Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiga Kenangan Sekilas Dengan Jakob Oetama

Senin, 14 September 2020, 21:41 WIB
Tiga Kenangan Sekilas Dengan Jakob Oetama
Soeyanto Soe/RMOL
BEBERAPA hari lalu beliau berpulang. Sebagai pemilik Kompas Group, media besar bereputasi tinggi di Indonesia, tentu banyak kisah yang bisa dikenang dan disampaikan oleh orang-orang yang mengenal beliau.

Saya hanyalah sebutir debu yang bertemu almarhum hanya di 2-3 kali kesempatan. Akan tetapi kesan pertemuan singkat itu sangat melekat di ingatan saya.

Pertemuan pertama, saat saya masih hijau sebagai mahasiswa di kampus UGM. Sekitar tahun 1989-1991. Mendengar ceramah beliau 1-2 kali dan saya waktu itu praktis tak peduli dengan tokoh-tokoh yang memiliki nama besar.

Siapalah dia, saya tak peduli; naif saya membatin. Saya memang orang yang sejak dulu tidak mudah terpesona dengan "tokoh". Saya lebih sering melihat tokoh-tokoh itu sejenis jejadian lelemut di masyarakat feodal kita.

Beliau berceramah tentang pers dan peran jurnalis. Beliau beranggapan siapapun bisa menjadi wartawan. Tak harus dari lulusan Ilmu Komunikasi. Yang penting piawai menulis karena media menyajikan berita dan ulasan dari berbagai disiplin ilmu.

Sebagai anak jurusan Ilmu Komunikasi, pemaparan beliau terasa pedas di telinga saya. Tinjauan pragmatisme beliau juga sangat terasa di tengah gerakan moral kami yang semakin memanas untuk melawan Soeharto.

Momen pertemuan kedua ketika saat naik taksi (Kosti, waktu itu) di awal Pebruari 1999. Saya mengarah ke kompleks Gedung Kompas-Gramedia di Palmerah Selatan untuk mengumpulkan bahan-bahan thesis yang sedang saya susun.

Saat taksi masuk berbelok ke jalan Palmerah Selatan, tepat di pertigaan itu, yang jarak lobby gedung masih sekitar 300 meter, taksi yang saya tumpangi dihentikan oleh seorang satpam. Dikatakan pada sopir taksi, satpam menghentikan taksi karena pak Jakob perlu kendaraan. Beliau sedang buru-buru. Tentu saya terkejut, seorang pemilik perusahaan maha besar, masih kelimpungan mencari kendaraan.

Saat itu juga saya melihat sosok pak Jakob mendekat. Saya terloncat dari taksi karena kaget. Dengan sangat sangat sopan pak Jakob menyapa saya meminta izin apakah saya berkenan membolehkan taksinya langsung dipakai. Argo masih menyala. Pak Jakob mengatakan biarkan argo menyala dan beliau akan lanjutkan pembayarannya.

Refleks saya membayar taksi dan seketika saya menjawab sambil membukakan pintu, "Silakan Bapak, silakan...".

Pak Jakob masuk taksi dan beliau masih menyampaikan salam dan terimakasih pada saya dengan hangat dan santun.

Seturun dari taksi, saya hampiri satpam itu. Menanyakan apakah benar sampai pak Jakob kesulitan kendaraan. Satpam menjawab bahwa sore itu memang kendaraan pak Jakob sedang tidak ada di tempat. Sopirnya sedang menunaikan tugas lain. Saya kemudian melambaikan terimakasih pada pak Satpam dan meneruskan langkah saya ke dalam gedung Kompas-Gramedia.

Di dalam gedung saya tercenung dan tersadar, mengapa saya tidak meminta menemani perjalanan beliau di dalam taksi tadi? Meski kemungkinan beliau menolak tetapi bila kesempatan itu terjadi tentu saya akan mendapat momen wawancara ataupun dialog yang mengasyikkan. Saya yakin tidak akan membosankan berbincang dengan beliau meski di dalam taksi sekalipun. Sebuah momentum terlewat karena ketidakcekatan saya. Kejadiannya memang sangat cepat.

Momen ketiga terjadi ketika saya kembali berkunjung ke gedung Kompas-Gramedia di pertengahan tahun 2006. Saya sedang menyusun bahan untuk disertasi. Saat itu tak sengaja saya berjumpa pak Jakob di lift.

Saya takzim menyapa beliau dan menyampaikan salam pak Arief Budiman, pembimbing saya di the University of Melbourne. Sekaligus saya sebutkan tujuan saya datang ke gedung itu. Beliau tersenyum hangat dan memastikan 2-3 kali apakah saya memiliki kendala pelayanan saat berada di Kompas-Gramedia terkait aktivitas riset untuk disertasi saya.

Saat di lift itu pak Jakob didampingi oleh Suryapratomo (Tommy) yang telah menjadi Pemimpin Redaksi harian Kompas. Pak Jakob mengenalkan saya pada Tommy dan meminta Tommy untuk membantu saya.

Tentu untuk urusan pengumpulan bahan disertasi tak perlulah saya sampai meminta bantuan selevel Pemred. Saya sampaikan terimakasih pada pak Jakob bahwa saya sudah dibantu oleh Lim Bun Chai, seorang senior untuk desainer grafis Kompas, dan semuanya baik-baik saja. Pak Lim jugalah yang membantu saya saat menyusun thesis di tahun 1999 itu yang kebetulan topik thesis saya adalah tentang "Desain Suratkabar".

Berpulangnya pak Jakob keharibaan Sang Pencipta pastinya meninggalkan rasa sedih. Bukan saja beliau dikenal sebagai pelopor suratkabar Indonesia di era modern tetapi juga karena saya mengingat beliau sebagai orang baik. Tentu sosok seperti pak Jakob, terlepas dari berbagai prestasi, juga menuai kontroversi. Harian Kompas kadang dinilai terlalu "soft" dan kerap dituduh takut untuk kritis pada penguasa. Terlebih di jaman Orde Baru.

Terlepas dari tuduhan-tuduhan itu, bagi saya harian Kompas sudah berhasil selamat dari berbagai ranjau kejam para rezim. Pak Jakob memilih jalannya. Almarhum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bagi saya beliau layak di sana.

Beliau orang besar. Selamat jalan pak Jakob Oetama. Semoga warisanmu seterusnya tetap menjadi tempat belajar bagi orang-orang yang peduli pada kebebasan berpikir dan kebebasan penyampaian gagasan di negeri yang unik ini. rmol news logo article

Soeyanto Soe
Pemerhati Ruang Publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA