Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menjaga Harapan Masyarakat Di Tengah Bencana

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Jumat, 02 Oktober 2020, 12:27 WIB
Menjaga Harapan Masyarakat Di Tengah Bencana
Ilustrasi
PANDEMI corona adalah momentum  masyarakat pers melaksanakan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya amanah konstitusi  bahwa pers bersama rakyat mengawal penyelenggara negara menangani bencana di bidang kesehatan ini.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sejauh pengamatan, tanpa komando, tujuh bulan terakhir, rasanya jarang, kalau tak mau dikatakan pertama kali masyarakat pers bersatu: menjadikan wabah corona sebagai musuh bersama. Masyarakat bisa merasakan politik pemberitaan pers semua media menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat adalah prioritas utama. Politik pemberitaan demikian jelas ditujukan terutama untuk menanamkan keyakinan dan harapan kepada seluruh rakyat agar terbebas dari penularan.

Tapi pilihan ini tidak mudah. Sebab, secara bersamaan, pers tidak hanya berhadapan dengan pandemi Covid-19 dan sebagian masyarakat yang tidak peduli Covid-19 saja, tetapi juga pada sikap dan kebijakan penyelenggara negara yang gagap, kalau tak mau dikatakan inkonsisten, di mana  berbulan-bulan menunjukkan sikap ambigu. Itu tercermin dari saling silang pendapat antar pemerintah sendiri di depan publik tiap kali membuat suatu kebijakan.

Beruntung pers cukup leluasa memberitakan semua itu, sambil tetap meyakinkan publik, mereka  pada fitrahnya, dalam kondisi yang parah pun dalam kehidupannya, tetap  menuntun dan menasihati pemerintah untuk berpandangan sama yaitu: Keselamatan jiwa utama.  Sejak awal pandemi merebak.

Segera setelah Presiden mengumumkan pasien 1 dan 2 positif Covid-19 pada 2 Maret, saya sudah merasa ada pemahaman yang tak beres dalam penanganan Covid-19. Ini merujuk dari respons pemerintah sebelum itu, sejak virus itu meledak di Wuhan, Cina.

Masih segar dalam ingatan kita pada pernyataan pejabat pemerintah yang bahkan mengolok-ngolok virus. Saya tidak tahu, apakah itu bagian dari strategi pemerintah untuk menenangkan dan menjaga harapan masyarakat, waktu itu.  Sebab statement seperti itu bagai koor dari para menteri hingga Presiden.

Segera setelah Presiden mengumumkan pasien 1 dan 2, saya mengontak Gubernur DKI Anies Baswedan. Saya mendapat informasi, sebenarnya waktu itu ada 4 pasien positif. Pasien 1 & 2 di Depok, sedangkan dua lainnya di Jakarta. Kenapa ini tidak diumumkan? Dalam percakapan selanjutnya,  Anies menyilahkan  saya untuk mengontak ahlinya: WHO Indonesia.

Mereka punya perspektif bagus mengenai wabah Covid-19 (waktu itu belum disebut pandemi). Perspektif WHO Indonesia sungguh mencengangkan. Satu pasien Covid-19 dalam seminggu bisa menularkan virus kepada 1000 orang, dan sebulan menjadi 10.000 orang. Angka yang amat fantastis. Rasanya kurang masuk akal. Berlebihan. Faktanya, per hari ini, jumlah warga masyarakat yang terinfeksi Covid-19 sudah nyaris 300 ribu. Hari ini, persis 7 bulan setelah pengumuman pasien 1 dan 2 oleh Presiden.

Pers harus mengawal ketat pandemi ini. Inilah momentum untuk mengabdikan peran pers kepada masyarakat. Saya kumpulkan redaksi di group media kami. Beruntung dalam pelaksanaan PSBB, industri pers/ industri komunikasi, tidak termasuk dalam daftar pengetatan aktifitas.

Saya minta mereka menghitung kemampuan termasuk kemampuan finansial perusahaan untuk bisa bertahan melaksanakan fungsi hingga dua tahun.

Kenapa dua tahun? Pertimbangannya, seluruh syarat menjaga kesehatan supaya tidak tertular seperti yang dianjurkan PSBB berlawanan dengan kebiasaan masyakat kita. Jangan keluar rumah, pakai masker, jaga jarak, sering cuci tangan, dan lain sebagainya.

Kultur masyarakat kita adalah masyarakat kerumunan dan keriuhan. Saya teringat ketika bom meledak di Sarinah Thamrin. Salah satu penyebab pihak polisi agak repot di lapangan, karena TKP dikerumuni warga yang sama sekali tidak takut pada bahaya bom.

Lihatlah di kampung- kampung, rumah-rumah warga sudah memiliki pesawat televisi, tetapi mereka tetap berkerumun di panggung hajatan yang menggelar musik dangdut dan film layar tancap. Mengerikan sekali.

Keadaan menjelaskan sejak awal kami dan saya kira hampir seluruh media pers menyuarakan supaya pemerintah menggunakan alat pemaksa / sanksi hukum bagi warga yang melanggar protokol kesehatan. Pers menyuarakan perlunya menggunakan UU Karantina sebagai landasan hukum untuk menerapkan pembatasan.

Dengan UU itulah di banyak negara mereka lakukan lockdown. Namun pemerintah memilih PSBB. Hanya sebagian pasal UU Karantina yang digunakan. Pasal yang mengandung konsekwensi seperti pasal 51 UU Karantina dilepas.

Pasal itu memang mengandung konsekwensi finansial yang besar. Pemerintah Pusat berkewajiban membiayai hidup masyarakat yang terdampak karantina, termasuk makanan untuk ternaknya. Sebenarnya, kalau dilihat dari dimensi waktu, dan terutama jika hanya Jakarta yang dilockdown ketat, paling banyak waktu yang dibutuhkan satu bulan, dan biayanya tentu lebih sedikit dibandingkan pembiayaan pemerintah ketika virus telah menyebar ke pelosok Nusantara.

Karena itu pers tidak berhenti mengoreksi pilihan-pilihan keliru yang diambil pemerintah menangani pandemi. Itulah sebagian dari peran pers menjaga semangat masyarakat menghadapi pandemi.

Sejak awal penanganan pandemi hingga sekarang, kita memang dibuat tercengang mengapa bukan kementerian kesehatan dan ahli kesehatan yang menjadi dirijen, tetapi justru lebih banyak menunjuk aparat berlatar belakang militer sebagai komando. Pandemi virus adalah bencana non alam, bencana kesehatan.

Tujuh bulan setelah pasien 1 & 2 ditemukan di Indonesia, angka penularan pandemi tak kunjung landai. Sementara di negara lain yang memberlakukan lockdown sudah banyak yang sudah berhasil mengendalikan pandemi itu.

Contoh negara yang paling sukses mengendalikan pandemi dengan lockdown secara total ada Wuhan, Cina. Tempat asal merebaknya Covid-19.

Dalam skenario kalangan pers, andaikatan pada bulan April itu PSBB di Jakarta dilaksanakan sesuai kebijakaan Gubernur DKI yang hendak menutup Jakarta, mungkin penularan itu bisa lebih cepat teratasi dan penyebaran tidak sampai meluas sampai ke seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan pandangan pakar kesehatan, virus Covid-19 bukanlah zat yang punya mobilitas tinggi. Mobilitas tinggi masyarakatlah yang membuat virus ini cepat menyebar luas.

Menutup dua minggu atau sebulan DKI seperti halnya Wuhan, kita percaya virus tidak akan meluas penyebarannya. Itu sudah berhasil dilakukan di banyak negara.

Tidak ada cara lain, pers harus tetap  melakukan kontrol terhadap kebijakan penanganan Covid-19. Itu akan menjadi obat penenang sekaligus tonikum bagi masyarakatmemelihara harapannya. Saya menduga peran itu juga yang perlahan menumbuhkan kesadaran sebagian besar masyarat  tentang bahaya Covid-19.

Dalam pemberitaan pers memang terlihat gaduh selama  tujuh bulan masa pandemi. Kalau pemerintah mengklaim pandemi Covid-19 di Indonesia masih lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya, bahkan beberapa negara maju, saya berani mengklaim itu karena sebagian berkat kontribusi pers.

Sampai hari ini kalangan pers tidak berhenti mengkritisi keputusan Presiden Jokowi  meneruskan Pilkada 9 Desember 2020 di tengah bahaya pandemi. Sikap pers ini bukan tanpa risiko. Pers akan menghadapi lawannya yang ketiga: buzzer yang ganas di media sosial yang bisa melakukan doxing terhadap wartawan dan media.

Putusan Jokowi melanjutkan Pilkada sebenarnya pertama-tama melawan sendiri pernyataannya mengutamakan kesehatan dan keselamatan jiwa ketimbang prioritas lainnya. Fakta yang terjadi pemerintah 
memilih prioritas hak memilih rakyat (faktor demokrasi) dan dapur rakyat (faktor ekonomi) ketimbang hak hidup dan (kesehatan) rakyat yang terancam karena meluasnya penularan wabah Covid-19 yang belum diselesaikan pemerintah.

Bayangkan pada hari H Pilkada  9 Desember ada sekitar 105 juta rakyat akan menggunakan hak pilihnya secara serentak di 350 ribu TPS. Nyatanya Pilkada bukan itu saja, tetapi juga kerumunan masa kampanye hingga 5 Desember adalah mangsa empuk pandemi.

Head line dan editorial kebanyakan media pers Indonesia menyiarkan masifnya pelanggaran protokol kesehatan dalam rangkaian kegiatan Pilkada. Kemarin diberitakan 35 pilkada di Kabupaten Kota melanggar protokol kesehatan. Malah, di hari pertama kampanye Pilkada Tim Cawali Medan Bobby Nasution juga melanggar protokol kesehatan. Sebagai penutup, saya ingin mengutip kembali pernyataan Presiden Ghana akhir Maret.

“Saya bisa menghidupkan perekonomian Ghana. Yang saya tidak bisa lakukan adalah menghidupkan orang mati”, kata  Addo, Presiden Ghana.

Presiden Jokowi lebih kurang sudah mengatakan hal sama, seperti dikutip di atas.

Baru-baru ini. Data Covid-19 di Ghana  perhari Kamis (1 Oktober) adalah 46.626 terinfeksi positif; 45.757 sembuh; dan meninggal 301 menunjukkan pernyataan Presiden Ghana dilaksanakan. rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA