik, yang menetapkan bahwa Hari Pemilu untuk pemilihan legislatif adalah pada "Rabu pertama dari hari ke-50 sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Majelis Nasional.

Pemilu ini memilih 253 dari 300 anggota Majelis Nasional dan 47 kursi dialokasikan bagi setiap partai sesuai dengan jumlah suara yang mereka raih. Ini merupakan pemilihan pertama yang diadakan di bawah sistem pemilihan baru.

Dua partai terbesar, Partai Demokrat Liberal dan Partai Persatuan Masa Depan konservatif mendirikan partai-partai satelit untuk memanfaatkan sistem pemilihan yang direvisi. Reformasi tersebut juga menurunkan usia pemilih dari 19 menjadi 18 tahun.

Pelaksanaan Pemilu di Korea Selatan sendiri memunculkan kekhawatiran menjadi klaster penyebaran Covid-19 akibat mobilisasi besar-besaran. Namun, Komisi Pemilihan Umum Korea Selatan (NEC) melakukan langkah persiapan bekerja sama dengan pemerintah menyusun prosedural dan tata cara yang terperinci untuk pemungutan dan penghitungan suara yang aman.

Sosialisasi pedoman protokol kesehatan dalam pemilu disebarkan secara massif melalui berbagai platform media sebelum pemilu. Warga negara Korea Selatan percaya bahwa pemerintah dapat mengelola pemilu dengan aman serta setiap pemilih tetap menjaga dan mematuhi peraturan protokol kesehatan ketika akan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
   
Di Indonesia pelaksanaan Pilkada Serentak di tengah wabah Covid 19 menjadi polemik, karena berbagai pihak.

Beberapa pihak yang menyoroti diantaranya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jaringan Pemantau Pemilu Rakyat (JPPR) maupun pegiat demokrasi berpendapat agar pelaksanaannya ditunda dan ditinjau kembali.

Pilkada dianggap akan memunculkan klaster baru penyelenggara dan pemilih dalam penyebaran Covid-19 karena melihat pemerintah dan penyelenggaran belum siap dengan aturan ketat dan prosedur protokol yang dijalankan.

Namun, dalam rapat kerja antara para pihak pada Selasa (14/4/2020), Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), telah menyepakati jadwal baru Pilkada Serentak 2020.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Perppu yang diteken 4 Mei 2020 itu menjelaskan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda hingga Desember 2020 karena bencana non-alam berupa wabah Covid-19.

Perppu 2/2020 menjelaskan bahwa apabila sebagian wilayah pemilihan atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non-alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, sebagai gantinya dilakukan setelah penetapan penundaan dengan Keputusan KPU.

Untuk menjalankan protokol kesehatan dalam Pilkada Serentak 2020, KPU telah menerbitkan PKPU 10/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum 6/2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

PKPU Covid-19 ini menjelaskan terkait standar protokol kesehatan dalam setiap tahapan Pilkada dari pendaftaran pencalonan, pemutakhiran daftar pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara.

Dengan diterbitkan PKPU ini maka penyelenggara, peserta, dan pemilih agar mematuhi petunjuk teknis yang dibuat dan penegakkan hukum bisa dijalankan untuk memberikan sanksi administrasi atau pidana bagi yang melanggar.

Teknis Pelaksanaan Pemilihan

Pemilu diadakan selama pandemi Covid-19, berdampak praktis pada pelaksanaan pemungutan suara, dan dampak politik pada pemilihan partai yang akan didukung oleh pemilih. Pada Februari 2020, Korea Selatan memiliki kasus terbanyak kedua di dunia, setelah China.

Pada hari pencoblosan, Korea Selatan telah mencatat lebih dari 10.000 kasus dan 200 kematian.  Negara ini telah memperkenalkan salah satu program uji Covid-19 yang paling komprehensif di dunia.

Caranya, dengan melakukan pelacakan kontak secara intensif terhadap para penderita. Hal tersebut membuat tingkat kasus kematian di Korea Selatan hanya berada di angka 1,95 persen, lebih rendah dari rata-rata global 4,34 persen.

NEC selaku penyelenggara Pemilu di Korea Selatan membuat peraturan, tata cara dan teknis pelaksanaan seluruh tahapan pemilu. Keduanya telah diatur sejak jauh hari sebelum masa pandemi agar pada prakteknya pemilih bisa mencoblos dua hari sebelum hari H agar tidak terjadi penumpukan pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Pemungutan suara awal dalam Pemilu legislatif ini dilakukan pada 13 April atau dua hari sebelum hari H. Pemilih memberikan suaranya dengan mengisi blanko surat suara dari rumah yang kemudian dikirim melalui kotak pos ke alamat otoritas pemilu.

Pada hari pemungutan suara, sebelum memasuki TPS setiap pemilih diperiksa suhunya menggunakan termometer, diwajibkan menggunakan hand sanitizer, dan diberikan sarung tangan plastik sekali pakai.

Setiap pemilih dengan suhu tubuh lebih dari 37,5°C akan dibawa ke TPS terpisah, yang disemprot disinfektan setelah digunakan. Untuk menghindari kecurangan, petugas pemilu melakukan pencocokan foto identitas dengan wajah, dan memerintahkan menurunkan masker jika diperlukan.

Para pemilih yang sedang melakukan karantina diperbolehkan memberikan hak suara mereka dalam kurun waktu dan TPS tertentu. Mereka dapat keluar rumah dari pukul 17.20 sampai 19.00 pada hari pencoblosan dan hanya boleh berjalan kaki atau memakai kendaraan pribadi ke TPS.

Untuk mengakomodir hak-hak pemilih yang terkena positif covid-19, pemerintah Korea Selatan juga menyiapkan TPS di delapan pusat tempat perawatan. Tidak hanya pasien, petugas kesehatan juga bisa memberikan hak pilih mereka.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) sendiri pada tanggal 10 Mei 2020 belum menemukan kasus Covid-19 akibat pelaksanakan Pemilu. Hal ini menandakan bahwa prosedur dan ketaatan terhadap semua mekanisme pencegahan dijalankan dengan baik oleh semua pihak baik penyelenggara maupun pemilih.

Berbanding dengan Korea Selatan yang sudah melaksanakan Pemilu, di Indonesia tahapan Pilkada masih berlangsung dari bulan Juni 2020 sekitar 4 bulan sudah berjalan dan tinggal menghitung hari menuju 9 Desember 2020.

Tahapan Pilkada saat ini sudah memasuki tahap kampanye.dimana setiap pasangan calon boleh melakukan aktifitas kampanye untuk mensosialisasikan visi dan misinya. Pada prakteknya dalam masa kampanye ini sampai dengan tanggal 29 Oktober 2020, Bawaslu telah menemukan 306 pelanggaran protokol kesehatan dari 13.646 kampanye tatap muka di seluruh Indonesia.
Hal ini menandakan bahwa masih banyak kampanye yang menyalahi protokol kesehatan. Dari pelanggaran tersebut, Bawaslu melayangkan sebanyak 306 peringatan tertulis dan 25 pembubaran kampanye.

Pelaksanaan Pilkada sebagai klaster penyebaran Covid-19 ternyata menjadi kenyataan. Tiga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pernah dinyatakan positif Covid-19 yaitu, Pramono Ubaid Tanthowi, Ketua KPU Arief Budiman dan yang terakhir Evi Novida Ginting. Di Indonesia per tanggal 28 Oktober 2020 kasus positif Covid-19 sudah mencapai angka 400 ribu orang lebih.

Pasca positifnya anggota KPU terpapar Covid-19, menjadi sebuah tanda tanya bagaimana KPU bisa menyelenggarakan hari pemungutan dan penghitungan suara dengan ketat menjaga protokol kesehatan?

Dalam PKPU 10/2020, dalam hal batasan pemilih yang hadir di TPS memang sudah di kurangi dari 800 orang sesuai UU 10/2016 tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah menjadi 500 per TPS agar tidak menjadi penumpukan pemilih pada hari.

Namun pengurangan menjadi 500 orang per TPS masih dinilai padat bila dibandingkan dengan pemilu 2019 yang batas maksimal per TPS 300 orang.

Waktu pelaksanaan pemungutan suara dinilai sangat singkat, TPS dimulai pada jam 07.00 WIB dan ditutup pada pukul 13.00 WIB. 

Berbeda dengan Korea Selatan waktu pemilihan cukup panjang yaitu pada dua hari sebelum pemungutan suara melalui pos, dan pada hari H pemungutan suara yang mana TPS dibuka pukul 07.00 s/d 17.00. sehingga mengurangi penumpukan pemilih di TPS.

Dengan waktu yang tinggal menghitung hari, pemerintah dan KPU diharapkan agar memanfaatkan waktu untuk melakukan evaluasi terkait penguatan standar protokol kesehatan maupun ketersedian Alat Pelindung Diri (APD) pada hari pemungutan suara.    

Partisipasi Politik

Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat. Mereka kemudian mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Dua variable penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya.

Menurut NEC, tingkat partisipasi pemilih di Korea Selatan yang menggunakan hak suara dalam pemilihan parlemen melonjak menjadi 66,2 persen, titik tertinggi sejak 1992 dalam tempo 28 tahun meskipun pandemi Covid-19 sedang berlangsung.

Di antara 44 juta pemilih yang memenuhi syarat mencoblos, 29,1 juta pemilih memberikan suara mereka di 14.330 TPS se-nasional. Tingkat partisipasi yang relatif tinggi dipandang sebagai cerminan meningkatnya minat warga Korea Selatan terhadap politik.

Selain prosedur pelaksanaan yang aman, bahwa kunci kesuksesan pemilu di Korea Selatan terletak pada kepatuhan warganya untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Sedangkan di Indonesia bila dilihat partisipasi pemilih pada Pilkada terakhir tahun 2018. KPU sendiri mencatat partisipasi pemilih cukup tinggi dalam Pilkada Serentak 2018 yang digelar di 171 daerah.

Dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebesar 152.079.997, sebanyak 73 persen berpartisipasi menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada. Namun Pilkada Serentak 2020 diprediksi mengalami penurunan partisipasi pemilih lantaran pelaksanaannya di masa pandemi Covid-19.

Masyarakat diprediksi masih belum yakin terhadap keamanan dan keselamatan ketika memberikan hak suaranya di TPS

Kesimpulan
    
Melalui pendekatan kelembagaan ini, Pemilu antara Indonesia dan Korea Selatan memiliki persamaan bahwa negara memiliki kontrol untuk mengatur sistem sosial dan mengarahkan interaksi antar warga negara melalui aturan formal maupun informal.

Salah satu efeknya pemerintah melaksanakan penyelenggaraan pemilihan di tengah pandemi Covid-19 dengan menerbitkan Undang-Undang teknis penyelenggaraan Pemilu yang berisikan standar protokol kesehatan dalam pemilihan.

Korea Selatan memberikan waktu yang cukup panjang kepada pemilih untuk memberikan hak politiknya dalam kurun waktu 3 hari untuk menghindari kepadatan pemilih di TPS, sedangkan di Indonesia waktu pemungutan suara sangat singkat hanya enam jam saja.

Di sisi lain ketaatan dan kesadaran warga negara Korea Selatan terhadap protokol kesehatan lebih tinggi daripada warga negara Indonesia. Inilah yang menjadi faktor kunci kesuksesan Pemilu di Korea Selatan.rmol news logo article

Moh. Iqbal Alam Islami
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA