Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Prognosis APBN 2021 Dan PEN Di Tengah Pandemik Covid-19

Jumat, 14 Agustus 2020, 12:23 WIB
Prognosis APBN 2021 Dan PEN Di Tengah Pandemik Covid-19
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan/Net
SENIN, 22 Juni 2020. Pemerintah bersama DPR RI menyepakati besaran Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Target Pembangunan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN Tahun 2021.

Angka Asumsi Makro yang telah disepakati yaitu:
• Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5-5,5 persen,
• Tingkat inflasi 2-4persen,
• Nilai tukar Rp pada kisaran Rp 13.700-Rp 14.900 per dolar AS,
• Suku bunga SBN 10 tahun 6,29-8,29 persen.

Target Pembangunan
• Tingkat pengangguran terbuka sebesar 7,7-9,1 persen,
• Tingkat kemiskinan 9,2-9,7 persen,
• Rasio gini pada indeks 0,377-0,379,
• Nilai tukar petani dan nelayan pada kisaran 102-104.

Badan Pusat Statistik atau BPS baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II yang dipaparkan secara virtual, Rabu (5/8). Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year/ yoy).

Angka tersebut jauh merosot dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang tumbuh 2,97 persen (yoy) maupun dibandingkan kuartal II 2019 yang mampu tumbuh 5,05 persen (yoy).

Minusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini masih akan berlanjut pada kuartal III 2020. Bila ekonomi pada kuartal III kembali mencatatkan pertumbuhan negatif. Kondisi ini semakin menyulitkan Indonesia terlepas dari jerat resesi. Fenomena ini merupakan yang pertama kalinya sejak krisis tahun 1998.

Suatu negara disebut mengalami resesi jika pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Secara tak langsung, pemerintah sudah mengindikasikan Indonesia bisa masuk ke jurang resesi pada kuartal III-2020, menyusul negatifnya pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi atau minus sejak kuartal II-2020. Bila pada kuartal III-2020 masih negatif juga, maka Indonesia resmi masuk ke dalam resesi.

Perlu diketahui, saat ini sudah ada 9 negara yang dinyatakan masuk resesi. Yaitu, Jerman, Amerika Serikat, Perancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, dan 2 negara di ASEAN yakni Singapura dan Filipina.

Oleh karena itu, capaian ekonomi pada kuartal III-2020 menjadi sangat penting. Tidak hanya sebagai penentu masuk tidaknya Indonesia dalam fase resesi. Tetapi juga sangat mempengaruhi prognosis APBN 2021.

1. Penanganan Covid-19

Kian hari kasus Positif Covid-19 kian bertambah. Data per 11 Agustus 2020 menunjukkan pasien positif di Indonesia mencapai 128.776 kasus. Sementara korban meninggal dunia mencapai 5.824 orang.

Meluasnya Covid-19 telah berdampak buruk terhadap perekonomian. Kebijakan PSBB ditengarai menjadi penyebab pertumbuhan yang negatif. Setidaknya itulah klaim dari Menteri Keuangan Sri Mulyani merespon pertumbuhan negatif yang diumumkan oleh BPS.

Penanganan Covid-19 harus cepat, tepat dan sinkron, juga harus lebih cermat dalam belanja alat medis untuk kebutuhan penanggulangan Covid-19 yang didatangkan dari negara lain. Belanja akan memperlemah devisa, melemahkan rupiah, dan turut menggerus pendapatan ekspor.

Efeknya jika terus berkepanjangan, akan semakin memparah kondisi perekonomian kita. Waktu recovery-nya pun akan semakin panjang, karenanya penanganan Covid-19 ini perlu segera diperbaiki, karena akan memunculkan risiko social unrest dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang pastinya akan bertambah tinggi.

Disamping mempercepat realisasi belanja kementerian dan lembaga maupun insentif yang telah dianggarkan untuk masyarakat. Produksi vaksin corona dari hasil riset di dalam negeri harus segera direalisasikan tahun depan untuk mengembalikan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Untuk memulihkan semua sektor harus dimulai dulu dari produksi vaksin corona. Kalau tidak, negara ini akan terus terpuruk berkepanjangan hidup bersama virus corona. Bio Farma sudah diberi mandat memproduksi vaksin sebanyak 250 juta, tahun depan.

2. Postur APBN 2021

Pemerintah dan DPR sudah menyepakati postur makro fiskal dan asumsi makro yang akan menjadi dasar pemerintah dalam menyusun RUU APBN 2021 beserta nota keuangannya.

Dalam Postur APBN 2021 ditargetkan penerimaan negara mencapai 9,90 persen hingga 11 persen terhadap PDB. Belanja negara sebesar 13,11 persen hingga 15,17 persen. Dengan begitu, maka defisit APBN 2021 mencapai 3,21 persen hingga 4,17 persen.

Sehingga untuk menutup defisit, maka rasio utang ditarget antara 36,67 persen hingga 47,97 persen terhadap PDB.

Optimisme yang tercermin dalam Postur APBN 2021 menuai banyak kritik. Pertumbuhan ekonomi 4,5 persen hingga 5,5 persen dianggap tidak realistis di saat belum ada perkembangan positif atas penanganan Covid-19.

Apalagi pada kuartal II-2020 pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi yang cukup dalam, tidak tertutup kemungkinan konstraksi tersebut akan berlanjut hingga kuartal III-2020.

Capaian produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 yang minus hingga 5,32 persen mengagetkan banyak pihak. Kontraksi ini lebih dalam dari konsensus pasar maupun ekspektasi pemerintah dan Bank Indonesia di kisaran 4,3 persen hingga 4,8 persen.

Total PDB pada kuartal II berdasarkan atas harga berlaku mencapai Rp 3.687,7 triliun. Sementara berdasarkan harga dasar konstan dengan tahun dasar 2010 mencapai Rp 2.589,6 triliun.

Struktur PDB Indonesia pada kuartal kedua tidak banyak berubah. Dari sisi produksi, sekitar 65 persen perekonomian masih dipengaruhi oleh lima sektor utama yaitu industri, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan. Dari kelima sektor penopang ini, hanya pertanian yang tumbuh positif.

3. Peningkatan Daya Beli

Akibat kontraksi yang dalam, lapangan usaha transportasi dan pergudangan terkontraksi paling dalam sebesar 29,22 persen, industri 6,49 persen, perdagangan 6,71 persen, konstruksi 7,37 persen, dan pertambangan 3,75 persen.

Sedangkan menurut sisi pengeluaran, semua komponen mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi 57,85 persen dari PDB tercatat tumbuh minus 5,51 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga mengalami kontraksi sebesar minus 8,61 persen, dengan seluruh komponen terkontraksi.

Sementara itu, konsumsi pemerintah terkontraksi 6,90 persen. kontraksi konsumsi pemerintah terjadi untuk penurunan realisasi belanja barang dan jasa, belanja pegawai turun.

Selain itu, ekspor barang dan jasa terkontraksi 11,66 persen. Impor barang dan jasa terkontraksi 16,96 persen, dengan rincian impor barang terkontraksi 12,99 persen dan impor jasa terkontraksi 41,36 persen.
Ekspektasi masyarakat terhadap kondisi membaiknya perekonomian 2021 salah satunya sangat bergantung pada daya beli.

Saat ini kondisi ekonomi masyarakat sudah melemah. Namun, pemerintah masih membantu meringankan bebannya dengan restrukturisasi kredit, dan insentif pajak juga bansos dan bansos masih naik 55,87 persen. 

Rilnya akan terlihat pada enam bulan ke depan. Apakah setelah diringankan bebannya, daya beli masyarakat akan meningkat atau tetap tak berdaya. Setidaknya pada Januari 2021 persoalan daya beli masyarakat akan terlihat dengan jelas.

Bila daya beli tak meningkat, tentunya dunia usaha juga akan melakukan perampingan beban pengeluaran yang berakibat pada gelombang PHK. Dalam kondisi seperti ini, maka perlu ada kebijakan fiskal yang sinergis.

Sementara pemerintah sangat optimis daya beli masyarakat meningkat seiring pelonggaran pembatasan sosial pada 2021. Pelonggaran ini membuat perekonomian bergerak kembali, karena dunia usaha mulai bangkit.

4. Stimulus Ekonomi

Kementerian PPN/BAPPENAS menyebutkan tahun 2020 jumlah penduduk miskin bertambah 2 juta orang dan pengangguran bertambah 4,22 juta orang.

Sementara BPS mencatat per Maret 2020 angka kemiskinan melonjak jadi 26,42 juta orang dibanding Maret 2019 yang mencapai 25,14 juta orang. Perhitungan angka kemiskinan BPS ini, menggunakan garis kemiskinan Rp452.652 ribu per kapita per bulan.

Diproyeksikan angka penduduk miskin akan bertambah 5 juta orang, sehingga pada akhir 2020 mencapai 30-31 juta orang. Semua proyeksi ini tentunya harus diantisipasi pemerintah dengan kebijakan perlindungan sosial yang tepat.

Stimulus ekonomi harus berkeadilan, tepat sasaran, dan produktif. Stimulus fiskal tentu diharapkan bisa efektif menggerakkan perekonomian. Stimulus perlindungan sosial pada 2021 merupakan bagian dari pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Setidaknya pemerintah akan melanjutkan perlindungan sosial hingga tahun 2021 melalui Bansos, PKH, dan Bantuan Sembako. Semuanya didedikasikan untuk meringankan beban masyarakat menghadapi krisis.

Menurut UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, perlindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko guncangan dan kerentanan sosial. Berdasarkan regulasi itu, perlindungan sosial harus berkelanjutan untuk menjaga kesejahteraan penduduk dalam menghadapi segala kemugkinan yang akan terjadi di masa depan.

Realisasi perlindungan sosial sejak awal Maret hingga 20 Juli 2020 sebesar Rp 77,4 triliun atau setara 37,96% dari total anggaran stimulus sejumlah Rp 203,9 triliun. Desain APBN 2021 sendiri memang diarahkan jadi stimulus pemulihan ekonomi dan sosial. Hanya saja desainnya masih bergantung pada pemulihan ekonomi dan sosial tahun 2020 ini.

5. Peningkatan NTP dan NTN


Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) kini sudah masuk menjadi bagian dari indikator pembangunan saat pembahasan asumsi dasar RAPBN 2021.

Ini pertama kali dalam sejarah dua indikator ini digunakan dalam mendesain RAPBN. Indeksnya dipatok sama antara NTP dan NTN sebesar 102-104. Pada April 2020, NTP nasional berada di 100,32. Turun 1,73% dibanding bulan sebelumnya

Bila NTP berada di atas 100, berarti petani mengalami surplus. Itu berarti juga pendapatan petani naik lebih besar daripada pengeluarannya. Bila NTP sama dengan 100, berarti petani mengalami impas. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya. Sementara bila NTP di bawah 100, berarti petani mengalami defisit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) jelas menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan satu-satunya dari lima penyangga utama PDB (produk domestik bruto) yang tumbuh positif, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di kuartal II 2020 tumbuh 16,24 persen dibanding kuartal I 2020.

Kontribusi pertanian naik menjadi 15,46 persen pada kuartal II 2020 dibandingkan dengan kontribusi pada kuartal II 2019 sebesar 13,57 persen. Sedangkan empat sektor utama lain yaitu industri, perdagangan, konstruksi dan pertambangan, relatif rontok.
Pertumbuhan sektor pertanian banyak dipengaruhi oleh pergeseran masa panen raya tanaman pangan yang tahun lalu jatuh pada Maret menjadi April dan Mei pada 2020 ini.

Boleh dikatakan sektor pertanian justru menjadi penolong sehingga harus mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah. Pertanian menjadi kunci.

Adalah ideal, ketika negara agraris dan maritim seperti Indonesia menempatkan NTP dan NTN sebagai indikator pembangunan. Petani dan nelayan memegang peranan penting dalam pengelolaan kekayaan alam yang melimpah. Dua indikator baru ini diharapkan mendorong intervensi negara dalam menjaga ketahanan pangan dan mengendalikan impor pangan.

6. Pengendalian Impor Pangan

Secara umum, pemerintah telah menyusun instrumen pengendalian impor, diantaranya :

1. Larangan terbatas.
2. Pemberlakuan inspeksi barang pra kiriman.
3. Pengaturan pelabuhan di wilayah timur Indonesia sebagai entry point untuk komoditas yang diutamakan.
4. Pembenahan lembaga sertifikasi produk untuk penerbitan SNI yang wajib dikenakan.
5. Mengembalikan aturan pemeriksaan produk impor dan post border ke border.
6. Menaikkan tarif most favored nation untuk komoditas strategis
7. Menaikkan implementasi trade remedies.

Khusus pengendalian impor pangan sebetulnya sudah banyak kritik disampaikan. UU No.9/2012 tentang Pangan mengamanatkan peningkatan produksi pangan secara mandiri dan beraneka ragam.

UU ini juga mengamanatkan kecukupan pangan pokok dengan harga yang wajar sesuai kebutuhan masyarakat. Regulasi sudah disusun seideal mungkin, tapi impor pangan masih marak dan kemandirian pangan pun tersendat oleh impor.

Ketergantungan pada impor pangan berisiko mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Indonesia sebetulnya sangat potensial mencapai swasembada.

Selama ada tekad mengurangi impor, petani kita bersemangat memacu produksi. Jangan sampai semangat petani dirusak oleh kebijakan impor pangan, karena akan menghancurkan harga komoditas pertanian mereka.

Di masa pandemi corona ini, FAO telah mengingatkan ancaman krisis pangan. Untuk itu, Presiden Jokowi sendiri sudah menugaskan Menhan memperkuat cadangan strategis pangan nasional yang akan dibangun di Kalimantan Tengah. Tujuannya, kita bisa memproduksi sendiri apa yang jadi kebutuhan pangan di dalam negeri serta memperkuat ketahanan nasional terutama di bidang pangan.

7. Kebijakan Fiskal

Sinergitas kebijakan fiskal dan moneter dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas sektoral untuk mendorong pertumbuhan. Selain itu, tentu untuk kesejahteraan rakyat dan memperkuat industri nasional. Sepanjang 2020 ini ekonomi nasional sangat tertekan oleh wabah corona. Untuk itu, fokus kebijakan fiskal 2021 adalah pemulihan atau penguatan fondasi ekonomi selain juga reformasi.

Semua itu dilalukan agar Indonesia bisa keluar dari krisis dan middle income trap. Pada level implementasi, kebijakan fiskal 2021 diarahkan pemerintah pada pembangunan SDM, infrastruktur, dan penyederhanaan birokrasi, regulasi, serta transformasi ekonomi.

Ada 4 kebijakan fiskal yang menjadi prioritas, diantaranya :

Pertama, Peningkatan penanaman modal luar negeri yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Kedua, Mendorong perbaikan produksi agregat dengan pengembangan infrastruktur dasar.
Ketiga, Perbaikan iklim investasi domestik melalui pembenahan regulasi.
Keempat, Kemudahan fiskal bagi investor khususnya di sektor manufaktur.

Pengendalian defisit yang dilakukan pemerintah dengan memperhatikan prioritas pembangunan nasional dan menjaga ruang fiskal bagi keberlanjutan APBN. Defisit APBN 2021 masih relatif tinggi. Namun, harus diupayakan secara bertahap kembali ke disiplin fiskal 3% dari APBN paling lambat di 2023.

Selain itu, pembiayan juga harus dilakukan secara terukur dengan terus menjaga sumber-sumber pembiayaan secara aman, hati-hati, dan sustainable, agar rasio utang terjaga dalam batas aman. Sementara kebijakan makro fiskal 2021 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif konsolidatif dengan defisit yang diperkirakan berada di 3,05%-4,01% terhadap PDB. Sementara rasio utang akan naik pada kisaran 33,8%-35,88% terhadap PDB.

8. Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)

Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi sangat dalam tidak terlepas dari realisasi PEN yang masih rendah, yakni baru 21,8 persen. Menurut data, hingga 6 Agustus 2020, realisasi PEN baru mencapai Rp. 151,25 triliun dari pagu sebesar Rp. 695,2 triliun.

Realisasi Rp. 151,25 triliun itu terdiri dari dana bidang kesehatan Rp. 7,1 triliun, perlindungan sosial Rp. 86,5 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp. 8,6 triliun, dukungan UMKM Rp. 32,5 triliun, insentif usaha Rp. 16,6 triliun, dan pembiayaan korporasi yang belum terealisasi.

Lebih detail, anggaran bidang kesehatan dengan alokasi Rp. 87,55 triliun, realisasinya baru Rp. 7,1 triliun. Realisasi tersebut mencakup insentif kesehatan pusat dan daerah senilai Rp. 1,8 triliun, santunan kematian 54 tenaga kesehatan Rp. 16,2 miliar, dana Gugus Tugas Covid-19 Rp. 3,2 triliun, serta insentif bea masuk dan PPN kesehatan Rp. 2,1 triliun.

Sementara untuk program perlindungan sosial dengan alokasi Rp. 203,91 triliun, realisasinya baru mencapai Rp. 86,45 triliun. Realisasi tersebut mencakup program PKH Rp. 26,6 triliun, Kartu Sembako Rp. 25,8 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp. 3,2 triliun, bantuan tunai non-Jabodetabek Rp. 16,5 triliun, Kartu Prakerja Rp. 2,4 triliun, diskon listrik Rp. 3,1 triliun, serta BLT Dana Desa Rp. 8,8 triliun.

Pemerintah telah merancang APBN untuk mempercepat pemulihan perekonomian pasca-pandemi corona dengan mengusung tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Tema ini berfokus pada pemulihan industri manufaktur, pariwisata, dan investasi. Sementara reformasinya berfokus pada reformasi kesehatan nasional, reformasi jaring pengaman sosial, dan reformasi ketahanan bencana.

Rendahnya penyerapan PEN tidak tertutup kemungkinan menjadi penyebab Pemerintah mengambil kebijakan memberi bantuan atau subsidi kepada karyawan swasta yang bergaji di bawah Rp 5 juta. Besaran subsidinya mencapai Rp. 600 ribu per orang selama 4 bulan.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, program subsidi tersebut menelan biaya hingga Rp 37,7 triliun. Selain itu, Jumlah calon penerima ditingkatkan menjadi 15.7 juta orang yang semula hanya 13,8 juta orang. Program ini ditargetkan mulai berjalan pada bulan September 2020.

Bantuan ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, penerima bantuan terdaftar sebagai BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, aktif membayar iuran.

Bantuan subsidi untuk karyawan sebetulnya patut diapresiasi sebagai langkah terobosan. Namun di sisi lain juga harus diwaspadai karena bisa menimbulkan protes oleh sebagian pihak yang menganggap program tersebut sangat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Program ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Ini bicara rasa keadilan. Karyawan yang sudah punya gaji disubsidi, tapi bagaimana pekerja yang dirumahkan bahkan kena PHK selama pandemi ini berlangsung? Jangan sampai muncul kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sama-sama terdampak oleh pandemik.

Bahkan, bila melihat persyaratan yang ditetapkan yakni harus terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan aktif membayar iuran, maka akan banyak karyawan yang akan kesulitan mengakses program tersebut, karena masih banyak karyawan yang belum didaftarkan oleh perusahaannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan

Adanya potensi gejolak sosial harus diwaspadai. Bila lengah, bisa saja program ini menjadi bumerang bagi pemerintah. Program ini tidak boleh hanya dibuat untuk sekadar menggeber penyerapan anggaran yang selama ini menjadi sorotan Presiden Joko Widodo. Rasa keadilan harus tetap diutamakan dalam alur skema yang transparan.

Solusi

Prognosis APBN 2021 sangat tergantung dengan kinerja pada kuartal III dan IV-2020. Bila pertumbuhannya masih melanjutkan tren kontraksi, maka akan mempengaruhi angka-angka dalam APBN 2021.

Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk memulihkan perekonomian. Di antara solusinya,

Pertama, Dalam jangka pendek, harus sinerginya pemangku kebijakan fiskal dan moneter dengan melakukan metode darurat berupa pembelian kembali surat berharga pemerintah oleh Bank Indonesia (quantitative easing) untuk menopang perekonomian agar tidak lumpuh. Konsekuensinya memang akan menyebabkan inflationary pressure, namun diperkirakan tidak lebih dari setahun kedepan dengan harapan perekonomian bisa membaik setelahnya.

Kedua, penanganan Covid-19 tidak boleh lambat atau tidak sinkron. Keluhan Presiden Joko Widodo yang menjustifikasi para menteri tidak bekerja dalam semangat krisis patut dijadikan cambuk untuk bekerja lebih keras lagi. Bila penanganan covid masih biasa-biasa saja, bukan tidak mungkin penyebaran Covid-19 akan semakin meluas dan semakin berdampak buruk terhadap perekonomian.

Ketiga, Pemerintah harus lebih serius memberi stimulus dengan membentuk jejaring pengaman sosial dan insentif bagi dunia usaha. Kendala rendahnya penyerapan program PEN harus segera diatasi agar stimulus yang disiapkan pemerintah dapat lebih cepat sampai di tangan penerima sehingga bisa mempercepat pemulihan ekonomi.

Dari sisi pengusaha, sebaiknya para pelaku usaha dapat lebih berinovasi, kolaborasi, hingga memanfaatkan teknologi di era new normal saat ini.

Terpenting adalah bagaimana dunia usaha bisa bertahan di tengah resesi. Apabila dunia usaha bisa bertahan, tidak mengalami kebangkrutan, maka ekonomi bisa bangkit kembali dengan cepat ketika wabah sudah berlalu.

Jika suku bunga telah diturunkan, namun permintaan pada sektor riil belum bergeliat, maka seluruh kebijakan pun akan kurang efektif.

Keempat, sektor Pertanian dan Keluatan harus digenjot. PDB pertanian tumbuh 16,24 persen pada kuartal II- 2020. Pemerintah harus lebih gencar memberikan bantuan dan pendampingan sehingga aktivitas pertanian terus memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional karena produksi pangan tidak ada masalah. Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang sebenarnya tidak terdampak oleh pandemi Corona.

Selain Pertanian, Sektor Kelautan juga perlu digenjot karena potensinya masih sangat besar untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah perlu mendorong peningkatan KUR untuk kedua sektor ini agar para petani dan nelayan bisa lebih meningkatkan produksinya.

Dan Kelima, Pemerintah sudah seharusnya mengajak semua pihak untuk berpikir bersama, termasuk dengan DPR sebagai wakil rakyat. Setidaknya sudah dua kali keputusan penting Pemerintah tidak dibicarakan dahulu dengan DPR. Yakni, kebijakan tentang penempatan dana di Bank Peserta dan kebijakan tentang BLT untuk karyawan. Terkesan pemerintah ingin menjadi “one man show” dalam penanganan Covid-19.

Meskipun Indonesia dinyatakan resesi, masyarakat tidak perlu panik karena resesi sudah menjadi sebuah kenormalan baru di tengah wabah.

Mari melangkah bersama untuk mewujudkan Indonesia Maju, Adil Makmur Sejahtera. rmol news logo article

Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Gerindra.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA