Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Melawan Rencana IPO Anak Usaha Pertamina (1)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/marwan-batubara-5'>MARWAN BATUBARA</a>
OLEH: MARWAN BATUBARA
  • Rabu, 08 Juli 2020, 22:44 WIB
Melawan Rencana IPO Anak Usaha Pertamina (1)
Direktur IRESS, Marwan Batubara/Net
Menteri BUMN Erick Thohir setelah Rapat Umum Pemegang Saham RUPS) Pertamina pada 12 Juni 2020 meminta Dirut Pertamina menyiapkan dua anak usaha Pertamina melantai di bursa atau menawarkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kata Erick saat itu: "Jadi target 2 tahun ke depan Ibu Nicke bisa Go Public-kan 1-2 sub-holding jadi bagian transparansi, akuntabilitas supaya jelas," usai RUPS Pertamina di Jakarta (12/6).
 
Pernyataan Erick merupakan perintah yang harus dijalankan manajemen Pertamina. Untuk maksud tersebut tampaknya telah disiapkan berbagai alasan, termasuk meminta pendapat sejumlah pakar, pengamat atau pesohor agar mendukung dan menjustifikasi. Dengan begitu, rencana tersebut dapat berjalan mulus dan sekaligus mendapat dukungan publik.
 
Sikap IRESS terhadap rencana tersebut tetap konsisten sejak dulu, yakni menolak dengan tegas! Sebelumnya, pada Juli 2010, bersama angggota DPR Chandra Tirta Wijaya, Guru Besar FEUI Sri Edi Swasono dan Jajaran Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) IRESS telah membacakan sikap penolakan kepada pemerintah (Kementrian BUMN) agar rencana IPO Pertamina Hulu Energy (PHE) segera dibatalkan. Rencana IPO 20 persen saham PHE yang saat itu dimintakan persetujuannya kepada DPR akhirnya dibatalkan pemerintah.
 
Pada November 2019, IRESS kembali menolak rencana pemerintah melakukan “IPO terselubung” berupa akuisisi Pertagas oleh PGN. Penolakan IRESS ini hanya berbentuk tulisan terbuka.

Semula sikap ini akan disampaikan pada satu seminar di Ruang GBHN Nusantara V DPR/MPR, tetapi batal karena wakil dari Serikat Pekerja Pertamina belakangan mengundurkan diri akibat tekanan dari manajemen. Salah seorang pengurusnya malah “dibuang” ke luar Jawa, karena coba-coba mengganggu agenda “IPO terselubung” tersebut.
 
Saat rencana IPO PHE terjadi pada 2010, sistem tata kelola pemerintahan masih berjalan normal dan konstitusional. Karena itu setiap langkah dan kebijakan strategis pemerintah dikonsultasikan dengan DPR. Namun untuk kasus akuisisi atau “IPO terselubung” Pertagas oleh PGN, situasi dan kondisi penyelenggaraan negara dan pemerintahan sudah berubah.
 
Pemerintahan Jokowi yang telah berikrar ingin mem-buyback Indosat atau menjadikan Pertamina mengungguli Petronas ini telah berhasil “mengakali” rakyat sekaligus wakil rakyat, sehingga persetujuan DPR atas akuisisi Pertagas oleh PGN berhasil di-bypass. Di sisi lain, bisa saja DPR tidak sadar atau sudah berubah sikap menjadi bagian dari pemerintah.
 
Untuk rencana obral aset negara di Pertamina berikutnya, atau sebutlah itu IPO subholding seperti yang dinyatakan Erick dan Nicke, situasi dan kondisi tampaknya akan lancar. Berangkat dari kegagalan IPO PHE 10 tahun lalu, tampaknya strategi dan peraturan untuk memuluskan rencana telah disiapkan komprehensif.

Persetujuan DPR bisa saja tidak dibutuhkan, karena yang dijual hanya saham anak usaha. Atau, DPR pun bisa sengaja enggan menggunakan hak.
 
Walau demikian, rakyat harus tetap melawan. Untuk itu perlu dipahami kenapa melawan. Alasan terpenting adalah migas merupakan sektor strategis menyangkut hidup rayat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN sesuai Pasal 33 UUD 1945. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi 36/2012 dan 85/2013.
 
Alasan berikutnya, para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu disiapkan dan direkayasa cara sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut (cream the la cream) dapat dikuasai.

Caranya melalui skema IPO (initial public offering), di mana saham sebuah perusahaan dilepas ke pasar saham (bursa efek) secara umum untuk pertama kalinya. Aktivitas menjual saham ke publik melalui bursa efek selaku pasar keuangan resmi di Indonesia dikenal dengan istilah Go Publik.
 
IRESS memahami ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti untuk mendapatkan akses pendanaan murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh insentif pajak.

Namun untuk itu, mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan (cream the la cream). Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, siapa yang akan beli?
 
Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka BUMN hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan.

Lambat laun, semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual, dan untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal.
 
Padahal jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka BUMN/Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar.

Selain itu, merujuk Pasal 2 UU BUMN 19/2003, tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional dan melakukan tugas perintisan. Hal ini tidak akan opitimal oleh anak-anak usaha yang telah Go Publik. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian untuk telah beralih kepada perusahaan lain.
 
Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia. Sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, atau sebagian malah harus ditanggung APBN.
 
IRESS tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak.

Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, maka keuntungan kuantitatif akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna.
 
Dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cos-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama pada kriteria ekonomi-keuangan.

Pada MCDA, keputusan daiambil dengan mempertimbangkan berbagai kriteria seperti ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas.
 
Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas, metode ini pun justru bisa tidak valid, jika prilaku moral hazard berperan dalam proses IPO.

Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, kondisi kesenjangan sosial antar wilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy dan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, maka seharusnya yang dipilih mengambil keputusan adalah metode MCDA.

Kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Toh selama ini Pertamina atau PLN sudah biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga/kupon yang justru lebih rendah dibanding kupon obligasi terbitan pemerintah.
 
Kesimpulannya, IRESS meminta Pemerintah, terutama Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina. Perintah Erick kepada Dirut Nicke bukan sesuatu yang relevan dan legal untuk otomatis harus dijalankan seperti mungkin berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu adalah Badan Usaha Milik Negara, bukan milik “seseorang” seperti pernah diungkap Erick pada 26 Februari 2020 yang lalu di Jakarta.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA