Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sengkarut Sawit Rakyat

Kamis, 23 Juli 2020, 22:44 WIB
Sengkarut Sawit Rakyat
Hifdzil Alim/RMOL
SAWIT adalah primadona bagi devisa negara di sektor perkebunan. Produksi sawit mencapai 44,05 juta ton pada 2019 serta menghasilkan nilai ekspor hingga 19 miliar dolar Amerika Serikat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Tak hanya itu, sawit memiliki posisi krusial dalam kebijakan subsidi biodiesel (B30). Pemerintah menuangkan kebijakan tersebut dalam berbagai regulasi dan keputusan.

Peraturan Menteri ESDM 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM 12/2015, Peraturan Menteri (Permen) ESDM 41/2018, dan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 227 K/10/MEM/2019.

Di sisi yang lain, sawit masih menyimpan banyak persoalan. Khususnya sawit dalam kawasan hutan di mana sawit rakyat masuk di dalamnya. Auriga (2019) mengatakan, luas perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan adalah 3,4 juta hektar.

Dari angka itu, 115 ribu hektar ada di dalam kawasan suaka alam, hutan lindung (174 ribu hektar), hutan produksi terbatas (454 ribu hektar), hutan produksi (1,4 juta hektar), dan hutan produksi konservasi (1,2 juta hektar).

Data lain disajikan oleh Fakultas Kehutanan UGM (2018). Total luas lahan sawit di kawasan hutan mencapai 2,8 juta hektar. Prosentasenya 35 persen dikuasai masyarakat. Sisanya milik perusahaan.

Data berbeda dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan (2017) yang menyebutkan, 2,5 juta hektar lahan sawit terindikasi masuk dalam kawasan hutan. Rinciannya, 800 ribu hektar kebun dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta hektar dikuasai oleh masyarakat. Berbagai data itu menunjukkan satu hal: ada sawit dalam kawasan hutan.

Persoalan Sawit

Keberadaan sawit rakyat dalam kawasan hutan menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam. Misalnya, tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan disekitarnya yang belum jelas.

Akibatnya, terjadi konflik lahan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (2019) mencatat, setidaknya ada 144 kasus konflik agraria dari 410 kasus yang terjadi di sektor perkebunan. Dari angka tersebut, 83 kasus atau 60 persen melibatkan perkebunan kelapa sawit.

Misalnya, konflik yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang terjadi antara warga yang tergabung dalam Koperasi Sawit Mandiri Perkasa dengan PT Rajawali Jaya Perkasa terkait dengan lahan sawit seluas 105 hektar.

Contoh lain adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit (PT. Permata Hijau) di Nagari Maligi, Kecamatan Pasaman, Kab Pasaman Barat, Sumatera Barat. Konflik tersebut terjadi karena PT Permata Hijau menguasai hampir 2.100 hektar tanah ulayat Maligi untuk dijadikan kebun plasma dan telah tertanam pohon sawit.

Sedangkan PT. Permata Hijau mengklaim hanya mengelola 665 hektar kebun sawit. Perusahaan diduga mempersempit luas lahan untuk menghindari tudingan pencaplokan lahan.

Konflik lahan sawit tidak hanya merugikan rakyat petani kelapa sawit, melainkan berdampak terhadap persepsi sawit Indonesia di pasar internasional.

Pada 13 Maret 2019, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan produk minyak sawit mentah (CPO) dari kelompok sumber energi terbarukan. Uni Eropa mengadopsi Delegated Act dan menganggap produk sawit Indonesia berasal dari kegiatan deforestasi kawasan hutan, pelanggaran HAM, serta perusakan lingkungan lain (Mongabay, 2019).

Keputusan tersebut tentu berdampak pada serapan hasil sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dari sektor perkebunan.

Kebijakan kelapa sawit yang diambil oleh pemerintah pasti akan berdampak luas hingga kepada rakyat petani kelapa sawit. Berdasarkan data Ditjenbun (2019), setidaknya terdapat 2,74 juta kepala keluarga (KK) yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan sawit.

Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,5 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai 1,67 juta Kepala Keluarga.

Meski jumlahnya banyak, tetapi produktivitas kelapa sawit milik rakyat masih jauh di bawah sawit perusahaan negara maupun perusahaan swasta.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Apkasindo (2017), produksi sawit petani hanya mencapai 3,1 ton hektar/tahun. Sedangkan produksi sawit perkebunan negara mencapai 3,8 ton hektar/tahun dan perkebunan swasta mencapai 3,9 ton hektar/tahun.

Perbandingan tersebut merupakan bukti bahwa rakyat petani kelapa sawit tidak hanya menghadapi permasalahan sengketa lahan, tetapi juga legalitas usaha, serta produktivitas sawit yang juga cukup rendah. Belum lagi ketika hasil sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) dijual di pasaran, petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga.

Langkah Penyelesaian

Pemerintah telah menerbitkan (i) Perpres 88/2017 tentang Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; (ii) Inpres 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Regeling dan beleids regel tersebut diharapkan mampu menjadi instrumen hukum dan kebijakan untuk penyelesaian lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan.

Tetapi, pada tataran implementasi, instrumen-instrumen tersebut masih memiliki beberapa catatan yang perlu dibenahi. Pertama, mekanisme penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan yang diatur oleh Perpres 88/2017 tidak memuat secara eksplisit langkah penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan.

Definisi “lahan garapan” yang dimaksud oleh Perpres a quo ialah bidang tanah dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran, dan/atau tambak.

Selain itu, model penyelesaian yang diajukan oleh Perpres 88/2017 kurang menyeimbangkan antara hak sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dimana kondisi lapangan mempengaruhi orientasi penerapan solusi.

Kedua,  Inpres 8/2018 masih berkutat pada tataran koordinasi dan kurangnya concern pemerintah daerah untuk menjalankan amanah Inpres.

Sebagai contoh, Sawit Watch mencatat, 19 Provinsi dan 239 kabupaten belum memberi respons. Low responsibility pemerintah daerah soal sawit rakyat dalam kawasan hutan ditengarai karena keterbatasan anggaran dan kurang jelasnya panduan teknis dari Inpres 8/2018.

Sengkarut sawit rakyat dalam kawasan hutan bukan tidak dapat diselesaikan. Hanya butuh effort yang luar biasa (extraordinary). Pemerintah perlu membuat langkah strategis penyelesaian lahan sawit dalam kawasan hutan, khususnya sawit rakyat.

Pertama, pembenahan tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit. Kedua, peyelarasan pelaksanaan regulasi dan kebijakan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

Ketiga, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan regulasi dan kebijakan sawit. Dan yang terakhir, pemerintah harus menyeimbangkan dan mengkolaborasikan aspek sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan guna melindungi rakyat petani kelapa sawit.rmol news logo article

Hifdzil Alim
Penulis adalah Direktur HICON Law & Policy Strategies

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA