Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Media Sosial Dan Makna Sosial

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Selasa, 04 Agustus 2020, 14:41 WIB
Media Sosial Dan Makna Sosial
Ilustrasi media sosial/Net
DI jagat sosial media, interaksi dan pertemanan seolah menjadi faktor penentu kebenaran. Susunan konten dan konteks menjadi tidak bermakna, karena ruang digital ditautkan melalui vibrasi emosional, bukan lagi disandarkan pada aspek rasional. Para pakar telah mati.

Sekurangnya, Tom Nichols dalam The Death of Expertise, 2018 mengemukakan hal tersebut. Kemampuan untuk menjadi produsen dan konsumen informasi secara dinamis di dunia maya tidak lagi membutuhkan derajat kepakaran, semua memiliki kesetaraan secara terbuka.

Tembok akademik runtuh. Para pakar tidak menarik untuk didengar, selain itu mereka sibuk dengan sederet hal ilmiah yang berjarak dari persoalan publik. Di sisi lain, para content creator dan pengelola data media sosial, dengan keahlian dan kelihaian memainkan algoritma digital mampu mempersuasi publik.

Di mana letak salahnya? Sekurangnya terdapat beberapa argumentasi yang menyebabkan hal itu terjadi, (i) sikap diam dan mendiamkan pada berbagai kasus publik di sosial media oleh para pakar, memungkinkan opinion leader mengambil peran dan ruang kosong tersebut, (ii) platform media sosial sendiri, sudah terdegradasi dalam soal tanggung jawab serta makna sosial, (iii) regulasi tidak mampu mencakup perubahan dinamis, dari pola komunikasi modern yang saling terhubung melalui jaringan online.

Bila sudah begitu, apa yang harus dilakukan? Gerakan sosial masyarakat sipil yang memegang teguh prinsip kurasi, verifikasi dan nilai-nilai keutamaan kemanusiaan harus mengambil sikap responsif.

Media konvensional tampil menjadi penyeimbang yang kredibel, dari keberadaan media baru. Format jurnalisme media baru yang hadir dalam kecepatan -speed, melunturkan nilai kurasi, dan secara bersamaan justru mengembangkan aspek sensasional.

Konstruksi Kehebohan

Kehebohan adalah tujuan. Traffic alias keramaian dalam keriuhan tema dari sebuah isu, menjadi ladang panen dalam menjaring nilai nominal yang diperoleh melalui pendapatan iklan. Prinsip itu berlangsung dalam tempo yang singkat, sesingkat-singkatnya dinamakan viralitas.

Lalu bagaimana menempatkan kajian Tom Nichols dengan pandemik? Pada struktur media sosial, maka indikator dan ukuran yang menjadi medan pertaruhan bukan persoalan reputasi ilmiah, melainkan jumlah followers. Dalam kajian psikologis, jumlah pertemanan tidak berkorelasi dengan makna keberadaan yang substansial. Bisa jadi banyak teman justru hampa makna.

Model komunikasi yang terbentuk dari relasi sosial berbentuk kerumunan -crowd adalah kecenderungan untuk terjadinya bias informasi. Poros sumber kebenaran ada dalam kelompok pertemanan, hal-hal lain di luar itu adalah mereka yang berbeda -liyan, diartikan sebagai musuh.

Problemnya kemudian, yang sering diajukan sebagai tesis pembenaran, adalah tentang hak dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat maupun opini secara terbuka, termasuk melalui sosial media. Jadi, semua tampak seperti di hutan rimba belantara, bebas berteriak sesuka hati.

Padahal sekurangnya ada koridor yang menjadi garis pembatas, (i) aspek etika, berkenaan dengan sejauh mana pendapat yang dilontarkan itu mengandung unsur kebenaran hakiki? atau (ii) aspek kepentingan publik, yakni apakah terdapat dampak positif dari pernyataan yang disampaikan kepada khalayak ramai atau justru sebaliknya?

Dengan begitu, batas kebebasan berpendapat, akan terlihat dari besaran nilai kebenaran yang termuat dalam logika rasional yang disuarakan, bukan sekedar penguatan faktor emosional, sekaligus melihat hasil akhir dari kebermanfaatan atas pernyataan yang dibuat. Kini label penggiat media sosial, seringkali dilekatkan pada kriteria individu yang kerap mencuatkan kontroversi serta polemik, dibanding memberi literasi dan edukasi.

Memahami Pandemik

Era pandemik belum bisa didekati secara utuh. Kita masih merumuskan pengetahuan baru tentang wabah. Pada durasi kegelapan ilmu pengetahuan tersebut, maka segala hal nampak memiliki probabilitas kebenaran, terlebih bila disambungkan dengan kerangka harapan. Tidak pelak, kalung anti corona, hingga ramuan herbal tertentu dianggap mewakili jawaban atas persoalan pandemik.

Problem pandemik, menjadi sebuah model pertanyaan pilihan berganda, tanpa ada kepastian jawaban spesifik. Manusia butuh waktu dan jeda untuk mempelajarinya. Karena itu pula, publik berada dalam tekanan psikologis ketakutan dan ketidakpastian di masa depan. Upaya anti sains untuk mengambil shortcut kunci jawaban pandemik, hanya efek psikis kepuasan sementara, bersifat plasebo yang kosong substansi.

Di tenggang waktu yang panjang dalam penantian obat dan vaksin tersebut, publik terdistorsi oleh berbagai informasi yang tidak hanya keliru tetapi menyesatkan. Situasi kekacauan -chaos, terjadi ketika disrupsi informasi berlangsung secara massif melalui hoaks, misinformasi dan disinformasi -infodemic, tanpa proses seleksi kurasi dan verifikasi.

Di media sosial keberlimpahan informasi adalah sebuah anugerah sekaligus bencana. Menjadi bermanfaat bila informasinya valid dan dapat diandalkan -reliable, tetapi bisa berubah menjadi bencana bila informasinya palsu dan bohong. Publik perlu diajak untuk menguatkan literasi dalam memilih serta memilah konsumsi informasi.

Di sisi lain, perusahaan digital memiliki tanggung jawab untuk melakukan pelurusan informasi yang benar. Perlu diperkuat dengan formulasi atas regulasi di jagat digital yang menjadi ruang publik baru, agar ada kemampuan bertanggung jawab dalam seluruh proses komunikasi, termasuk produksi dan distribusi informasi.

Dalam situasi pandemi, ketidakmenentuan terjadi, maka dibutuhkan kemampuan yang saling terkait -koheren, dalam meningkatkan aspek logis dan rasional publik. Bisa jadi pula publik tengah berada dalam periode kelelahan -fatique, di periode panjang perang melawan wabah. Maka figur-figur informal yang menjadi opinion leader kerap mendapatkan pemuja dan pengikut.

Gagal Membangun Trust

Menguatnya prasangka konspirasi, manipulasi dan kepentingan bisnis maupun media, yang menciptakan monster Covid-19 tidak lain disebabkan kegagalan dalam menciptakan rasa percaya -trust. Para penganut teori konspirasi tidak memiliki kepercayaan kepada pihak lain, termasuk (i) pada otoritas pemangku kebijakan dan pengambil keputusan, serta (ii) pada para pakar di bidang keilmuan terkait.

Inilah periode pasca kebenaran -post truth, sebuah masa di mana kebenaran dan kebohongan bercampur, dalam konsentrasi yang pekat sehingga sulit dipisahkan. Kemampuan untuk terus melakukan reproduksi kebohongan, teramplifikasi melalui media sosial. Kelebihan media baru ini adalah jangkauan -coverage, sifatnya yang cepat dan seketika -realtime update serta kemampuan menjadi interaksi -dialogue.

Rekatan emosionalitas menjadi lebih dominan dari aspek rasionalitas. Kebohongan menghegemoni, benar dan salah menjadi sulit dibedakan. Butuh kemampuan untuk mencerahkan dan tercerahkan. Wilayah ini pula yang menjadi medan perang baru, dalam upaya menang melawan pandemi.

Dibutuhkan tidak hanya (i) intervensi medis, yang bertujuan untuk mengatasi problem fisik penyakit akibat wabah, tetapi juga diperlukan (ii) intervensi sosial, guna mengatasi kerusakan yang dihasilkan dari lingkaran kebohongan yang tidak berujung tersebut. Pemangku kebijakan harus dapat mengkombinasikan kedua model intervensi tersebut secara optimal.

Pandemik membuat wajah sosial kita semakin rapuh -fragile, saat para ilmuwan tengah sibuk di ruang penelitian, sosial media seharusnya menjadi sarana dalam menguatkan modal sosial berhadapan dengan situasi melawan makhluk tidak kasat mata tersebut.

Media sosial justru memperlihatkan wajah bengisnya, membuka sisi kelam menciptakan jarak sosial serta potensi konflik yang dapat mengakibatkan bertambahnya beban berat menghadapi pandemi kali ini.

Media sosial dan seluruh para penggunanya, harus kembali pada konsep tanggung jawab etis, guna memastikan keberadaan media baru ini memiliki makna sosial bagi kepentingan bersama. rmol news logo article

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA