Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Politik Di Balik Aya Sophia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Selasa, 21 Juli 2020, 07:16 WIB
Politik Di Balik Aya Sophia
Lukisan Siti Maryam dan Nabi Isa AS di salah satu dinding Aya Sofya/RMOL
GEDUNG terkuno dan bersejarah Aya Sophia di Istambul saat ini menjadi perhatian luas. Keputusan Presiden Turki Tayyib Erdorgan merubah museum ini menjadi masjid telah membuat pemimpin AS, Rusia, Yunani, tokoh agama dan tak kurang  Paus Fransiskus  bereaksi keras.

Hari Minggu 12 Juli 2020 Dewan Gereja Dunia (the World Council of Churches) di Genewa yang mewakili 350 gereja Kristen juga menyatakan penyesalannya secara resmi.

“By deciding to convert the Hagia Sophia back to a mosque you have reversed that positive sign of Turkey’s openeness and changed it to a signf of exclusion and division.”

Disebutkan bahwa keputusan Erdorgan ini akan menimbulkan ketidak pastian, kecurigaan dan ketidak percayaan serta merusak semua upaya membangun dialog dan kerjasama antar masyarakat yang berbeda agama.

“We urgently appeal to you to reconsider and reverse your decision” lanjut Dewan Gereja.

Atas nama negara-negara anggauta UNESCO, Lina Mendoni (Menteri Kebudayaan Yunani) dalam suratnyapun menegaskan bahwa nilai-nilai universal Aya Sophia tidak boleh dirusak dan diganti menjadi tempat ibadah orang Islam.

Apa yang dilakukan oleh Erdorgan sebetulnya menggambaran spirit “nasionalis dengan sentimen agama yang fanatik” yang kuat; Erdorgan memanfaatkan situs Aya Sophia ini untuk mengantarkan kondisi abad ke 15 (saat pertama kali Aya Sophia menjadi masjid di bawah Sultan al-Fatih) ke abad 21. Begitu yang ditegaskan Lina Mendoni.

Apa yang dilakukan oleh Erdorgan dan reaksi berbagai kalangan akhir-akhir ini sesungguhnya menggambarkan tentang bagaimana sesungguhnya relasi agama-negara/politik dalam perjalanan sejarah Turki terbentuk. Dan Hagia atau Aya Sophia adalah situs simbolik tentang relasi agama-negara/politik ini.

Situs Agama

Sejak awal berdirinya, situs yang kemudian diberi nama Ayia Sophia  (Yunani), Sancta Sophia, Sancta Sapientia (Latin), Hagia Sophia (Inggris) dan kemudian Aya Sophia (Bahasa Arab dan Turki), adalah tempat ibadah, bukan untuk yang lain-lain. Dari penamaan bangunan yang berarti “Kebijaksanaan Suci” (Holy Wisdom) saja sudah sangat jelas menggambarkan motif kuat keagamaan didirikannya bangunan ini.

Karena itu sering juga disebut sebagai “Church of Holy Wisdom.” Bermula dibangun tahun 360 sebagai gereja kecil dan sangat sederhana  atas perintah Kaisar Constantine II. 44 tahun kemudian (tepatnya tahun 404) terjadi kerusuhan dan gereja ini dibakar.

Theodosius II membangun kembali tahun 415 sebagai sebuah gereja yang besar akan tetapi tahun 532 kembali dibakar dalam sebuah kerusuhan besar.

Atas perintah Kaisar Romawi Timur (Bizantium) Justinian I, Hagia Sophia ini dibangun kembali untuk yang ketiga kalinya hingga tahun 537. Gereja yang terletak di Konstantinopel (Istambul sekarang) ini sangat gamblang merupakan gereja resmi negara.

Gereja ini sangat historis antara lain karena secara arsitektural diakui sebagai gereja bercorak Bizantium terbesar di dunia. Selain ciri penting gedung Bizantium yaitu Kubah (Dome),  gereja ini dibangun dengan melibatkan ahli mekanika dan matematika serta lebih 10.000 pekerja.

Dari segi struktur, bentuk, tata letak, bahan dan pengerjaan pembangunan gereja ini sangat mempesona. Sejak itu, gereja ini mengalami beberapa kali renovasi karena bencana dan struktur bangunan ini tetap bertahan selama sekian abad lamanya. Pada abad ke 14, gereja ini juga pernah mengalami restorasi lagi.

Gereja ini juga mempunyai makna  historis, karena lebih dari satu millennium merupakan Katerdal Ortodoks (Ecumenical Patriarchate of Constantinople). Akan tetapi kemudian, oleh Pasukan Salib, pada tahun 1204 gereja ini dikuasai dan dirubah menjadi Katerdal Katolik Roma selama 57 tahun.

Meskipun tetap merupakan  gereja, hal ini menimbulkan gesekan faham keagamaan gereja. Pada tahun 1261, gereja ini berhasil dikuasai kembali oleh Katerdal Ortodoks. Nampak dengan sangat jelas bagaimana relasi kekuasaan politik dengan gereja saat itu; eksistensi Hagia Sophia sangat tergantung kepada kekuasaan. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan keberadaan gereja juga merupakan sumber penting  kekuasaan sekular Kaisar.

Sejak Konstantinopel berhasil ditaklukkan tahun 1453 oleh Daulah Utsmaniyah (Ottoman Emipre) di bawah kepemimpinan Sultan Mahmed II al-Fatih dari Turki, gereja yang sedang mengalami rusak berat ini kemudian dilindungi oleh kekuasaan Islam. Menurut sebuah sumber (perlu diteliti lebih lanjut), orang-orang Kristen Madinah menawarkan agar gereja yang rusak berat ini dibeli.

Tawaran ini diterima karena al-Fatih memang membutuhkan sebuah masjid pasca penaklukan Konstantinopel. Paus  Ortodoks Yunanipun menyetujui pembelian ini dan dokumen pembelian ini saat ini sudah beredar di berbagai media.

Sejak itulah Hagia Sophia menjadi milik orang Islam dan dijadikan masjid Aya Sophia. Semua simbol dan gambar Kristen tetap dibiarkan dan oleh Sultan al-Fatih dan gedung sangat besar ini diperbaiki. Struktur gedung diperkuat, diberi tambahan empat menara, Mihrab, mimbar dan berbagai ornamen Islam seperti Kaligrapi.

Beberapa kesultanan setelah  Mehmed II tetap menjaganya sebagai masjid dan melindungi orang-orang Kristen sebagai Ahlud Dhimmah (protected peoples). Relasi muslim dan non-muslimpun tidak terganggu dan bisa membangun koeksistensi beragama.

Masjid Aya Sophia, sejak tahun 1739, di bawah kekuasaan Sultan Mahmud I, dikembangkan menjadi pusat kemanusiaan, pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Sultan Mahmud menambahkan dapur umum untuk orang-orang miskin, madrasah, perpustakaan yang disediakan untuk siapapun. Kembali, sebagaimana era panjang kekuasaan Bizantium, Aya Sophia tetap menjadi pusat agama dan dilindungi oleh kerajaan Islam Ottoman. Relasi agama-kekuasaan politik ini tetap kuat di bawah Ottoman, seperti Era Bizantium.

Pukulan Sekularisme

Selama hampir 478 tahun Aya Sophia merupakan masjid besar hingga oleh pemerintah Republik Sekular di bawah presiden pertama Kemal Ataturk masjid ini benar-benar ditutup tahun 1931 dan tahun 1935 resmi menjadi musium. Ini seiring dengan runtuhnya Ottoman tahun 1922 dan berakhirnya sistem Khilafah.

Tidak saja masjid Aya Sophia, akan tetapi  madrasah dan semua lembaga keislaman dihapus. Tidak berlebihan untuk berpandangan bahwa pemerintah Kemal Ataturk dan Kemalisme adalah representasi Nasionalisme Sekular Radikal yang senantiasa akan menyingkirkan khususnya aspirasi Islam.

Sekularisme Turki ini pertama kali diperkenalkan tahun 1928 setelah amandemen konstitusi tahun 1924 yang menghapus “agama negara adalah  Islam.” Hal ini dimaksudkan agar ada sebuah ideologi baru yang harus ditegakkan untuk sebuah negara baru Republik Turki yaitu Kemalisme (Sekularisme Kemal atau Kemalisme Sekular).

Ideologi ini menjadi dasar untuk sebuah reformasi politik, social, budaya dan agama  yang menggantikan sama sekali sistim pemerintahan Utsmaniyah/Ottoman. Artinya, sekularisme benar-benar menjadi pijakan modernisasi negara yang tidak saja meliputi sistim politik, tetapi juga kehidupan masyarakat dan budaya. Atas dasar sekularisme ini juga negara benar-benar mengontrol agama.

Sekularisme Turki ini tidak saja telah mengubur negara agama Ottoman, akan tetapi sekaligus mendorong perubahan mendasar dalam bidang hukum, pendidikan, tulisan, bahasa, dan kehidupan masyarakat secara umum serta posisi agama. Mengikuti Tanzimat era pemerintahan Utsmaniyah tahun 1839 dan berakhir dengan era konstitusi pertama tahun 1876, reformasi berbasis sekularisme Kemal ini berorientasi kepada pandangan Barat.

Keputusan Kemal untuk menutup masjid Aya Sopia tahun 1931 sehingga tidak ada satupun orang Islam yang bisa menggunakan masjid ini untuk sholat dan menjadikannya sebagai museum tahun 1935 mencerminkan kuatnya pukulan sekularisme Kemal terhadap Islam.

Aya Sophia mengalami gempuran sekularisme politik dan budaya. Jika selama era kekuasaan Bizantium yang begitu panjang Aya Sophia pernah mengalami kerusakan dan keruntuhan secara fisik beberapa kali karena kerusuhan, kebakaran dan gempa, maka di awal abad ke XX Aya Sophia runtuh karena gempuran sekularisme radikal Kemal.

Momentum Erdogan

Erdorgan adalah kisah sukses Turki melakukan perubahan fundamental. Sejak menjadi PM, Erdorgan yang berhaluan Islam politik (AKP) berhasil antara lain, pertama, menaikkan citra positif Turki di panggung politik global, sesuatu yang belum dilakukan oleh pemerintah Turki sebelumnya.

Turki berhasil menjadi salah satu negara yang sangat berpengaruh di tingkat global untuk berbagi isu regional termasuk kaitannya dengan Uni Eropa. Tidak saja keaktifan dan keterlibatannya yang sangat intens di Timur Tengah sebagai peace maker, peran-peran strategisnya di Afrika dan Asia juga sangat sentral. Popularitas Erdorgan dan Turki di mata dunia menaik.

Kedua,  Erdorgan sukses mengangkat ekonomi Turki terutama setelah terjadinya krisis dan kebangkrutan ekonomi tahun 1990an: pendapatan perkapita rakyat Turki naik dari $ 3000 US ke $ 10.000 US pertahun, hutang luar negeri turun dan berhasil menstabilkan ekonomi meskipun dalam waktu yang bersamaan Eropa justru mengalami krisis ekonomi. Ketiga, Erdorgan berhasil merubah sistim politik parlementer ke presidensial yang mulai diterapkan saat Pemilu tahun 2014.

Prestasi politik di atas, ditambah dengan pesonanya sebagai pemimpin relijius, sederhana dan merakyat serta karakternya yang kuat, telah berhasil mendorongnya menjadi Presiden Turki pertama dengan menggunakan sistim presidensial.

Ia berhasil memperoleh dukungan suara lebih dari 50%. Modal ini juga yang ia gunakan  antara lain untuk terus memainkan peran strategisnya di Timur Tengah, Eropa, dunia Islam dan di panggung politik global. Masa kepemimpinannya sekarang adalah momentum Erdorgan untuk tampil sebagai pemimpin dunia Islam yang sangat berpengaruh tidak saja di Timur Tengah dan negara-negara anggauta OKI lainnya, akan tetapi juga menjadi tokoh dunia yang didengar oleh negara-negara Asia, Afrika dan juga Uni Eropa.

Perubahan fungsi Aya Sophia sebagai musium menjadi masjid adalah peringatan bagi kelompok sekular bahwa Kemalisme dan Sekularisme akan runtuh. Disamping itu, ini juga sinyal bahwa Erdorgan berniat menjadi aktor utama negara-negara muslim antara lain untuk kepentingan penyelesaian konflik Timur Tengah.

Dengan cara ini, maka diharapkan konstelasi politik global mengalami perubahan signifikan dan konstruktif. Semua ini mungkin saja terjadi. Akan tetapi, bisa jadi pertimbangannya tidaklah seserius ini. Erdorgan  memang semata-mata hanya ingin membangun suasana dan tradisi keagamaan Islam (Islam kultural) yang lebih dirasakan oleh masyarakat luas dengan menghidupkan kembali Aya Sophia sebagai masjid besar dan pusat keislaman penting.

Penguatan spiritualitas Islam dan Islam kultural ini sangatlah penting antara lain untuk mengimbangi atau menghindari kemungkinan terjadinya pengerasan kekuasaan politik sekular. Erdorgan tak perlu berpikir, dan tidak mungkin berupaya  membangkitkan neo-Utsmaniyah, neo-Khilafah dan apalagi menjadikan Turki sebagai negara yang dikuasai oleh pemimpin nasionalis Islam fanatik, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya, dan anti Kristen. Wallahu a’lam. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua MUI Bidang Kerjasama Luar Negeri, Assoc.Professor FAH UIN Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA