Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Presiden Gadungan

Kamis, 09 Juli 2020, 10:10 WIB
Presiden Gadungan
Fake President/Net
PRESIDEN gadungan adalah terjemahan dari "Fake President". Bukan Presiden sebenarnya. Ini bisa berarti Presiden tidak kompeten baik sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan.

Ia bisa sebagai boneka yang dimainkan oleh orang, kelompok, atau kekuatan lain. "Fake President" dapat juga identik dengan Presiden abal-abal.

Presiden gadungan juga disebabkan delegitimasi jabatan berupa hilangnya kepercayaan rakyat. Keberadaan Presiden dinilai hanya merepotkan. Rakyat menderita oleh perilaku politik Presiden yang dianggap "tak berkualitas" dan "tak memiliki sensitivitas".

Hal seperti ini adalah efek dari orientasi yang hanya pada diri dan kroninya. Lalu rakyat pun menjadi bulan bulanan dari slogan yang hanya bernilai pencitraan.

Presiden gadungan "Fake President" adalah pemimpin yang ilegal. Keabsahan statusnya goyah. Sebagai contoh adalah kejutan kasus yang terbuka setelah "disembunyikan" 9 bulan.

Putusan MA yang menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Rontoklah dasar hukum penetapan pasangan Jokowi-Maruf.

Beberapa ahli atau loyalis Presiden menyatakan Putusan MA No. 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 tersebut tidak berlaku surut (retroaktif)  karenanya tak berpengaruh terhadap putusan MK yang menolak gugatan Prabowo-Sandi.

Terhadap hal ini tentu harus diperdalam dan masih bisa debat lanjutan. Indikatornya antara lain:

Pertama, permohonan uji materil Rachmawati cs teregister di Mahkamah Agung pada tanggal 14 Mei 2019. Artinya sebelum putusan MK 27 Juni 2019. Maknanya adalah permohonan uji materil tersebut sangat berkaitan dengan Pilpres 2019. Bukan berdiri sendiri. Dalam permohonan Pemohon pun disinggung konteks Pilpres 2019.

Kedua, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan uji materil Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut patut mengetahui dan menyadari bahwa uji materiel ini berkaitan dengan proses Pilpres 2019 sehingga jika asas retroaktif tak bisa diberlakukan putusan akan tegas menyatakan keberlakuan putusan untuk pilpres yang akan datang (penafsiran argumentum a contrario).

Ketiga, tafsir bahwa MK telah memenangkan pasangan Jokowi-Maruf sehingga Putusan MA tidak berpengaruh pada hasil pilpres, bisa keliru total. Masalah yang diputuskan MA adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikatnya Pasal 3 ayat (7) PKPU sedangkan pasal tersebut justru menjadi dasar hukum dari penetapan pasangan Jokowi-Maruf.

Keempat, "disembunyikan"nya Putusan MA ini hingga 9 bulan adalah bukti bahwa putusan ini sangat berpengaruh pada keabsahan hasil pilpres, jika tidak, maka MA serta merta akan meng-upload atau mengumumkan kepada masyarakat demi kepastian hukum. Siapa pihak yang terlibat dalam "penyembunyian" atau "penggelapan" ini  harus dituntut.

Jadi disini patut diduga kuat ada skandal politik dan hukum yang sangat memalukan. Ada "gaslighting" dan ada "corruption". Sinyal dari terkuaknya skandal besar. Yang jelas Putusan MA No 44 P/HUM/2019 tersebut akan menjadi bukti bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Maruf itu sebenarnya sangat bermasalah. Cacat politik dan cacat hukum.

Bila DPR menangkap aspirasi rakyat yang mempermasalahkan kualitas dan legitimasi Presiden, maka Putusan MA tersebut dapat dijadikan dasar bagi proses pemakzulan Presiden. Putusan MA No. 44 P/HUM/ 2019 itu dalam kaitan keabsahan pasangan Jokowi-Maruf, bukanlah "plintiran" tapi "suara hukum" dari keadilan dan kebenaran.

Sebagai hiburan, khususnya bagi para penjilat politik dan hukum dihimbau untuk membaca bukunya Mark Green & Ralph Nader yang berjudul "Fake President: Decoding Trump's Gaslighting, Corruption, and General Bullsh*t".

"Fake President" tidak boleh dibiarkan. Siapa dan kapanpun. Karenanya harus diakhiri. rmol news logo article

M. Rizal Fadillah

Pemerhati politik dan kebangsaan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA