Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Merdeka 75 Tahun Masih Saja HIP...HAP...PIP...HUB: Saatnya Kembali ke UUD 1945 Asli (Bag. 3)

Kamis, 20 Agustus 2020, 17:14 WIB
Merdeka 75 Tahun Masih Saja HIP...HAP...PIP...HUB: Saatnya Kembali ke UUD 1945 Asli (Bag. 3)
Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah), dan Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur, Choirul Anam/Net
IRONINYA, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, justru percaya konspirasi rekayasa kapitalis-komunis itu. Bahkan Presiden Jokowi pun mengajarkan slogan: “Saya Pancasila, saya Bhinneka Tunggal Ika, NKRI harga mati!”

Slogan itu kemudian dipakai “senjata” kelompok tertentu untuk menembak kelompok Islam yang dituduh garis keras, radikal, khilafah HTI, anti Pancasila, membahayakan NKRI dan cap-cap negatif lannya. Akibatnya, seperti kita saksikan dan rasakan, banyak ulama, ustadz, tokoh masyarakat dan aktivis kritis yang menyuarakan kebenaran dan keadilan, justru dituduh penganut khilafah-HTI yang ingin mengganti Pancasila dengan Khilafah. Wow... Sadis bener nian! Lagi mimpi apa ngelindur bro!

Dan anehnya lagi, kelompok pemakai slogan “Saya Pancasila. NKRI Harga Mati, Pancasila Yes, Khilafah No!” itu, justru bebas bengak-bengok menghujat kelompok lain. Mereka tak tersentuh hukum dan seolah dilindungi. Lalu, karena khilafah bahasa Arab, maka apa saja yang berbau Arab, mereka hina dengan sebutan Kadrun (kadal gurun),  onta kemcing dst.

Akibatnya, Islam pun tak luput dari cacian dan hinaan mereka, karena baik kitab sucinya maupun Nabi Muhammad SAW, berbahasa dan berasal dari Arab. Coba lihat di HP Anda, hampir setiap grup  WhatsApp, ada meme hina Arab, Islam dan Nabi Muhammad SAW. Dan mereka aman-aman saja, bahkan seolah dipelihara.

Karena itu, kini banyak orang tua (berusia di atas 80 tahun) yang mewanti-wanti agar rakyat dan terutama umat Islam waspada dan berhati-hati. Sebab, “situasi dan kondisi negara dan bangsa kita sekarang ini mirip zaman Kompeni, zaman penjajahan Belanda”, kata simbah. Dulu, rakyat ditindas, dipecah-belah dan diadu-domba, terutama umat Islam dibikin sibuk urusan TBC (tahayul. bid’ah, churafat).

Sekarang? “Sama persis.” Rakyat ditindas dengan segala macam pajak, bahan pokok terus naik, listrik, air, BBM, BPJS, elpiji naik semua. PHK di mana-mana, pengangguran menumpuk, rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Itupun masih dipecah-belah: ada cebong, kampret, kadrun, kodok dan banyak lagi. Sementara kekayaan negara  dikeruk  oligarki kapitalis dan taipan komunis sampai habis.

Cukup? Belum! Umat Islam dikasih “mainan” khilafah HTI agar terus bermusuhan.  Sampai dengan saat ini, HTI masih dijadikan isu sentral untuk digubuk dan ditumpas beramai-ramai.  Kelompok ini dipersepsikan seperti “Naga Merah” yang menguasai DPR, MPR, DPD, birokrasi dan lembaga negara lainnya, yang siap mengganti Pancasila dengan Khilafah. HTI digambarkan sebagai sarang teroris semacam ISIS, dan siap menelan NKRI dengan moncong putih Khilafah. Coba!

Padahal, HTI yang digambar bringas itu, setelah status BHP (Badan Hukum Perkumpulan)-nya dicabut Kemenkumham, langsung klenger, teler pingsan, terkapar dan mati gaya. Kagak ada lagi seremnya, kagak ada bringasnya. Ya...mau bagaimana lagi, karena memang HTI tidak seperti yang dinarasikan. Tidak seperti OPM yang memang radikal tindakan beneran. Pembela HTI pun, Prof.Yusril Ihza Mahendra, ketika kemudian merapat menjadi pembela Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019, juga tidak ada masalah, mulus-mulus saja. Tapi anehnya,  Hasto Kristiyanto  dan massa Kudatuli masih saja shadow boxing HTI. Ada apa bro!

Tentu ada maksud lain. Paling tdak, “mainan” HTI masih dianggap efektif untuk memecah-belah umat Islam. Lihat saja NU (Nahdlatul Ulama) dan anak cucunya! Sampai detik ini para tokoh pembesar ormas keagamaan itu, masih saja “girap-girap” melihat “semut” HTI dikira Naga Sembilan. Sehingga elite-elite NU justru lupa terhadap ancaman besar dan serius yang, kasat mata, akan “mereme-remet” dasar negara Pancasila.

Tapi PBNU kan juga menolak RUU HIP bro? Betul! Bahkan penolakannya banyak diacungi jempol, karena dinilai paling valid dan argumentatif. Tapi itu terjadi setelah MUI dan Muhammadiyah bersikap. Dan sikap PBNU itu pun buru-buru disusul dengan persetujuannya terhadap RUU BPIP, apa motifnya? Sudah begitu, buru-buru disusuli pula sikap naif PWNU�"sebagaimana terjadi di Jawa Tmur.


Ketua PWNU Jatim KH. Marzuki Mustamar, setelah melihat aksi massa menolak RUU HIP, langsung mengimbau warga NU melalui video viral di WhatsApp. Intinya, Kiai Marzuki yang suka tampil dengan mantel PKB ini, mengimbau warga NU agar “hati-hati dan jangan ikut-ikut” aksi demo menolak HIP. Mengapa? Karena, menurut Marzuki, “pelaku aksi demo yang seolah-olah membela negara, seakan-akan membela Pancasila itu, kemarin-kemarin justru mengkafir-kafirkan Pancasila, memusyrik-musyrikan demokrasi dan men-thaghut-thaghutkan pemerintah.” Nah, ketahuan ‘kan motifnya?

Lantas kelompok mana yang “dituduh” Marzuki seolah-olah dan seakan-akan itu bro? Tidak terlalu sulit untuk diketahui, karena jejak digital ketua PWNU Jatim ini banyak berserakan di WhastApp. Misalnya, kemarin-kemarin saat Pilpres, Marzuki mengelompokkan Islam garis keras, radikal dan intoleran itu selain HTI adalah juga FPI, PKS dan PAN. “Siapa pun nahdliyin yang bergabung dengan keompok mereka, bukan hanya kadar ke-NU-annya saja yang dipertanyakan. Tetapi bai’at NU-nya juga dinyatakan lepas, putus,”tandasnya kala itu. Coba!

Itulah NU zaman now! Setidaknya sejak kepemimpinan NU berada di tangan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj (selanjutnya disebut Kiai SAS).  Wajah NU menjadi garang, menakutkan sekaligus membingungkan warganya sendiri. Gerak langkahnya sarat kepentingan, orientasinya serba kekuasaan, dan suaranya selalu kontroversial. Sehingga, banyak nahdlyin  bertanya-tanya: “NU sekarang kok beda ya dengan NU tempo doeloe”.

NU sekarang dianggap tidak peka terhadap kesulitan hidup rakyat. Tidak hirau terhadap kacau-balaunya pengelolaan negara. Bahkan melarang warganya ikut aksi menolak RUU HIP. Tapi, di sisi lain, justru mengobarkan permusuhan dengan kelompok Islam lain yang, secara sepihak, dianggap radikal. Pantaslah jika kini Nahdliyin resah.

Lebih cemas lagi, karena setiap hari disuguhi toleransi beragama yang sangat aneh. Seperti misalnya, tahlilan dan tarawih bersama di gereja. Marhabanan bersama di pure dan dipadu dengan jogeten. Pentas seni hadrah penerbang bersama di vihara plus saweran, dan masih banyak lagi campur-aduk nggak karuan. Sudah begitu, beredar potongan video Kiai SAS  menyamakan kitab suci semua agama. ”kitab suci Kristen dan Qur’an, sama! Kristen-Qur’an sama nilainya”, dan diulang-ulang. Tambah bingung bro!

Puncak kebingungan,, ketika warga NU diserukan waspada terhadap khilafah HTI. Padahal, model bentuk dan fakta sejarah khilafah HTI itu seperti apa, tidak dan belum pernah mereka pahami. Yang dimengerti warga NU selama ini adalah, bahwa umat Islam Indonesia tidak pernah punya niat sedikit pun untuk mendirikan negara Islam. Kalau sekarang dianggap ada niat misalnya, ngapain nunggu “mainan” HTI yang baru dibikin kemarin. Kenapa tidak dilakukan dulu-dulu saat sidang BPUPKI, PPKI, atau saat menang voting dalam sidang Majelis Konstituante 1956.

Atau, jika terkesan kurang garang, mungkin bisa dilakukan saat revolusi fisik melawan penjajah. Karena ketika itu masih banyak kiai menjadi Komandan Batalyon, Kompi, Devisi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Bahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman pun, berasal dari Muhammadiyah, bisa memberi komando angkat senjata. Tapi kenapa tidak dilakukan?

Jawabnya, tiada lain, karena dalam diri umat Islam tidak ada niat sedikit pun untuk mendirikan negara Islam. Kalau kemudian saat ini ditengarai ada gerakan mencurigakan, serahkan saja kepada TNI dan Polri! Jangan malah menciptakan iklim yang bisa diduga adu-domba, atau membuat gaduh kehidupan bermasyarakat dan berbangsa untuk saling ciruga. Begitu pula NU, Ansor dan Banser jangan terprovokasi. Jangan malah membuat penelitian abal-abal (dibiayai pihak lain) terhadap masjid terpapar radikalisme. Lalu Ansor dan Banser bikin  show of force seolah mau menggilas Islam radikal. Itu mah bukan urusan ente bro! Itu domain tentara! Mikir dikit dong, mikiiir, kata Cak Lontong.

Sejak zaman pra-kemerdekaan sampai masuk sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan), tokoh-tokoh nasional dan para pemimpin terkemuka Islam telah sepakat mendirikan Negara Kesatuan berbentuk Republik. Lalu, “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk (ini), apa dasarnya,”tanya Ketua Sidang BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat. Atas pertanyaan itulah, Bung Karno (selaku anggota sidang) menjawab: Pancasila sebagai Dasar Negara, yang kemudian dikenal sebagai pidato Bung Karno, 1 Juni 1945.

Namun sebelum itu�"dalam periode sidang pertama: 29 Mei-1 Juni 1945�"banyak tokoh yang telah berpidato, antara lain: Prof. Mr. Muhammad Yamin pada 29 Mei, Prof. Soepomo berbicara pada 31 Mei dan Ir. Seokarno pada tanggal 1 Juni 1945 (Dr. Anhar Gonggong dalam pengantar buku: D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI: 2003).

Bung Karno ketika mengurai pandangannya tentang Pancasila, kata Bung Hatta, mendahulukan sendi politik dan baru kemudian ditutup dengan fundamen moral (etik agama). Pandangan Bung Karno disertai teori geopolotik Blut-und-Boden ciptaan Karl Haushofer. Urutan Pancasila versi Bung Karno (kala itu) adalah: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan; 3) Mufakat atau demokrasi; 4) Kesejahteraan sosial, dan; 5) Ketuhanan Yang Maha Esa. rmol news logo article (Bersambung)

Choirul Anam

Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah), dan Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA