Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memecah Belah Bangsa Indonesia Ala Franz Magnis Suseno

Kamis, 16 Juli 2020, 06:00 WIB
Memecah Belah Bangsa Indonesia Ala Franz Magnis Suseno
Guru Besar Filsafat STF Driyakarya, Frans Magnis Suseno/Net
BARU-baru ini Franz Magnis Suseno menulis sebuah artikel di Kompas, yang berjudul "Komunisme Memang Gagal". Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam tulisan Magnis tersebut.

Saya akan berfokus pada sesat pikir yang digunakan Magnis, yang sebenarnya kalau dicermati lebih dalam, bisa berpotensi memecah belah bangsa Indonesia.

Pertama, Magnis bermain kata dengan menyitir sikap Gus Dur yang mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan pelarangan penyebaran paham Marxisme-Leninisme.

Bagi Magnis, gagasan Gus Dur kurang tepat, ia pun bermain logika dengan mengatakan "Betul, stigma itu barangkali sekarang pun masih ada. Seharusnya kita bersama-sama mengakhirinya", "TAP MPRS XXV/1966 adalah monumen sejarah Indonesia yang, kalaupun PKI tidak ada lagi, sebaiknya tidak dicabut".

Inilah permainan logika Magnis, yang sebenarnya akan semakin membelah bangsa Indonesia. Saya akan mencoba menanggapi di sini, pertama, beliau seolah-olah mengajak, mari bersama-sama mengakhiri stigmatisasi komunis.

Kedua, Magnis berpandangan bahwa TAP MPRS XXV/1966, adalah monumen sejarah yang tidak perlu dicabut. Pertanyaannya kemudian, bagaimana stigmatisasi komunis bisa berakhir, jika produk legislasi yang cacat hukum seperti TAP MPRS XXV/1966 tidak dihilangkan?

Mengapa saya bilang cacat hukum? Karena bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 28, tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya terdapat kebebasan untuk berpikir, memiliki keyakinan apapun dan menyatakan pendapat.

Selain itu dalam Pembukaan UUD 1945, juga tercantum tujuan negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang secara jelas, akan sangat terhambat jika TAP MPRS tersebut masih diberlakukan.

Sederhananya, bagaimana rakyat mau cerdas, jika mau mempelajari Marxisme sebagai salah satu aliran filsafat dan sosiologi, bisa dianggap menyebarkan Marxisme Leninisme?

Berikutnya, monumen sejarah macam apa, jika sesama bangsa Indonesia saling bunuh, saling mempersekusi, membakar buku-buku, atas dasar monumen sejarah itu?

Realitasnya, kelompok-kelompok yang melakukan sweeping dan pembakaran buku kiri, selama ini, pada dasarnya beraksi atas dasar TAP MPRS cacat hukum tersebut.

Dalam buku yang saya tulis, "Materialisme Sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965", sudah saya sampaikan analisis filsafat terhadap peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tersebut.

Salah satu kesimpulan di sana adalah bahwa G30S adalah sebuah gerakan yang militeristik, dipimpin oleh tentara profesional.

Hal ini terlihat dalam komposisi Dewan Revolusi  Indonesia (DRI), saat itu, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsyuri, sebagai Ketua Dewan, seorang tentara, Komandan Tjakrabirawa, satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang bertugas mengamankan Presiden Republik Indonesia, saat itu.

Selain Untung, ada Brigadir Jenderal Supardjo, seorang Jenderal TNI Angkatan Darat (AD), Letkol Heru Atmodjo dari TNI Angkatan Udara (AU), dan  Kolonel Laut Sunardi, dari Angkatan Laut (AL), ketiganya menjabat sebagai Ketua Dewan.

Dalam komposisi anggota DRI tersebut juga terdapat beberapa petinggi TNI, seperti Laksamana Madya Omar Dhani dari TNI AU, dan Kolonel Latief dari TNI AD, yang saat itu juga merupakan pejabat struktural TNI, sebagai Pangdam Jaya (Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya).

Hal ini jelas jauh berbeda dengan konsep revolusi versi Marxisme-Leninisme yang dipimpin oleh rakyat dan mendapat dukungan secara luas oleh mayoritas rakyat, bukan hanya segelintir elit, tanpa dukungan rakyat, seperti G30S.

Kalau mau melihat contoh implementasi revolusi ala Marxisme-Leninisme ini bisa melihat sejarah rakyat Vietnam mengusir imperialisme Amerika Serikat, atau revolusi Kuba yang menjungkalkan diktator Batista. Kedua revolusi ini mendapat dukungan luas dari massa rakyat.

Artinya, secara logis TAP MPRS tersebut sudah salah, karena pola gerakan G30S bertentangan dengan prinsip Marxisme-Leninisme.

Partai Komunis Indonesia (PKI) pun saat itu diragukan masih setia pada prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme, karena telah berubah menjadi partai massa, dengan jumlah anggota yang cukup besar.

Padahal partai yang menjalankan prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme, seharusnya bukan partai massa, melainkan partai kader yang anggotanya tidak sebanyak partai massa, tetapi solid dan mendapat dukungan luas dari massa rakyat.

Dari sini kemudian bisa dilihat motif Magnis, sudah diketahui secara luas, dia sering menulis buku tentang Marxisme, yang diplintirnya begitu rupa, sehingga terdapat banyak kekeliruan dalam penjabaran konsep-konsep Marxisme secara teoritis.

Sebagai seorang Guru Besar Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Magnis memang bisa dengan leluasa mempelajari Marxisme, dan memelintir konsep-konsep Marxisme seenak perutnya.

Buku-bukunya ini kemudian dikonsumsi para intelektual, yang mungkin sebagian belum membaca teks asli Marxisme-Leninisme, sehingga pemelintiran Magnis terhadap teori-teori Marxisme, bisa jadi tidak diketahui sebagian pembaca buku-bukunya.

Akibatnya, banyak terjadi kesalahpahaman tentang Marxisme secara teoritis. Salah satunya adalah seperti yang ditulis Magnis dalam artikelnya tersebut, "salah satu unsur Marxisme-Leninisme adalah ateisme".

Pertanyaannya, unsur yang mana? Sumbernya apa? Bagaimana dengan para tokoh PKI awal, yang beragama Islam, seperti Haji Misbach dan Datuk Batuah?

Terdapat beberapa kemungkinan persepsi Magnis dari pernyataan tersebut, terkait pertanyaan yang ketiga tadi. Pertama, mungkin Magnis tidak tahu kalau para tokoh PKI awal adalah kaum Muslimin, para haji dan pemuka agama Islam, karena sejarahnya merupakan pecahan dari organisasi massa Islam, yaitu Sarekat Islam (SI).

Kedua, mungkin bagi Magnis, mereka, para aktivis Sarekat Islam yang kemudian membentuk PKI tersebut dianggap tidak beragama, walaupun mereka Muslim.

Ketiga, mungkin bagi Magnis, para tokoh PKI awal yang rata-rata merupakan aktivis Islam politik tersebut, tidak paham apa-apa tentang Marxisme secara teoritis.

Untuk hal ini, saya berhusnuzan saja pada Magnis, mungkin beliau tidak paham sejarah PKI.

Kembali lagi ke TAP MPRS XXV/1966, saya lebih setuju dengan sikap almarhum Gus Dur, yang mengusulkan pencabutan TAP tersebut, karena dengan demikian pembelahan bangsa Indonesia, akibat politik rasa takut Orde Baru bisa dilenyapkan.

Dengan pencabutan TAP kontroversial tersebut, maka seluruh rakyat Indonesia bisa mempelajari teori-teori Marxisme secara bebas, sehingga jika memiliki sikap tertentu terhadap ajaran Marxisme, maka sikap tersebut atas dasar pemahaman, bukan karena ketidakpahaman seperti sekarang ini.

Saat sekarang, yang bisa dengan leluasa membaca dan mempelajari ajaran Marxisme hanya orang-orang seperti Magnis, para akademisi, dosen, atau peneliti dalam lembaga riset di sebuah perguruan tinggi.

Mengapa demikian? Karena isi TAP tersebut memang hanya memperbolehkan kajian tentang Marxisme di ranah akademis.

Dengan demikian, mayoritas rakyat Indonesia, tetap akan terkungkung dalam ketidakpahaman, dan gampang diadu domba, untuk berkonflik satu sama lain jika dibutuhkan. Hal yang tentu saja akan membuat penjajah asing (imperialisme), bisa semakin leluasa mengeksploitasi manusia dan kekayaan alam Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia, yang menolak pencabutan TAP tersebut, karena masih berada di bawah pengaruh politik cuci otak Orde Baru, saya masih bisa maklum, karena kekeliruan mereka terjadi  akibat ketidakpahaman.

Bagi orang-orang seperti Magnis, yang menguasai bahasa Jerman, bahasa yang digunakan untuk menulis teks-teks asli berbagai tulisan Karl Marx dan Frederick Engels, yang mendasari ajaran Marxixme–Leninisme, ada beberapa kenungkinan motif penolakannya terhadap pencabutan TAP tersebut.

Pertama, Magnis tidak paham sama sekali, Marxisme, atau Marxisme–Leninisme secara teoritis, hal yang sepertinya tidak mungkin, karena dalam buku-bukunya, beliau banyak sekali mengutip berbagai teks asli yang berbahasa Jerman tersebut.

Kedua, Magnis tidak mau mayoritas rakyat Indonesia paham teori dan konsep Marxisme, karena dengan demikian akan banyak yang membantah semua pandangannya tentang Marxisme.

Ketiga, Magnis adalah agen penjajah asing (imperialisme), yang memang menginginkan rakyat Indonesia terkungkung dalam ketidaktahuan dan kebodohan, supaya imperialisme bisa dengan leluasa melakukan eksploitasi manusia dan alam Indonesia.

Mudah-mudahan, motifnya bukan yang ketiga, karena jika yang ketiga, seharusnya Pemerintah Indonesia mencabut Penghargaan Bintang Mahaputra Utama, yang diberikan pada Magnis.rmol news logo article

Harsa Permata
Penulis adalah Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA