Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pancasila Adalah Kita

Senin, 05 Oktober 2020, 19:46 WIB
Pancasila Adalah Kita
Soeyanto Soe/RMOL
SAMPAI hari ini, setelah lewat beberapa hari mengenang G30S atau pun Hari Kesaktian Pancasila, nada gaungnya tetaplah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita tidak pernah jelas memaknai Pancasila maupun apa yang terjadi atas peristiwa di tahun 1965 itu.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Tulisan ini tidak membahas isu-isu PKI dan pernak-perniknya. PKI adalah wacana penuh kabut bagi warga-warga bodoh yang tidak ingin belajar dan berpikir.

Sulit membahasnya di sini karena pasti akan mengundang makian-makian sontoloyo dari kaum ultra-nasionalis galau. Yang dibahas pada kesempatan ini hanyalah berfokus bagaimana agar kita bisa melihat Pancasila secara lebih realistis.

Hampir semua kita, sejak era Orde Baru telah dikenalkan dan diajarkan tentang Pancasila via gaya-gaya propaganda. Akan tetapi apa hasil yang dapat dipetik dari propaganda puluhan tahun ini?

Belakangan yang terjadi malah sikap saling curiga, keangkuhan, kebodohan, dan emosi yang menggonggong entah untuk apa. Sesama anak bangsa saling sinis dan dengan ringannya mengklaim paling pancasilais dan mencap gerombolan di luar kelompoknya sebagai anti-pancasila. Tudingan ini datang dari segala penjuru. Baik dari yang beratribut agama maupun yang beratribut tukang-pukul. Dari kalangan intelektual hingga para rerata jelata. Semua berhore-hore, berjingkrak-jingkrak, melotot-melotot, entah untuk apa.

Begitukah ulah kita yang mengaku berada di bawah satu naungan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Merah-Putih ini? Tidak malukah kita pada diri sendiri? Tidak malukah bahwa kalian telah beringas dan mengacungkan segala kebencian pada saudara-saudaramu sendiri?

Ini adalah parade kebodohan yang luar biasa tetapi dipertunjukkan dengan bangga.

Bahkan sekelas Sujiwo Tejo, Budayawan yang sudah sering hilir-mudik di televisi itu, di sebuah acara masih mempertanyakan apakah Pancasila itu ada? Kalau Pancasila itu ada, dia ada di mana? Sujiwo Tejo saja tidak dapat gamblang menyebutkan, apalagi rakyat umumnya.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena sejak Orde Baru, elit cenderung melihat Pancasila sebagai alat politik. Sementara di posisi lain, rakyat dijejali Pancasila secara mekanistik. Pancasila tidak diserap dan dipahami dengan hati sebagaimana di era Sukarno dulu.

Sukarno dan kawan-kawan segenerasinya jungkir balik memformulasikan gagasan tentang Pancasila. Mereka melakukannya dengan penuh passion karena mereka tahu bahwa nilai-nilai luhur ini akan menjadi ideologi yang dibutuhkan rakyatnya.

Sukarno dengan indah menyatakan hal yang fundamental pada pidatonya di tanggal 1 Juni 1945 bahwa kita mendirikan suatu negara "semua untuk semua". Berbasis kebangsaan tanpa membedakan golongan-golongan. Sebuah bangsa yang berhendak untuk bersatu karena persatuan nasib. Betapa romantisnya hal ini.

Namun kini Pancasila yang seharusnya menjadi dasar persatuan kita, yang menjadi payung kebersamaan kita, malah menjadi alat penggebuk. Sehingga kegelisahan ini memunculkan pikiran-pikiran kotor. Sebagian kita malah ingin mengenyahkan Pancasila. Menggantinya dengan khilafah, kapitalisme, komunisme, atau apalah. Semuanya ingin menumbuhkan romantisme baru. Ini jelas ngelindur.

Jadi yang ingin mengganti Pancasila itu, tentunya lupa diri dan sangatlah ahistoris. Tidak tahu bahwa kebangsaan kita melekat dengan Pancasila. Tidak tahu bahwa negara ini dibangun berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang sudah selesai diperdebatkan.

Mereka tidak tahu bahwa wacana ini-itu yang sok gagah dibahas hari ini sebenarnya sudah dialami oleh generasi Sukarno di awal kemerdekaan. Sebuah generasi tangguh. Bukan generasi eraman ragi seperti yang kini banyak bermunculan.

Mengganti Pancasila sama saja mengubah bangsa dan negara ini. Mengubah kesepakatan sakral. Bangsa dan negara otomatis bubar.

Kita tidak berhak mengubah keikhlasan yang telah diikrarkan di awal-awal kemerdekaan. Negara dan bangsa memang bukanlah barang final. Dia bisa diubah dan direvisi. Namun hak untuk mengubahnya harus memenuhi beberapa syarat.

Dalam konteks kepancasilaan kita, ideologi kita, apakah kita sudah benar-benar paham tentang Pancasila? Apakah kita sudah pernah benar-benar mengawal Pancasila? Apakah Pancasila dalam tataran praktis sudah pernah benar-benar diuji?

Ketika kita belum pernah melakukan hal-hal semacam ini, tidak pantas dan tidak berhak seseorang menggugat keagungan Pancasila di Republik ini.

Jadi kembali pada pertanyaan: Apakah Pancasila itu? Adakah Pancasila itu?

Pertanyaan ini membuncah karena kita telah puluhan tahun mempelajari Pancasila secara mekanistik. Mempelajari Pancasila melalui buku-buku manual. Pancasila menjadi berjarak. Tidak operasional dan menjadi sangat asing.

Kita harus kembali mempelajari Pancasila seperti waktu-waktu di awal-awal kemerdekaan dulu. Mempelajari Pancasila dengan penuh gelora, dengan setulus hati, dan segenap jiwa. Membayangkan sebuah romantisme dari sebuah bangsa yang bersatu karena persamaan atas sebuah cita-cita: Adil dan Makmur.

Maka saya tegaskan bahwa PANCASILA ADALAH KITA.

Pancasila ada pada tiap-tiap diri bangsa Indonesia. Pancasila itu mengalir dalam darah tiap-tiap rakyat Indonesia. Pancasila itu seperti keimanan. Kadarnya bisa naik-turun. Meski dia naik-turun, tidaklah dapat seseorang dicap 100 persen sebagai orang yang tidak pancasilais. Tidak bisa. Mungkin dia sedang keliru. Mungkin dia sedang salah. Tugas kitalah untuk memperkuat kadar keimanan kepancasilaan dirinya. Pancasila adalah kita sehingga bersama-samalah kita menjaganya.

Jadi jangan lagi menanyakan Pancasila itu sebenarnya ada apa tidak? Ini pertanyaan orang yang bodohnya sampai ke langit. rmol news logo article

Soeyanto Soe
Pemerhati Ruang Publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA