Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kita Tidak Pernah Dijajah Belanda

Selasa, 18 Agustus 2020, 18:23 WIB
Kita Tidak Pernah Dijajah Belanda
Soeyanto Soe/RMOL
SELALU tiap kali kita merayakan hari kemerdekaan, wacana yang kerap dibahas adalah berapa tahun kita dijajah, makna kemerdekaan, kekejaman Belanda-Jepang, ataupun hembusan-hembusan kisah para jagoan di Nusantara pada masa lalu.

Agustus adalah bulan penuh semangat kemerdekaan dan membuncahkan patriotisme kita. Namun apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Nusantara ini sejak jaman penuh hutan belantara hingga jaman kini yang bertebaran jalan tol, perkantoran modern, pusat-pusat kebugaran, panti-panti pijat, dan senyum semerbak ruang-ruang karaoke?

Tak banyak yang bisa mengisahkannya dengan tegas. Tak banyak yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena sejarah di sini ditulis dengan pendekatan inward-looking, halusinasi klenik kegagahan nenek-moyang, dan mudah menyalahkan pihak-pihak luar dengan mengagumi kisah-kisah heroik yang ditebar oleh lembaga-lembaga resmi pemerintah.

Hingga bambu runcing pun kita yakini sebagai senjata sakti mandraguna yang bisa mengalahkan pesawat tempur, granat, meriam, bahkan senapan mesin sekalipun. Luar biasa. Bangsa pengacung keris yang sempurna.

Nah, jadi berapa lama secara fisik sebenarnya kita dijajah bangsa asing? Jawabannya: Tidak pernah ada penjajahan semacam itu.

Tidak ada kekerasan yang dilakukan negara penjajah pada kita secara langsung. Terutama di wilayah politik. Ketika politik tanam paksa diberlakukan saja, dunia internasional langsung protes sehingga memaksa Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis. Politik balas budi, politik rekonsiliasi.

"Penjajahan" yang ditulis di buku-buku sejarah, seringkali disepadankan dengan kata "kolonialisme". Padahal sama sekali bukan.

Mungkin karakter kolonialisme semakin mewarnai Nusantara setelah memasuki abad ke-20 akibat kepemimpinan-kepemimpinan lokal semakin melemah. Inilah yang membuat generasi Sukarno-Hatta bisa menyebut kata "merdeka" di tahun 1945 sebagai hasil perjuangan mereka sejak sekitar 2 dekade sebelumnya.

Sementara awal kedatangan VOC, ini urusan perdagangan yang rakus dan buas. Portugis datang pun niatnya begitu. VOC itu lembaga perdagangan. Bukan lembaga militer. Mereka tidak membawa ratusan ribu tentara untuk menetap dan mengatur semua kehidupan di Nusantara. Mereka hanya ingin berdagang plus tentunya dengan gaya pongah mereka sebagai bangsa kulit putih.

Dilalah syahwat dagang mereka difasilitasi oleh mental-mental penindasan penguasa-penguasa lokal di Nusantara pada rakyatnya sendiri. Semua bentuk peperangan di Nusantara saat kehadiran Belanda adalah wujud ketidakpuasan persaingan elit lokal dalam persaingan dagang. Salah satu pihak kemudian meminta keterlibatan Belanda agar bisa lebih "secure".

Musuhnya sesama elit lokal itu dia tumpas dengan memakai tangan Belanda. Selanjutnya dia menjadi "antek" Belanda untuk memonopoli perdagangan.

Dari dulu elit kita kebanyakan tidak pernah berpihak pada rakyatnya. Dilalah rakyat yang feodal ini, diuyel-uyel seperti apapun, selalu takzim.

Istilah "Antek Belanda" juga menjelaskan mengapa kita dicatat sebagai bangsa yang dijajah Belanda tetapi tidak bisa berbahasa Belanda. Rakyat jelata tidak pernah berkomunikasi dengan orang-orang Belanda itu. Elit-lah yang menjamu mereka sehingga kita bisa temui beberapa kaum elit ningrat bisa berbahasa Belanda. Rakyat tidak. Rakyat hanya diperintah oleh raja, tuan tanah, wedana, dan semacamnya itu.

Elit tak mau mengajarkan rakyat bahasa Belanda karena beda kasta. Juga gunanya untuk apa? Rakyat juga tidak merasa perlu berbahasa Belanda. Yang penting perut kenyang dan "terayomi". Sebagai penonton tak apalah yang penting ikut kecipratan bahagia saat melihat elit bergembira berpesta.

Jadi sebenarnya, "penjajahan" di wilayah Nusantara ini sampai kini tetaplah lestari. Elit-rakyat punya pola dan jarak yang begitu besar.

FEODALISME lah satu-satunya musuh terbesar di dalam bangsa ini bila ingin melihat semua rakyat mencicipi kesejahteraan. Plus mengedepankan pikiran-pikiran rasional dalam interaksi denyut bernegara daripada mabuk dengan jampi-jampi urusan akherat. Sehingga malah sinis sesama rakyat karena merasa ajaran ketuhanannya-lah yang paling benar sementara abai pada pesta-pesta koruptif kaum elit.

Kesontoloyoan kita memang sudah tecercap dalam sel darah terkecil sekalipun. Kebodohan ini dimulai sejak kita lahir. Mengenyahkannya sulit karena kebodohannya berjemaah.

Jadi kalau punya menteri pendidikan yang letoy, tambah hancur negeri ini. Kita memang perlu Menteri Pendidikan semacam Nadiem tetapi dia harus lebih tegas, lebih cerdas, lebih tangguh, lebih berani, dan lebih galak untuk membongkar kebodohan yang sebenarnya juga banyak bercokol di kementerian-kementerian. Kalau tidak, ya balik lagi kita ke jaman halal-bihalal yang mengabaikan ketidak-adilan dunia karena selalu berharap surga akherat..

Teringat pada bait lagu:
...selamat para pemimpin
rakyatnya makmur terjamin ...
Lagu ini adalah gambaran yang begitu pedih karena ukuran "makmur" bagi rakyat itu sederhana: Bisa cengangas-cengenges, bisa diundang pesta para elit, bisa dapat hiburan kelas jelata, bisa makan meski hanya pakai garam+sambal, dan yang lebih penting bisa kawin sebebas-bebasnya. Sebebas-bebasnya.

Enak sekali hidup di Nusantara ini, baik sebagai elit maupun sebagai rakyat. Tuntutan tak banyak, sumber daya melimpah. Termasuk sumber daya manusia-manusia tolol yang begitu mudahnya di-eksploitasi oleh elit. Semua berpesta. Angkat-gelas! Cheers... rmol news logo article

Soeyanto Soe
Pemerhati Ruang Publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA