Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Konstruksi Komunikasi Vaksin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Rabu, 28 Oktober 2020, 14:45 WIB
Konstruksi Komunikasi Vaksin
Ilustrasi vaksin/Net
HARAPAN. Sudah sejak jauh hari, keberadaan vaksin disebut sebagai game changer atas pandemi Covid-19. Dengan begitu, asa untuk keluar dari situasi serba sulit seperti saat ini, akan segera dituntaskan, kehadiran vaksin akan menjadi babak endgame bagi Covid-19.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sejauh harapan itu dilabuhkan, pada akhirnya kita memang harus kembali pada situasi riil yang tengah kita hadapi sekarang, bahwa belum ada vaksin yang telah tuntas menjalani proses penelitian secara final. Dalam batas waktu penantian itu, kesabaran untuk menunggu vaksin berhadapan dengan kelelahan psikologis publik.

Karena itu pula Dr Tedros Adhanom menyebut istilah pandemic fatigue, kondisi ini tercipta setelah sekian lama umat manusia seolah terpenjara dalam dunia kehidupannya, serta dilepaskan dari akar sosialnya. Tidak mudah, tetapi itu menjadi bagian kontribusi kita dalam perjuangan melawan Covid-19.

Menurut Dirjen WHO tersebut, harus diakui bahwa pandemi adalah medan perang fisik dan psikologis. Dengan begitu, harus terdapat upaya bersama dalam mengatasinya, bertumpu pada ilmu pengetahuan -science, berorientasi solusi -solutions, dengan menjalin solidaritas -solidarity.

Kerangka yang dibutuhkan agar ketiga pilar itu bisa dijalankan adalah dengan membangun kesadaran publik sebagai ekspresi kepentingan bersama, bahwa akan terjadi proses transaksi dalam kerangka kompromi dan penderitaan.

Mengapa begitu? Karena belum ada yang dapat memastikan bagaimana pandemi berakhir, kita akan tersiksa karena implementasi lockdown, tetapi tidak banyak pilihan lain. Karena itu, seluruh pihak harus mampu mengkompromikan banyak hal, atau yang disebut Dr Tedros sebagai trade off, compromise and sacrifice.

Lalu, bagaimana dengan vaksin Covid-19 yang sudah mulai dipromosikan sebagai penuntas pandemi kali ini? Selayaknya pilar pertama mengatasi pandemi, maka tumpuan yang menjadi dasar fundamental mengatasi Covid-19 adalah aspek ilmu pengetahuan -science.

Bila menyebut vaksin menjadi sarana ampuh guna mengatasi pandemi, maka harus terlebih dahulu dilakukan pembuktian keabsahan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, melalui metode ilmu pengetahuan secara terbuka. Kaidah pengujian ilmiah harus dipergunakan, notabene mewajibkan prinsip valid dan empirik.

Vaksin di Media Sosial

Jika mengacu pada hasil temuan drone emprit, melalui hasil analisis percakapan di media sosial Twitter, sebagaimana terbaca pada hampir 4.5K pembicaraan sepanjang 21-29 Oktober 2020, maka netizen terbagi ke dalam beberapa cluster, pertama: para ilmuan dan tenaga profesi kesehatan, kedua: media online dan ketiga: khalayak media sosial.

Sentimen dari seluruh percakapan memperlihatkan bahwa, sekitar 71 persen pengguna sosial media menanggapi positif keberadaan vaksin dalam waktu dekat, sisanya 28 persen justru sebaliknya bersentimen negatif.

Problemnya, mereka yang bersuara dalam sentimen negatif dikontribusikan oleh ilmuwan dan tenaga kesehatan. Hal itu pula yang terlihat melalui surat organisasi profesi IDI yang dilayangkan kepada Menteri Kesehatan (21/10) untuk meminta kecermatan serta kesiapan penuh dalam kehati-hatian, baik untuk pemilihan vaksin maupun pelaksanaan vaksinasi.

Keberadaan vaksin menurut modul Safety Training WHO, akan menyoal keamanan dan kebermanfaatannya. Persepsi publik akan berhadapan dengan rumor mengenai vaksin, oleh karena itu perlu disusun serta diatur model komunikasi yang dibutuhkan untuk dapat menjelaskan secara utuh kepentingan vaksinasi. Penjelasan menyeluruh tentang vaksin menjadi mutlak diperlukan.

Logika kerja vaksin adalah menimbulkan kekebalan tubuh, dan menjadikan populasi memiliki imunitas dalam menghadapi virus. Pada praktiknya, mekanisme vaksinasi menjadi bagian pelengkap dari pola perilaku hidup bersih dan sehat yang harus dibentuk sebagai budaya.

Pada kenyataannya, Rusia sebagai pemilik vaksin pertama di dunia Covid-19 dengan label Sputnik V, masih terlihat bertengger di posisi ke-4 versi worldometers.info dengan jumlah akumulasi kasus 1.5 juta.

Dengan kondisi tersebut, bahkan dengan klaim memiliki vaksin yang efektif mengatasi Covid-19, hasil di Rusia belum menguatkan keyakinan kita akan keampuhannya.

Bagaimana pun, upaya menemukan vaksin adalah langkah terbaik yang secara ilmiah dapat dijalankan oleh umat manusia, sembari tetap menjaga asa dan harapan dalam kedisiplinan budaya kehidupan sehat yang baru.

Di sisi lain, pernyataan tentang aspek komunikasi publik juga harus diperkuat, tidak hanya untuk mengatasi distorsi informasi, tetapi sekaligus membangun konstruksi kepercayaan publik dan meneguhkan harapan terbaik.

Proses komunikasi publik dalam menciptakan trust, harus disertai dengan kemampuan kepemimpinan untuk menjadi role model guna mempersuasi publik.

Jangan sampai, dalam menghadapi pandemi yang terjadi justru kehilangan harapan serta ketiadaan kepercayaan publik secara bersamaan. Pesan yang akan disampaikan kepada publik harus memperkuat sinyalemen, bahwa melalui kebersamaan kita akan mampu melewati semua permasalahan ini tanpa terkecuali. rmol news logo article

Penulis tengah menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA