Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menuju Kurva U Atau Ba’

Rabu, 30 September 2020, 13:45 WIB
Menuju Kurva U Atau Ba’
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna/Net
MENTERI Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, seolah hands-up. Dalam Video Conference APBN KiTa, Selasa (22/9/2020), memastikan ekonomi nasional resmi masuk ke zona resesi pada kuartal III-2020. Tentu, menyusul revisi proyeksi yang dilakukan Kementerian Keuangan, yang secara kumulatif terkontraksi minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.

Realisasi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2020 telah minus 5,32 persen. Resesi akan terjadi jika pertumbuhan ekonomi nasional kembali negatif di kuartal berikutnya.

Meminjam indikator yang digunakan Komisioner Biro Statistik Perburuhan Amerika (1974), Julius Shiskin, dalam Boone & Kurtz (2007: 122), resesi ekonomi muncul, jika terjadi penurunan PDB riil selama dua kuartal berturut-turut, anjloknya 1,5 persen PDB rill, penurunan industri manufaktur selama enam bulan, tergerusnya daya beli non-pertanian, pengurangan pekerjaan di bidang industri lebih 75 persen, dan peningkatan angka pengangguran sebesar dua digit.

Dengan proyeksi dan fakta ekonomi yang terjadi itu, cukup mengonfirmasi bahwa pemulihan ekonomi nasional selama pandemi Covid-19 akan terjebak pada kurva yang bukan lagi dalam bentuk huruf V, tapi mengarah pada huruf U, L, ataukah W. Bahkan, bisa jadi menyamai logo Nike atau huruf ba’ dalam bahasa Arab.

Kendati demikian, dengan tren yang masih minus menuju titik 0 persen, bisa diproyeksi mengarah ke huruf U atau ba’. Ini artinya, kurva akan bergerak slow-down, yang kemudian melenting seperti sebelum pandemi Covid-19.

Indikatornya, tekanan daya beli masyarakat, pengangguran membumbung tinggi, dan secara agregat investasi, ekspor, impor masih terkontraksi. Jika pemulihan ekonomi, baru terjadi dalam 2 dan 3 tahun ke depan, maka Simon Jhonson, Kepala Ekonomi IMF berujar: “ Kurva U seperti bathtub, kamu masuk ke dalam bak mandi, lalu berdiam di situ. Sisi bak licin, dan mungkin ada pegangan, tapi kamu lebih memilih berdiam di situ dalam waktu lama”.

Stephenie Meyer, novelis Amerika Serikat, dalam karyanya Twilight Series berujar: I like the night. Without dark, we would never see the stars (Saya suka malam hari. Tanpa kegelapan, kita tidak dapat melihat bintang).

Bahkan, ada kata-kata bijak menyebutkan: “ …. tidak ada badai yang tidak berakhir. Di balik duka, pasti ada berita gembira. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi, kita harus yakin, setelah badai, selalu ada pelangi yang berwarna indah”.

Kontraksi yang terjadi sejatinya membersitkan cahaya. Merujuk hasil survei Mckinsey (Agustus 2020), ada 69 persen responden cenderung menggunakan produk lokal masa pandemi.

Ini artinya, ada peluang atau cahaya untuk peningkatkan kapasitas dan permintaan dalam negeri untuk produk lokal, sehingga bisa mengurangi ketergantugan pada impor, yang selama ini mendominasi pasar dalam negeri.

Maka, sangat tepat, jika mengonfirmasi survei Nielsen (Juni 2020), bahwa terdapat lima sektor bisnis yang dinilai tahan krisis, antara lain, bisnis makanan dan minuman atau food and beverage (F&B), usaha penjualan kebutuhan bahan pokok, sektor jasa atau produk kesehatan, usaha jasa pendidikan dan pelatihan, serta bisnis sektor digital.

Mencermati hasil survei itu, ada dua pendekatan yang perlu dilakukan, yakni pendekatan kebijakan makro ekonomi dan mikro ekonomi. Dalam perspektif makro ekonomi, dibutuhkan kebijakan serius dari pemerintah untuk melakukan inward looking strategy atau kerapkali disebut kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI).

Kebijakan ini, yang menurut Hamilton (2002) mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri. Kebijakan ini didasarkan pada anggapan bahwa sebuah negara harus mengurangi ketergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan produk industri dalam negerinya.

Namun, kebijakan ISI ini pada faktanya pernah mengalami kegagalan. Pada era Orde Baru (Orba), merujuk Sritua Arief (1988), justru menguras cadangan devisa karena penekanan produksi barang mewah yang berteknologi tinggi dan padat modal, sehingga industri pun sangat bergantung pada pasokan input negara-negara maju.

Bahkan, industri nasional bergantung pada pembelian barang modal dan input antara, yang sebagian besar harus di impor.

Bukan itu saja, strategi ini menyediakan banyak fasilitas bagi kelompok bisnis tertentu. Tanpa disengaja berefek samping, terjadinya akumulasi modal pada kelompok tertentu.

Akhirnya, lahir struktur industri yang sangat terkonsentrasi, dibentuk pula asosiasi-asosiasi industri yang cenderung mendorong lebih terkonsentrasinya struktur pasar, monopoli dan oligopoli. Boleh dikatakan, struktur pasar seperti itu terwariskan hingga sekarang, yang justru telah memicu ketimpangan ekonomi.

Memang, kebijakan inward looking strategy terlihat ideal. Namun membutuhkan persyaratan, seperti, political will dan power full pemerintah untuk mengawalnya, juga perlu ketersediaan devisa yang besar, dukungan atau bantuan asing, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Dalam konteks masa pandemi Covid-19 saat ini, dukungan itu kurang terfasilitasi, terutama dalam jangka panjang. Dalam strategi jangka pendek, sejatinya bisa terfasilitasi melalui program stimulasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Selanjutnya, dalam perspektif mikro ekonomi, terutama dalam tingkat masyarakat, dibutuhkan perubahan paradigma dari perilaku mental konsumen yang konsumtif menjadi perilaku “teologi” produksi. Artinya, orientasi masyarakat harus bermental menciptakan, berproduksi, berkarya, dan inovasi, mulai dari tingkat rumah tangga. Dalam konteks inilah, Industri Kecil dan Rumah Tangga (home industry) harus dilipatgandakan keberadaannya dengan dukungan kebijakan distribusi dan pemasaran.

Selain itu,  diperlukan basis gerakan ekonomi “Dari kita, Oleh kita ,dan Untuk kita”, seperti yang pernah diingatkan oleh Bung Hatta (1974). Konsep itu, sejalan dengan makna  close loop economy yang berbasis komunitas, bahkan bisa dikembangkan dalam bentuk community marketplace.

Semua itu bisa eksis, jika optimalisasi instrumen kembaga keuangan lokal (rakyat), seperti Koperasi, BTM, BMT, LKM lainnya hingga lumpung pangan (food estate) lokal, ikut mengawal dan mendukung. rmol news logo article

Mukhaer Pakkanna
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA