Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keuangan Yang Maha Kuasa Dalam Pilkada

Kamis, 29 Oktober 2020, 22:47 WIB
Keuangan Yang Maha Kuasa Dalam Pilkada
Fadli Rumakefing/Net
SIAPA yang punya dana besar atau minimal punya akses ke dana besar dia yang hampir pasti akan memenangkan kontestasi pemilihan umum (Pemilu). Yang berduit akan menjadi pemimpin. Ya, itulah penyakit lama pemilu yang lazim kita sebut dengan politik uang (money politics).

"Keuangan yang Maha Kuasa". Itulah ungkapan masyarakat Indonesia yang lazim didengar di telinga kita. Ungkapan itu lahir dari bobroknya kehidupan demokrasi Indonesia, termasuk jual beli "kursi" dan jabatan tertentu.

Proses jalannya demokrasi bisa dibeli dengan uang. Lama-kelamaan penyakit itu mendarah daging.

Pandangan Pancasila dan UUD 45, kekuasaan dan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Memang dan seharusnya kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Mereka yang menjabat tak lain hanya wakil dari rakyat, itu pandangan normatif demokrasi. Kenyataannya, kekuasaan dan kedaulatan itu runtuh seketika manakala kekuasaan dan kedaulatan bisa dirupiahkan.

Sering kita dengar setiap kali ada pesta demokrasi bahwa "suara rakyat suara Tuhan". Dalam pandangan agama Islam bahwa ketika orang Islam berkumpul dan membuat suatu pemufakatan (musyawarah) dalam suatu perkara maka tidak mungkin orang Islam tersebut bermufakat dalam suatu keburukan.

Sedangkan Indonesia merupakan penduduk Muslim terbesar di dunia. Artinya, ungkapan di atas dapat dibenarkan bahwa memang "suara rakyat adalah suara Tuhan". Tetapi, suara itu bukan lagi suara Tuhan bila mana suara rakyat sudah di campuri oleh uang.

"Tidak ada makan siang gratis (no free lunch)". Ungkapan itu bisa dijadikan ilustrasi bahwa untuk menjadi pemimpin, baik itu presiden, gubernur, bupati, walikota, dan kepala desa harus punya uang.

Untuk menjadi wakil rakyat di parlemen harus punya uang, untuk menjadi pejabat juga harus punya uang. Karena semua itu tidak bisa didapatkan secara cuma-cuma.

Sedikit atau banyak, politik uang akan menghiasi pesta demokrasi lima tahunan. Tak terkecuali Pilkada Serentak 2020.

Itulah kesimpulan yang dapat kita baca dari berbagai tulisan para pakar dan pengamat politik di berbagai media massa, ketika mereka memprediksi diselenggarakannya pilkada di tengah pandemi Covid-19. Politik uang kali ini akan meningkat tajam.

Singkat kata, "kemahakuasaan uang" akan menentukan segalanya. Uang dapat menentukan bakal pasangan calon (bapaslon) yang menjadi kontestan pilkada dengan cara membeli suara partai atau borong partai, itulah yang menyebabkan Pilkada kali ini banyak paslon tunggal, bahkan menentukan calon yang akan terpilih pun dengan cara membeli suara rakyat.

Politik uang akan semakin digdaya. Kedigdayaan tersebut disebabkan oleh keadaan ekonomi global yang carut marut, ekonomi beberapa negara mengalami resesi. Imbasnya, kondisi perekonomian Indonesia tiarap dan beberapa ekonom mempredisiki pertumbuhan ekonomi nasional akan terjun bebas alias resesi.

Pilkada kali ini diselenggarakan di tengah kondisi perut sedang lapar. Apapun bisa dimakan termasuk uang haram politik uang yang penting kenyang.

"Tak ada ranting rotan pun jadi" sama dengan "Tak ada uang halal, uang haram pun jadi". Ungkapan itu yang pas menggambarkan kondisi Pilkada Serentak 2020.

Berbicara politik uang, membawa kita pada rahasia umum, ia berlangsung sekian lama, yang semakin banyak orang mengiakan.

Alih-alih banyak di antara kita mencaci-maki, mengecam, dan mengutuk praktik politik uang untuk menutupi realitas, kenyataannya malah menerima uang haram tersebut. Bahkan turut mempraktikkannya.

Hampir pasti kita menemukan politik membutuhkan uang. Pada titik tersebut para kontestan dan timnya berupaya memperoleh dana besar untuk mengikuti kontestasi lima tahunan.

Dana besar itu ada pada orang-orang yang memiliki uang yang begitu melimpah dan bersedia melimpahkan uangnya untuk para kontestan.

Keberadaan penyedia dana besar itu diproklamirkan dengan nada sarkastik oleh Dr. Muhammad Hidayaturrahman sebagai "Investor Politik". Istilah tersebut terinspirasi dari peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro yang menyebutnya sebagai "Investor Pilkada".

Tentu bahaya investor politik tidak bisa dibiarkan begitu saja. Berbagai peringatan telah dilancarkan bahwa mereka adalah para pembajak demokrasi (hijack of democracy) yang dampak jangka panjangnya bagi demokrasi Indosnesia adalah kekalnya ruang gelap (the dark room). Bahkan lebih parah lagi adalah mengakibatkan kegelapan yang lebih dalam (the deep darkness).

Para investor politik menjadi pemerintah bayangan (shadow state) bagi para kontestan yang menang dalam pilkada. Para kontestan tidak akan bebas dari bayang-bayang investornya. Kepala daerah baik bupati, walikota, atau gubernur yang didanai oleh para investor politik akan dimintai kompensasi.

Mereka tersandera hutang budi yang diciptakan oleh para investor politik. Sudah barang tentu kebijakannya tidak akan luput dari hasil pesanan, kompromi, bahkan dikte dari para investor politik.

Kongkalikong antara kepala daerah investor politik pun terjadi. Pada investor politik mengharapkan kemudahan izin usaha (bisnis), terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, keamanan dalam bisnis dan meminta jabatan tertentu.

Itu tak lain merupakan balas dudi para kepala daerah kepada investor politik yang membantu memenangkannya. Dalam buku "Investor Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia" yang ditulis oleh Dr. Muhammad Hidayaturrahman disebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Kompas, lebih dari 75 persen responden kandidat kepala daerah mengaku bahwa mereka akan mengabulkan harapan para investor politiknya apabila mereka terpilih. Jadi, tidak ada makan siang gratis itu memang benar adanya.

Dengan penyebutan yang berbeda, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut investor politik dengan sebutan "Dana Cukong". KPK menyebutkan bahwa 82% kandidat yang ikut dalam kontestasi pilkada 2018 mendapatkan support dana dari para cukong.

Ini perlu diberi perhatian khusus pihak penegak hukum, apakah dana besar besar tersebut yang mengalir pada para kandidat berasal dari sumber yang sah atau tidak. Pengawasan ketat terhadap dana kandidat tersebut harus transparan.

Mengalirnya dana besar dari para investor politik kepada para kandidat pilkada tidaklah mengejutkan.

Dikarenakan ongkos politik yang harus dikeluarkan memang selangit, yang memang merupakan sumber permasalahannya. Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk menjadi bupati diperlukan dana sebesar Rp 30 miliar dan untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.

Dengan angka nominal yang sedikit berbeda, lembaga peneliti dari Leiden, Belanda KITLV Ward Berenschot (2019), melakukan survei pada 500 tokoh politik di Indonesia. Untuk menjadi bupati diperlukan dana sebesar Rp 28 miliar dan untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp 166 miliar. Sedangkan kemampuan yang dimiliki oleh kandidat tidak bisa mengimbanginya.

Data laporan harta kekayaan penyelengara negara menyebutkan bahwa rata-rata kandidat hanya memiliki kekayaan Rp 6,7 miliar.

Tentu dengan jumlah tersebut tidak mampu membiaya proses politik kandidat kalau tidak dibiayai oleh para sponsor atau investor politik tadi.

Dana terbesar yang harus dikeluarkan oleh para kandidat adalah membeli dukungan partai yang lazim disebut sebagai mahar politik. Biaya lainnya yang cukup besar adalah biaya kampanye, sosialisasi, survei, serangan fajar, bagi-bagi bantuan, hingga biaya proses sengkata hasil pemilihan umum.

Berdasarkan hasil riset Bawaslu pada 2018, para investor politik berada di balik aksi borong partai untuk mendukung calon tunggal. Dari 2015 sampai 2020, kandidat yang didanai oleh investor politik ini terus meningkat dari 70% menjadi 82%.

Melihat peningkatan tersebut berbanding lurus dengan naiknya angka calon tunggal dari yang hanya 3 paslon tunggal pada Pilkada 2015 menjadi 25 paslon tunggal pada Pilkada 2020.

Maka jangan heran nantinya akan banyak kepala daerah dipanggil oleh KPK. Balas jasa kepada para investor politik setelah memenangi kontestasi pilkada akan menyebabkan para kepala daerah tergelincir dalam jurang gelap korupsi dan berada di balik jeruji besi.

Dari berbagai fakta di atas semakin mengukuhkan bahwa politik di Indonesia adalah politik transaksional. Tentu ini tidak boleh dibiarkan, karena lama kelamaan akan membuat turunnya kualitas demokrasi Indonesia. Semakin jauh dari demokrasi substansial dan hanya berkutat pada demokrasi prosedural.

Singkat kata, praktik politik uang membuat demokrasi menjelma menjadi demokrasi investor atau cukong.

Lalu, bagaimana cara mengatasi politik uang? Pertama, menelusuri pendanaan. Selama ini para kandidat hanya diminta untuk melaporkan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai syarat pencalonan serta pelaporan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tidak ada penelusuran atas kekayaan dan dana kampanye yang digunakan. Jadi, sudah saatnya penyelenggara pemilu melakukan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) untuk menelusuri pendanaan para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada.

Kedua, perbaiki parpol. Bahwa yang menyebabkan maraknya politik uang di tingkat pemilih disebabkan oleh minimnya kedekatan pemilih dengan parpol yang tidak ada diferensiasi dan posisi ideologis.

Para elit parpol tidak bisa menyalahkan pragmatisme pemilih yang sampai saat ini masih dikambinghitamkan oleh para elit. Sedangkan, pemilih memandang kinerja parpol semakin memburuk apalagi semakin terkuaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elit partai. Maka, tidak ada jalan keluar bagi parpol selain berbenah diri.

Ketiga, pemahaman para pemilih. Akibat praktik politik uang yang sudah mendarah daging, akhirnya membuat para pemilih bahwa momen pemilihan umum adalah momen bagi-bagi sesuatu yang manfaatnya dirasakan secara langsung yakni bisa berbentuk uang atau barang.

Pemilih tidak memikirkan dampak buruk jangka panjangnya yang apabila pemilih menerima pemberian para kandidat maka harus siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya. Misalnya berupa kebijakan yang tidak berpihak pada dirinya.

Keempat, moral agama. Sepertinya masyarakat sudah terbiasa dengan dalil-dalil agama bahwa menerima uang haram (politik uang) adalah perilaku tercela. Tetapi, dalil-dalil itu hanya sebatas dalil yang sekadar diucapkan dari mulut atau maksimal hanya keluar dari kerongkongan tidak keluar dari hati.

Maka, sudah seharusnya para penyeru kalam Tuhan (tokoh agama) tidak hanya sekadar menyeru tetapi juga memberikan contoh yang baik.

Bahkan dalam beberapa kasus, seorang kiai membolehkan praktik politik uang karena masifnya praktik tersebut. Sehingga atas nama keadilan dihalakanlah praktik jual beli suara untuk mencapai permainan yang merata.

Kelima, penegakan hukum. Larangan terhadap politik uang sudah mapan diatur dalam undang-undang.

Tetapi, persoalan klasik masih saja menjadi kendala dalam memberangus politik uang yaitu persoalan penegakan hukum oleh pihak aparat yang berwajib.

Kepolisian, Bawaslu, dan Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang berperan dalam proses penegakan hukum tindak pidana pemilu (politik uang). Masyarakat tentu berharap besar terhadap lembaga-lembaga tersebut, terutama dalam hal menjaga kepercayaan publik terhadap pemilu. rmol news logo article

Fadli Rumakefing

Ketua HMI Cabang Jakarta Pusat Utara, Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA